Desakan agar anggaran pelatihan di program Kartu Prakerja dialihkan menjadi bantuan bagi pekerja yang kena dampak pandemi Covid-19 menguat. Di sisi lain, mitra pelatihan dalam jaringan menerima komisi dari program ini.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anggaran Kartu Prakerja juga mengalir ke perusahaan platform digital selaku mitra pemerintah yang mengelola teknis kelas pelatihan dalam jaringan program tersebut. Di tengah pandemi dan keterbatasan anggaran untuk penanganan dampak Covid-19, desakan meniadakan kelas-kelas pelatihan daring yang tidak relevan kian menguat.
Ketentuan perusahaan platform digital selaku mitra boleh mendapat komisi dari biaya pelatihan program Kartu Prakerja ada dalam Pasal 52 Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pengembangan Kompetensi Kerja Melalui Program Kartu Prakerja.
Disebutkan, platform digital diperbolehkan mengambil komisi jasa yang wajar dari lembaga pelatihan yang melakukan kerja sama. Besaran komisi jasa itu diatur dalam perjanjian kerja sama antara platform digital dan lembaga pelatihan yang menjadi mitra. Manajemen pelaksana Kartu Prakerja harus menyetujui besaran komisi itu.
Klausul dalam Permenko Perekonomian ini bertolak belakang dengan rencana awal pemerintah. Catatan Kompas, pada September 2019, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan, pemerintah akan menggandeng perusahaan yang mengelola platform perdagangan elektronik dan teknologi finansial. Namun, perusahaan yang terlibat tidak akan mengambil keuntungan untuk seluruh proses Kartu Prakerja.
Pemerintah dan Manajemen Pelaksana Kartu Prakerja juga berulang kali menegaskan, platform digital tidak akan memperoleh uang pelatihan. Biaya pelatihan akan diberikan kepada lembaga pendidikan dan pelatihan yang menyediakan kelas-kelas pelatihan daring.
Direktur Kemitraan dan Komunikasi Manajemen Pelaksana Kartu Prakerja Panji W Ruky yang dikonfirmasi, Senin (27/4/2020), membenarkan, perusahaan platform digital bisa mendapat komisi jasa wajar dari lembaga pelatihan yang bekerja sama dengan mereka. ”Kenapa? Karena mereka menyediakan layanan marketplace untuk lembaga pelatihan yang menyelenggarakan kelas pelatihan,” katanya.
Atas layanan menyediakan ekosistem digital kelas-kelas pelatihan daring itu, perusahaan penyedia platform digital yang digandeng pemerintah diperbolehkan memungut komisi. Panji menegaskan, posisi Manajemen Pelaksana sekadar menjalankan peraturan yang sudah tertera di payung hukum program, yakni peraturan presiden dan permenko.
Menurut Panji, ada komisi yang besarnya 5 persen dari biaya pelatihan, ada yang lebih dari itu, dan ada yang kurang. Besaran itu tertera dalam perjanjian kerja sama. Sampai saat ini, pemerintah dan perusahaan mitra belum pernah membuka dokumen perjanjian kerja sama yang sudah diteken.
”(Komisi) itu dibicarakan di antara mereka dan disepakati antara mereka (platform digital dan lembaga pelatihan). Kami hanya melihat apakah layanan yang diberikan sudah sesuai dengan peraturan,” katanya.
Ada delapan perusahaan platform digital yang menjadi mitra program Kartu Prakerja, dengan lebih dari 250 mitra lembaga pelatihan dan lebih dari 2.000 kelas pelatihan. Dari anggaran Rp 20 triliun Kartu Prakerja, sebanyak Rp 5,6 triliun dialokasikan untuk biaya pelatihan daring. Delapan mitra itu adalah Tokopedia, Ruangguru, Mau Belajar Apa, Bukalapak, Pintaria, Sekolahmu, Pijar Mahir, dan Sistem Informasi Ketenagakerjaan (Sisnaker) Kementerian Ketenagakerjaan.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengatakan, sumber persoalan Kartu Prakerja adalah kelas-kelas pelatihan daring yang tidak efektif dan tidak relevan di tengah pandemi Covid-19. Cara terbaik untuk menyudahi polemik Kartu Prakerja dan fokus pada penanganan pandemi Covid-19 adalah menghapus kelas-kelas pelatihan itu.
Piter menegaskan, kondisi pekerja dan pelaku usaha kecil yang terkena dampak Covid-19 semakin parah. Beberapa pekerja yang sudah tidak sanggup membayar kontrak rumah atau uang kos terpaksa tidur di emperan jalan. ”Apakah mereka butuh pelatihan? Yang mereka butuhkan uang. Anggaran Rp 5,6 triliun itu begitu besar,” katanya.
Sekretaris Eksekutif Labor Institute Indonesia Andi W Sinaga mengatakan, program Kartu Prakerja yang sudah memasuki gelombang kedua terbukti tidak bisa membantu perekonomian dan kebutuhan pokok para pekerja yang saat ini kehilangan pemasukan akibat Covid-19. Sebab, saldo Rp 3,55 juta yang tertera di rekening virtual peserta tidak bisa langsung ditarik tunai. Sebanyak Rp 1 juta hanya boleh dipakai untuk membayar kelas-kelas pelatihan, sedangkan Rp 2,55 juta baru bisa dicairkan bertahap selama empat bulan setelah rampung mengikuti satu kelas pelatihan dan mendapat sertifikat.
”Sebagian besar pekerja sekarang tidak bisa kembali ke kampung halaman karena larangan mudik. Bantuan tunai lebih dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka,” ujar Andi.
Ketua Bidang Ekonomi dan Keuangan Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Ajib Hamdani mengungkapkan, pemerintah seharusnya mengganti fokus program Kartu Prakerja menjadi bantuan langsung tunai bagi pekerja yang terdampak Covid-19. Ia menilai insentif Rp 600.000 yang menjadi hak peserta seharusnya bisa dicairkan terlebih dahulu.
Bantuan tunai lebih dibutuhkan.
Ajib meyakini, program Kartu Prakerja akan lebih efektif jika pemerintah bersedia mengubah sedikit skema program. ”Uang itu dibutuhkan untuk banyak hal, bisa untuk beli pulsa, karena untuk memulai mengikuti kelas-kelas pelatihan online juga pasti butuh modal memberi pulsa. Baru di termin kedua, kita bicara pelatihan. Ini bisa menjadi jawaban nyata bahwa program ini tidak sekadar buang-buang uang,” katanya.