Kerja Sama Antarpemerintah Dibutuhkan guna Amankan Produksi APD
Pengadaan perlengkapan alat pelindung diri (APD) medis membutuhkan kerja sama pemerintah dengan pemerintah negara lain. Kerja sama terutama dibutuhkan untuk memenuhi pasokan bahan baku dari luar negeri.
JAKARTA, KOMPAS — Upaya memenuhi perlengkapan alat pelindung diri atau APD secara mandiri untuk penanganan Covid-19 dihadapkan pada kenyataan bahwa masih banyak jenis bahan baku yang perlu diimpor.
Sebut saja lapisan meltblown yang masih diimpor. Lapisan meltblown ini dibutuhkan untuk produksi baju APD model coverall dan masker. Sementara masker N95 juga masih sepenuhnya impor.
Setidaknya 36 industri tekstil, termasuk 5 produsen baju APD medis yang ada sebelumnya, telah dikerahkan untuk memproduksi 18 juta baju APD per bulan guna memenuhi kebutuhan tenaga medis dalam menangani Covid-19. Produksi masker juga diupayakan dapat dimaksimalkan hingga batas kapasitas produksi sebesar 228 juta masker per bulan dari 23 produsen.
Kepala Bidang Pengembangan Industri Asosiasi Produsen Alat Kesehatan Indonesia (Aspaki) Erwin Hermanto, pekan lalu, menyampaikan, industri di dalam negeri saat ini telah menempuh segala cara untuk mencari pasokan bahan baku. ”Upaya yang dilakukan baik itu pengadaan secara langsung B to B (business to business), dari produsen atau pedagang mancanegara,” ucapnya.
Ia mengakui, pendekatan B to B saat ini sangat tidak efektif di tengah pandemi Covid-19. Seperti halnya Indonesia, semua produsen bahan baku di dunia juga dipaksa oleh pemerintah negaranya masing-masing untuk menyediakan pasokan guna memenuhi kebutuhan perlengkapan APD medis di dalam negeri. Kalaupun ada produsen di luar negeri yang bisa mengekspor, pengusaha dari Indonesia akan kalah bersaing dalam hal volume pembelian dengan pembeli-pembeli besar di Asia, Eropa, dan Amerika.
”Oleh karena itu, kami telah memberikan masukan dan mengajukan permohonan kepada Kementerian Kesehatan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan untuk melakukan pendekatan G to G (pemerintah ke pemerintah) negara produsen, seperti China, Taiwan, Korea Selatan, dan India,” tuturnya.
Dukungan pemerintah ini pun dirasakan sangat vital terutama untuk pengangkutan bahan baku. Torch, produsen perlengkapan outdoor yang kini turut memproduksi baju APD medis, contohnya, sejauh ini telah memperoleh kepastian pasokan bahan baku dari China. Namun, tidak ada pesawat yang mengangkutnya.
CEO Torch Ben Wirawan Sudarmadji mengatakan, sejauh ini pihaknya memproduksi 10.000 potong baju APD per bulan. Namun, karena semua industri tekstil di dalam negeri juga didorong memproduksi baju APD, banyak bahan baku yang telah terserap industri tekstil skala besar.
Oleh karena itu, alternatifnya adalah mencari bahan baku dari negara lain, salah satunya China. Akan tetapi, Ben mengatakan, pengangkutan bahan baku dari China adalah persoalan lain lagi karena di tengah wabah ini tidak ada pesawat dengan rute penerbangan langsung China-Indonesia. Di bawah koordinasi Kementerian Pertahanan, lanjutnya, ia baru memperoleh kepastian bahwa bahan baku yang dipesannya akan diangkut dengan pesawat Hercules.
”Ini dukungan dari pemerintah yang sangat membantu, terutama dari Kementerian Pertahanan. Satu sisi, kami pebisnis yang memahami cara bernegosiasi. Sisi lain, pemerintah mendukung untuk pengangkutannya,” ucapnya.
Baca juga : Bertahan dengan Perisai Usang
Masker N95
Sementara untuk memenuhi kebutuhan masker N95 standar medis yang sampai saat ini pengadaannya masih bergantung pada luar negeri, pemerintah berupaya memproduksinya secara mandiri.
Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menyampaikan, pengadaan masker N95 dalam proses pengujian terkait kemampuan filtrasinya.
”Jadi, kami sedang berkejaran menyelesaikan produksi dalam negeri untuk N95. Kami sedang berproses untuk menguji filtrasinya, 90 persen untuk 0,3 mikron,” ujarnya.
Untuk mengatasi kelangkaan perlengkapan APD medis lainnya, Wiku menyampaikan, semua pihak yang tergabung dalam gugus tugas selalu melakukan sinergi, termasuk Kementerian Perdagangan. Ia pun menyatakan, peredaran perlengkapan APD juga akan dikendalikan.
”Jadi, prinsipnya, harus kerja sama semua. Enggak mampu pemerintah sendiri dan enggak akan mungkin tunggu dari pemerintah. Semua harus aktif mencari informasi, mengikuti arah pemerintah, dan menjalankan. Siapa pun itu, termasuk produsen dan distributor,” tuturnya.
Baca juga : Masker Tak Terjangkau Petugas Medis
Tetap harus dikendalikan
Hingga kini, perlengkapan APD medis masih diperjualbelikan secara bebas di Pasar Pramuka dan juga di pasar daring. Setiap jenis perlengkapan APD medis itu pun dijual dengan harga sangat tinggi. Masker bedah 3 lapis merek, contohnya, yang semula dijual sekitar Rp 30.000 per kotak isi 50 lembar kini oleh salah satu produsennya dijual seharga Rp 275.000 per kotak isi 40 lembar. Di Pasar Pramuka, harga jual masker ini naik lagi menjadi Rp 475.000 per kotak.
Ketua Ikatan Dokter Keselamatan Kerja dr Eddy MS menyebutkan, untuk mengatasi kelangkaan, sudah semestinya pemerintah melakukan pengendalian secara ketat karena perlengkapan APD dibutuhkan tenaga medis di tengah wabah ini.
”Untuk memastikan pasokan bagi tenaga medis, rantai distribusi APD medis ini sudah seharusnya dipegang oleh satu badan yang mengatur distribusinya di tengah wabah ini,” ujarnya.
Eddy memberikan contoh, pada akhir Maret, alat pengukur suhu tubuh berupa thermal gun sulit diperoleh. ”Bahkan yang di luar Jawa minta (pasokan thermal gun) ke Jakarta karena di sana tidak ada stoknya,” ucapnya.
Untuk pengadaan segera, menurut Eddy, pemerintah semestinya dapat mengerahkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan untuk melakukan pengadaan perlengkapan APD. BPJS Ketegakerjaan, lanjutnya, memiliki simpanan dana jauh lebih banyak dibandingkan BPJS Kesehatan yang kini defisit.
”BPJS Ketenagakerjaan ini, kan, bisa dibilang masih sugih (kaya), tapi enggak kelihatan gerakannya. Tolonglah, kalau misalnya mereka punya uang, maka siapkan APD, impor saja dari mana, beli sekian juta. Menurut saya, sangat mudah bagi mereka. Di saat-saat seperti ini, kita perlu mencoba menggerakkan mereka,” tuturnya.
Direktur Institute for Development of Economics and Finance Enny Sri Hartati menyampaikan, mekanisme lain yang dapat diterapkan pemerintah adalah menetapkan harga eceran tertinggi (HET) untuk mengendalikan lonjakan harga pada perlengkapan APD. ”HET ini dibutuhkan saat barang itu jadi barang yang sangat prioritas,” ucapnya.
Lebih lanjut Enny mengatakan, jika masa pandemi Covid-19 sudah dapat dilalui, mekanisme HET itu dapat dilepas lagi. ”Jadi, pemerintah bisa mengeluarkan standardisasi begini, kisaran harganya berapa sehingga tidak terjadi ketidakwajaran,” katanya.
Jadi pelajaran
Adanya wabah ini, menurut Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab) Randy Hendrarto, juga perlu menjadi momentum bagi pemerintah untuk membenahi sistem kesehatan nasional. Sebagai bagian dari lima produsen baju APD medis yang ada selama ini, Randy mengatakan, terbatasnya perlengkapan APD medis sekali pakai saat ini juga disebabkan minimnya permintaan baju APD tersebut di dalam negeri.
Hingga akhir 2019, sebelum wabah Covid-19 merebak, menurut data Gakeslab, dari lima produsen baju APD, dua berada di kawasan berikat sehingga hampir 90 persen hasil produksinya untuk ekspor.
Tanpa memperhitungkan jumlah produksi untuk ekspor, produksi untuk kebutuhan dalam negeri hanya 20.000 sampai 30.000 potong per bulan. Untuk memenuhi bahan bakunya pun baru 50 persen yang dipenuhi dari dalam negeri.
Randy mengungkapkan, praktis hanya tiga produsen baju APD yang dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri. Hal ini karena 90 persen rumah sakit masih menggunakan baju operasi dari bahan linen yang dapat digunakan secara berulang. Lain halnya dengan Korea Selatan, Taiwan, dan Jepang yang sudah menggunakan APD sekali pakai hingga 80 persen.
”Kami juga menyayangkan karena komposisi pemakaian surgical gown disposable (APD medis sekali pakai) yang dipastikan aman untuk dokter dan pasien, di Indonesia itu boleh dibilang hanya 5 sampai 10 persen. Sebaliknya di Korea Selatan sudah mencapai 80 persen. Jika pasarnya berkembang, otomatis pelaku produsen yang memproduksi coverall disposable dengan bahan medis pun berkembang,” tuturnya.
Kondisi ini, menurut Randy, yang membuat penyediaan baju APD medis di tengah wabah Covid-19 menjadi tidak siap. Hal ini, lanjutnya, tentunya harus menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk mengevaluasi kembali sistem kesehatan. Apalagi, penanganan medis yang membutuhkan dukungan perlengkapan APD medis tidak hanya Covid-19, tetapi juga penyakit menular lainnya, seperti TBC.
”Pada akhirnya, kesehatan ini, kan, terkait ketahanan negara,” ujarnya.