Serikat Petani Desak Penghentian Pembahasan RUU Cipta Kerja
Serikat Petani Indonesia mendesak DPR menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja. Sejumlah pasal dinilai bertentangan dengan reforma agraria serta mengancam kedaulatan pangan dan pembangunan pertanian.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·4 menit baca
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Petani melakukan pemupukan yang rutin dilakukan untuk menjaga pertumbuhan padi mereka di Desa Kumpulrejo, Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, Selasa (3/3/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Tak hanya kluster ketenagakerjaan, Serikat Petani Indonesia mendesak DPR menghentikan pembahasan 10 kluster lain dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Sejumlah pasal dinilai mengancam petani dan rakyat yang bekerja di perdesaan.
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih, Minggu (26/4/2020), mengatakan, SPI mengapresiasi langkah Presiden Joko Widodo menunda pembahasan RUU Cipta Kerja kluster ketenagakerjaan. Namun, SPI berharap pemerintah mengambil kebijakan yang lebih tegas, yakni menghentikan semua kluster RUU Cipta Kerja.
Penundaan pembahasan kluster ketenagakerjaan disampaikan Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (24/4/2020). Langkah itu ditempuh untuk memberikan kesempatan kepada seluruh pemangku kepentingan untuk mendalami substansi pasal-pasal ketenagakerjaan (Kompas, 25/4/2020).
Menurut Henry, pembahasan RUU Cipta Kerja sudah tidak relevan setelah kluster ketenagakerjaan, yang menjadi esensi RUU Cipta Kerja, ditunda pembahasannya. ”Setelah kluster ketenagakerjaan ditunda, pembahasan kluster yang tersisa justru tidak ada sangkut pautnya dengan penciptaan lapangan kerja di Indonesia,” ujarnya.
Kompas/Heru Sri Kumoro
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah bersama Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto tiba di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (14/4/2020). Mereka datang untuk mengikuti rapat dengan Badan Legislasi DPR membahas omnibus law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Rapat digelar untuk mendengarkan penjelasan pemerintah mengenai RUU tersebut.
SPI menyatakan sikap menolak RUU Cipta Kerja yang mencakup 11 kluster dan 1.244 pasal karena bertentangan dengan pelaksanaan reforma agraria, kedaulatan pangan, serta mengancam pembangunan pertanian, perdesaan, dan penegakan hak asasi petani di Indonesia. Kluster kemudahan investasi bahkan membahas mengenai impor pangan yang berisiko makin mempersulit kehidupan petani.
Reforma agraria
Esensi dari RUU Cipta Kerja di bidang pertanahan, menurut Henry, merupakan replikasi dari RUU Pertanahan yang ditunda pengesahannya pada September 2019. Oleh karena itu, SPI berpandangan, isi RUU Cipta Kerja di bidang pertanahan memiliki masalah yang sama dengan RUU Pertanahan, yakni terdapat butir-butir pasal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan sebagaimana yang termaktub di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA 1960).
Konsep bank tanah di dalam RUU Cipta Kerja bertentangan dengan amanat UUPA 1960. Implikasinya antara lain adalah bank tanah semata sebagai komoditas. Hal ini bertentangan dengan amanat UUPA 1960 di mana tanah seharusnya dimaknai dalam fungsi sosialnya.
SPI juga menyoroti hak pengelolaan (HPL) dalam Pasal 127 Ayat (2) RUU Cipta Kerja. Pasal ini dinilai berpotensi mengurangi peran negara dalam menguasai tanah. ”Ketentuan mengenai HPL dalam RUU Cipta Kerja bias kepentingan, yakni memfasilitasi investasi di sektor pertanahan, tetapi abai terhadap potensi ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah di Indonesia,” ujarnya.
Menurut Henry, keberpihakan RUU Cipta Kerja terhadap investasi dan kepentingan korporasi dapat dilihat dari pemberian hak atas tanah, baik hak pengelolaan, hak guna usaha, hak guna bangunan, maupun hak pakai dengan jangka waktu hingga 90 tahun.
”Padahal, apabila mengacu pada amar putusan Mahkamah Konstitusi terkait uji materi Undang-Undang Penanaman Modal, pemberian jangka waktu 90 tahun dalam hak atas tanah merupakan inkonstitusional karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan UUPA 1960,” ujarnya.
SPI juga mempertanyakan poin dihilangkannya tanggung jawab korporasi perkebunan terhadap masyarakat yang hidup di sekitar perkebunan. RUU Cipta Kerja berimplikasi terhadap dihapuskannya Pasal 58 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan yang sebelumnya memuat ketentuan kewajiban perusahaan perkebunan memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar paling rendah seluas 20 persen dari total luas areal kebun yang diusahakan.
”Ini malah akan semakin melanggengkan ketimpangan struktur kepemilikan dan penguasaan tanah, yang sampai saat ini masih dikuasai korporasi, khususnya korporasi perkebunan,” katanya.
Kepastian usaha
Selain SPI, sejumlah organisasi juga menolak pembahasan RUU Cipta Kerja dilanjutkan. Sebelumnya, Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor Yaqut Cholil Qoumas meminta DPR menunda semua pembahasan RUU yang tidak terkait pandemi Covid-19. DPR diminta serius mengawal gerak pemerintah dalam penanganan dan pencegahan pandemi itu (Kompas, 25/4/2020).
Sementara Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar menyoroti masih ada sejumlah pasal yang problematik di luar kluster ketenagakerjaan. Harapannya, pemerintah tak hanya menunda pembahasan kluster ketenagakerjaan, tetapi juga menyisir ulang pasal-pasal lain yang bermasalah itu.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Massa buruh sambil membawa poster kembali mendatangi Gedung Parlemen di Jakarta untuk berunjuk rasa menolak Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, Rabu (12/2/2020). Mereka tidak ingin regulasi itu merugikan buruh demi investasi. Ada beberapa poin yang dikhawatirkan bisa mengancam hak dan kesejahteraan buruh, antara lain penghilangan upah minimum dan sistem upah per jam yang tidak diatur dengan detail, penghilangan atau pengurangan pesangon, pengurangan jam kerja, dan perubahan sistem kerja.
Sebelumnya, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menyatakan, dari 79 undang-undang dan 1.244 pasar yang telah direvisi menjadi RUU Cipta Kerja, 700 pasal yang telah direvisi masuk ke ranah BKPM. Pasal-pasal itu antara lain terkait kemudahan berusaha, usaha mikro, kecil, dan menengah, serta perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik (OSS).
RUU Cipta Kerja dibuat salah satunya dengan mempertimbangkan kinerja investasi di masa lalu yang sempat diwarnai mangkraknya investasi Rp 708 triliun. Investasi mangkrak antara lain dipicu oleh regulasi yang tumpang tindih, ego sektoral antara kementerian, gubernur, dan bupati/wali kota (Kompas, 6/3/2020).
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, untuk menaikkan pertumbuhan ekonomi menjadi 6 persen sesuai target rencana pembangunan jangka menengah nasional, butuh investasi Rp 1.200 triliun atau 7 persen dari total produk domestik bruto.
”Untuk mencapai target sebesar itu, dibutuhkan transformasi ekonomi secara struktural. Kalau pencapaian target itu dilakukan dengan jalur normal, tanpa omnibus law, transformasi itu baru bisa jalan dalam 10 tahun,” ujarnya.