Hadapi Ketidakpastian Pandemi, Perkuat Dana Darurat
Pengelolaan keuangan keluarga dan yang masih lajang perlu ditata ulang di tengah pandemi Covid-19. Dana darurat diperbesar untuk mengantisipasi situasi buruk.
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 menimbulkan ketidakpastian. Situasi ini menjadi momentum untuk memperkuat dana darurat bagi perorangan ataupun keluarga.
Adapun secara umum, skala prioritas dalam pengelolaan keuangan mesti disusun ulang.
Dari penjelasan Prita Hapsari Ghozie, Mohammad Teguh, dan Aidil Akbar yang dihimpun Kompas, Minggu (26/4/2020), dana darurat merupakan bagian penting dalam pengelolaan keuangan di masa pandemi ini. Kendati besarannya bervariasi, tiga perencana keuangan itu memberi ancar-ancar, nilai dana darurat 6-12 kali biaya hidup per bulan.
Kendati tak selalu tunai, dana darurat ini mesti mudah dicairkan atau likuid. Dana ini juga merupakan dana cadangan yang tidak boleh digunakan untuk investasi atau membeli barang. Maka, bisa disimpan dalam bentuk rekening khusus.
”Dalam situasi seperti ini, keberadaan dana darurat menjadi vital. Alokasi ini perlu disiapkan untuk mengantisipasi biaya hidup yang tidak didukung pemasukan,” ujar perencana keuangan dari ZAP Finance, Prita Hapsari Ghozie.
Sebesar 30 persen pemasukan bulanan mesti disisihkan sebagai dana darurat. Adapun 60 persen untuk kebutuhan harian, termasuk membayar cicilan. Sementara 10 persen sisanya untuk hiburan, termasuk biaya berlangganan video dan musik.
”Jika belum atau sudah tidak ada beban cicilan, persentase pos alokasi dana darurat bisa diperbesar,” ujarnya.
Financial Expert Halofina, Mohammad Teguh, menyebutkan, idealnya, dana darurat bagi yang masih lajang ataupun yang sudah berkeluarga sekitar 12 kali dari biaya hidup bulanan. Namun, setidaknya enam kali biaya hidup bulanan sudah tergolong cukup.
Selain dalam bentuk tunai dan tabungan, dana darurat bisa ditempatkan dalam tabungan dan aset yang likuid, seperti reksa dana pasar uang, deposito, dan tabungan emas. Disebut likuid karena lebih mudah diuangkan sewaktu-waktu dalam kondisi darurat.
Aidil Akbar Madjid menambahkan, dalam kondisi normal, ada dana yang dialokasikan untuk hiburan dan investasi jangka panjang. Namun, di tengah pandemi Covid-19, dana itu mesti dialihkan untuk tabungan atau dana darurat.
Dana darurat diperlukan untuk mengantisipasi kondisi ekonomi yang memburuk, pemotongan gaji, bahkan pemutusan hubungan kerja (PHK). Adapun tunjangan hari raya yang selama ini digunakan untuk membeli keperluan Lebaran dan sebagian untuk investasi kini juga perlu direlokasi untuk menambah dana darurat.
Menurut Aidil, dalam kondisi perekonomian yang tidak menentu, alokasi dana daurat harus lebih banyak dari biasanya. Jika biasanya dana darurat yang disiapkan sekitar enam kali dari pengeluaran rutin bulanan, kini perlu dinaikkan menjadi sembilan kali pengeluaran bulanan.
”(Tambahan dana darurat) ini untuk jaga-jaga kalau tiba-tiba kondisi (ekonomi) memburuk. Toh, kalau dalam tiga bulan kondisi sudah membaik, uang masih bisa diinvestasikan lagi,” katanya.
Dalam kondisi perekonomian yang tidak menentu, alokasi dana daurat harus lebih banyak dari biasanya.
Berubah
Pandemi Covid-19 memukul perekonomian. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, per 16 April 2020, sebanyak 1,94 juta pekerja dirumahkan dan di-PHK dari sektor formal dan nonformal.
Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi RI tahun ini 2,3 persen. Proyeksi ini jauh di bawah pertumbuhan ekonomi 2019 yang sebesar 5,02 persen.
Teguh menekankan, masyarakat perlu mengubah kebiasaan dalam pengeluaran dengan cara hidup minimalis. Artinya, menghemat pengeluaran dan mengeluarkan uang secukupnya. Contohnya, dengan memilih pangan yang lebih murah dengan kandungan gizi yang sama. Menghemat pengeluaran dengan cara tidak boros memakai listrik dan air.
”Kurangi belanja barang impor. Tujuannya, membuat pelaku ekonomi dalam negeri bertahan, dimulai dari sekitar kita,” tambah Teguh.
Aidil menuturkan, pos pengeluaran perlu diatur agar kebutuhan pokok keluarga terpenuhi. Pemenuhan kebutuhan pokok perlu jadi prioritas, seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan. Namun, selama pola bekerja di rumah berlangsung, kebutuhan komunikasi, yakni internet dan telepon, telah bergeser menjadi kebutuhan pokok.
”Selamatkan kebutuhan pokok yang wajib untuk keluarga. Pengeluaran-pengeluaran di luar itu anggap sebagai kebutuhan tersier yang masih bisa ditunda,” tegas Aidil.
Komponen biaya kebutuhan pokok umumnya 30-50 persen dari total pengeluaran bulanan. Jika ada cicilan kredit, alokasinya 20-30 persen dari pengeluaran. Sementara 20-30 persen dari pengeluaran bulanan untuk hiburan, tabungan, dan investasi. (LKT/DIM/JUD)