Soal Pencabutan Kewenangan Daerah, Anggota DPR Berbeda Sikap
Sejumlah anggota Komisi VII DPR dan DPD berbeda sikap soal pencabutan kewenangan pemerintah daerah di sektor pertambangan. Pengambilalihan belum menjamin perbaikan. Namun, terpenting adalah jangan tumpah tindih.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi VII DPR berbeda sikap mengenai pencabutan wewenang daerah di sektor pertambangan dalam pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Semangat pencabutan wewenang daerah mirip dengan isi dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja sektor energi dan sumber daya mineral. Sebagian anggota menginginkan agar wewenang daerah sama sekali tidak dicabut.
Menurut anggota Komisi VII DPR dari Partai Golkar, Alex Noerdin, pemerintah pusat masih memerlukan peran daerah untuk urusan investasi yang ada di daerah bersangkutan. Masalah yang menyangkut ketenagakerjaan pada sebuah investasi di daerah, pihak pemerintah daerah kerap membantu menyelesaikan. Oleh karena itu, ia mengusulkan agar daerah tetap diberikan porsi yang cukup dalam hal kewenangan.
”Kalau ada unjuk rasa menuntut serapan tenaga kerja atau masalah pembebasan lahan, kemudian unjuk rasa tersebut berujung anarkistis, yang turut menyelesaikan pemerintah daerah, bukan pemerintah pusat. Sebab, pemerintah pusat ada nun jauh di sana, sedangkan lokasi investasi itu ada di daerah,” ujar Alex dalam rapat panitia kerja revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara secara daring, Senin (27/4/2020), di Jakarta, dengan anggota Komite II DPD.
Sebaiknya daerah harus betul-betul diberikan kesempatan memberi penilaian sebelum perpanjangan izin keluar.
Hal yang sama disuarakan Abdullah Puteh, anggota DPD dari Provinsi Aceh. Ia berpendapat, perpanjangan izin perusahaan tambang di daerah sebaiknya tidak diberikan secara otomatis. Pemerintah daerah diberi kewenangan memberi penilaian kinerja terhadap perusahaan tersebut.
”Negara harus menghormati kewenangan dan kekhususan yang dimiliki daerah. Sebaiknya daerah harus betul-betul diberikan kesempatan memberi penilaian sebelum perpanjangan izin keluar. Sebaiknya pula perpanjangan perizinan tak diberikan secara otomatis,” ujar Abdullah.
Sementara itu, Maman Abdurrahman yang juga dari Partai Golkar berpendapat, ia mendukung pencabutan wewenang daerah ke pusat. Ia beralasan, saat pengurusan perizinan tambang oleh daerah, banyak ditemukan kasus tumpang tindih perizinan ataupun pengawasan yang lemah yang berakibat sejumlah izin mangkrak. Itu sebab kenapa pemerintah pusat masih campur tangan dengan penerbitan setifikat bersih tanpa masalah (clear and clean/CNC) terhadap perizinan tambang di daerah.
”Semangat dari sinkroniasi RUU Cipta Kerja adalah untuk menciptakan sistem satu pintu yang terpusat dalam hal penerbitan izin. Hanya saja tetap diperlukan ruang pendelegasian kepada daerah,” kata Maman.
Mana yang akan didahulukan? RUU Cipta Karya atau revisi UU No 4/2009? Apakah nanti dijamin tidak ada tumpah tindih?
Investasi pertambangan di Indonesia dibahas oleh dua undang-undang, yakni revisi UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan Rancangan UU Cipta Kerja kluster energi dan sumber daya mineral yang juga membahas UU No 4/2009 tersebut. Hal ini pula yang dipertanyakan sejumlah kalangan tentang efektivitas pembahasan dua undang-undang untuk hal yang sama.
”Mana yang akan didahulukan? RUU Cipta Karya atau revisi UU No 4/2009? Apakah nanti dijamin tidak ada tumpah tindih? Yang tak kalah penting adalah prosesnya harus berlangsung secara transparan,” kata Koordinator Nasional Publish What You Pay Indonesia Maryati Abdullah.
Sebelumnya, Ketua Dewan Penasihat Indonesian Energy and Environmental Institute Satya Widya Yudha berpendapat, pengambilalihan wewenang daerah oleh pemerintah pusat barangkali tidak bisa disebut sempurna hasilnya. Hanya saja, segala tata kelola dan prosesnya akan diawasi oleh lembaga penegak hukum yang bersinggungan langsung dengan pemerintah pusat, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK sudah lama terlibat dalam supervisi tata kelola sektor tambang mineral dan batubara.
”Pengembalian wewenang ke pusat ditengarai karena tersedianya sumber daya yang bagus dan bisa memangkas birokrasi. Penerbitan sertifikat CNC untuk izin usaha pertambangan oleh pusat sebenarnya adalah salah satu cara pusat untuk bisa masuk ke ranah daerah,” ujar Satya.