Masker Tak Terjangkau Petugas Medis
Timpangnya ketersediaan alat pelindung diri dengan kebutuhan, membuat para petugas medis menangani kasus Covid-19 tanpa pengamanan yang memadai. Produksi yang masih bergantung pada impor menjadi salah satu persoalan.
JAKARTA, KOMPAS — Hingga kini belum tampak pengendalian rantai distribusi perlengkapan alat pelindung diri medis. Akibatnya, harga alat pelindung diri melonjak tinggi. Sementara, petugas medis yang menangani pasien Covid-19 maupun pasien yang membutuhkan kesulitan mendapatkan salah satu perlengkapan penting ini.
Selain hazmat, alat pelindung diri (APD) lainnya yang dibutuhkan tenaga kesehatan dalam penanganan wabah Covid-19 terutama adalah masker bedah dan masker N95. Selain itu, ada pula sarung tangan karet, sarung kepala, sarung sepatu, dan pembersih tangan (hand sanitizer).
Sejumlah rumah sakit masih kekurangan APD. RSUD dr Soeselo, Slawi, Kabupaten Tegal, yang pada 6 April 2020 menangani dua pasien dalam pengawasan (PDP), sama sekali tak memiliki persediaan masker N95. Sebelumnya tenaga medis di rumah sakit ini hanya mengandalkan jas hujan saat menangani seorang PDP. Pasien itu kini telah meninggal.
Direktur Utama RSUD dr Soeselo, dr Guntur Muhammad Taqwin, mengungkapkan, per Jumat (24/4/2020), pihaknya masih merawat 3 pasien Covid-19, 5 pasien dalam pengawasan (PDP), dan 9 orang dalam pengawasan (ODP).
Saat ini, pihak rumah sakit masih membutuhkan sarung tangan panjang, masker N95 medis, penutup kepala sekali pakai, serta baju operasi (surgical gawn). Seluruh APD itu dibutuhkan petugas medis yang merawat pasien di ruang isolasi.
Ketersediaan masker N95 kini sangat krusial karena masker ini memiliki kemampuan filtrasi yang baik sehingga diandalkan oleh tenaga kesehatan yang menangani pasien Covid-19 maupun PDP dan ODP. Secara umum masker ini dapat menyaring udara hingga 95 persen.
Menurut perhitungan Ikatan Dokter Keselamatan Kerja Indonesia (IDKI), satu rumah sakit yang menangani pasien Covid-19 selama tiga bulan rata-rata membutuhkan 2.000-3.000 masker N95.
”Itu untuk satu rumah sakit. Kalau kita hitung untuk 300 rumah sakit saja mungkin sudah 1 juta masker yang dibutuhkan. Hal itu pernah kami sampaikan kepada pemerintah. Hanya kami bingung, sebenarnya pemerintah ada atau enggak, ya? Kok, malah pemerintah tanya kepada kami,” Ketua IDKI dr Eddy MS.
Untuk memenuhi kebutuhan masker ini, Eddy menyampaikan, sebaiknya pemerintah meminta bantuan kepada negara di Asia Tenggara karena mengharapkan logistik dari industri dalam negeri rasanya tidak mungkin. Permintaan bantuan itu bisa diajukan kepada Vietnam, salah satu negara dengan kasus Covid-19 relatif sedikit, yakni sekitar 200 kasus.
”Kita tetap harus mengimpor dari negara-negara yang memang sudah bisa memproduksi. Dalam hal ini China sudah pasti siap. Hanya mungkin perlu dicari alternatif lain, seperti Vietnam, dengan kondisi kasus Covid-19 di sana relatif sedikit. Kita tidak usah malu untuk meminta dari negara tetangga,” ucapnya.
Sekretaris Direktorat Jenderal Farmasi dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Ade Arianti Anaya menyampaikan, masker N95 sangat dibutuhkan bagi tenaga kesehatan yang melakukan kontak erat secara langsung menangani kasus Covid-19 dengan tingkat infeksius tinggi. Masker ini dapat melindungi para tenaga kesehatan karena tak hanya melindungi diri dari cairan percikan (droplet) batuk dan bersin yang menjadi sarana penularan, tetapi juga sampai yang berbentuk aerosol.
”Kami berharap semua petugas (tenaga kesehatan) bisa menggunakan N95 karena masker ini melindungi tenaga kesehatan,” katanya.
Mahal
Kompas menelusuri distribusi masker tiga lapis merek Sensi yang kini langka dan harganya sangat mahal.
Sebelum wabah Covid-19, masker ini dengan mudah bisa diperoleh di apotek dengan harga sekitar Rp 30.000 per kotak isi 50 lembar. Kini, sejumlah orang yang membutuhkan masker untuk kebutuhan APD bagi tenaga kesehatan harus bersusah payah mengantre di kantor PT Arista Latindo selaku produsen Sensi di kawasan Jembatan Lima, Jakarta Barat.
Dicka, Selasa (7/4/2020), tengah mengantre di depan kantor PT Arista Latindo. Ia ditugaskan mengambil tujuh boks masker pesanan klinik tempatnya bekerja. Untuk memperoleh tujuh boks masker ini, beberapa hari sebelumnya pihak klinik harus mengajukan permohonan terlebih dahulu kepada PT Arista Latindo dengan dilampiri surat pengantar RT dan RW. ”Harus mengajukan surat permohonan dulu baru bisa beli,” ucapnya.
Joko, seorang tenaga pemasaran PT Arista Latindo yang menemui sejumlah calon pembeli yang mengantre, menyampaikan bahwa semua pembelian harus didahului dengan surat permohonan dilengkapi dengan salinan KTP, NPWP, dan surat pengukuhan perusahaan kena pajak (SPPKP) untuk instansi. Harga satu boks isi 40 lembar masker Rp 275.000.
”Sekarang sudah antrean 300 sekian,” ucap Joko kepada sejumlah orang yang bersesakan ingin membeli masker.
Kompas telah berupaya untuk konfirmasi kepada manajemen PT Arista Latindo terkait kelangkaan dan mahalnya harga masker Sensi. Namun, tidak ada satu pun yang bisa memberikan konfirmasi.
”Enggak ada, manajemen sudah kerja di rumah semua. Bosnya juga,” ucap petugas keamanan di kantor itu.
Di Pasar Pramuka, masker tiga lapis merek Sensi dapat dijumpai hampir di setiap toko di pasar itu. Akan tetapi, harga jualnya Rp 485.000 per boks, hampir dua kali lipat dari harga jual di produsennya. Masker sejenis dari berbagai macam merek juga dijual dengan harga paling rendah Rp 420.000 per boks.
Masker N-95 untuk berbagai macam penggunaan juga dikuasai pedagang. Masker N95 seri 8210 yang digunakan untuk pekerjaan pengelasan di salah satu toko di Tokopedia dijual Rp 95.000 per lembar. Padahal salah satu penyalur masker ini PT Datascrip menjualnya seharga Rp 12.100 per lembar meski saat ini produknya sudah out of stock atau habis.
Masker N95 khusus medis seri 1860 dan 1870 yang kini sudah langka, dijual secara eceran oleh sejumlah toko daring dengan harga Rp 209.000 sampai Rp 250.000 per lembar. Di Pasar Pramuka, berbagai jenis masker N95 dijual dengan kisaran harga Rp 160.000 hingga Rp 175.000 per lembar.
Para pedagang menjual masker kepada siapa pun, tak terbatas pada tenaga kesehatan. Padahal produsen masker ini, salah satunya 3M, berada di luar negeri sehingga untuk memenuhinya Indonesia harus impor.
”Masker N95, satu dus isi 20, harga Rp 3,5 juta. Satuannya Rp 175.000,” ucap seorang pedagang di Toko Mandiri Medika, salah satu toko di Pasar Pramuka.
FZ, pemilik toko alat kesehatan di sekitar Pasar Pramuka, mengungkapkan, tingginya harga perlengkapan APD di Pasar Pramuka bukan hanya disebabkan oleh pedagang yang menaikkan harga terlampau tinggi. Menurut dia, harga perlengkapan APD sudah naik sejak di tingkat distributor.
”Kalau mau diawasi dan dikendalikan, harus sejak dari distributornya. Jangan salahkan pedagangnya,” ucapnya.
Impor dan produksi dalam negeri
Sekretaris Direktorat Jenderal Farmasi dan Alat Kesehatan Ade Arianti Anaya berpendapat, masker tiga lapis langka karena lapisan tengah masker ini hanya diproduksi di China, yakni meltblown. Sementara China menahan ekspor bahan baku pada saat pandemi. ”Industri masker kita cukup banyak, tetapi kita tidak bisa berproduksi karena lapisan tengah ini,” jelasnya.
Kepala Bidang Pengembangan Industri Asosiasi Produsen Alat Kesehatan Indonesia (Aspaki) Erwin Hermanto mengungkapkan, selama ini Indonesia dalam memenuhi lapisan filtrasi meltblown untuk masker itu masih bergantung pada impor. Di tengah masa pandemi Covid-19, permintaan bahan baku ini di dunia cukup tinggi, sementara negara produsen juga menerapkan kebijakan larangan ekspor untuk memenuhi kebutuhan perlengkapan APD di dalam negerinya.
Menurut Erwin, kondisi ini yang menyebabkan kenaikan harga meltblow di pasar dunia hingga hampir 30 kali lipat. Pada masa sebelum wabah Covid-19, harganya sekitar 2,8 dollar AS per kilogram dan kini menjadi 80 dollar AS per kg.
”Kelangkaan bahan baku masker ini dirasakan secara global karena kebutuhan produk jadi masker sangat tinggi di seluruh dunia akibat wabah Covid-19,” jelas Erwin.
Berdasarkan pemetaan kemampuan produksi APD yang telah dilakukan Kementerian Perindustrian, ditemukan ada 23 produsen masker dua dan tiga lapis dengan total kapasitas produksi 228 juta masker per bulan.
Sementara spunbond dan meltblown yang menjadi bahan bakunya ditemukan ada 14 industri yang memproduksinya, dengan total kapasitas produksi 13.000 ton per bulan. Dari 14 produsen spunbond, hanya satu yang memproduksi meltblown, yakni PT Multi Spunindo Jaya. Meltblown dibutuhkan sebagai lapisan penyaring yang berada di lapisan tengah antara lapisan spunbond untuk masker tiga lapis.
Direktur Jenderal Industri Kimia Farmasi Tekstil Kemenperin Muhammad Khayam mengatakan, meskipun 23 produsen masker di dalam negeri memiliki kapasitas produksi yang besar, produksi yang dijalankan selama ini tidak pernah maksimal, hanya 130 juta masker per bulan. Itu pun kebanyakan diekspor.
Dengan adanya wabah Covid-19, lanjutnya, para produsen masker bersedia menyuplai kebutuhan dalam negeri. Termasuk bahan bakunya juga akan menggunakan produksi dalam negeri karena sebelumnya banyak produsen masker menggunakan bahan baku impor.
”Sebelumnya potensi ini tidak ketemu, karena kebanyakan bahan bakunya impor. Sekarang sudah ketemu, dan perusahaan besar di Indonesia siap menyuplai,” katanya.
Demikian pula untuk sarung tangan medis, menurut Khayam, Indonesia memiliki potensi yang sangat besar karena bahan bakunya karet dan Indonesia memiliki perkebunan karet cukup luas.
Ada enam produsen sarung tangan karet dengan kapasitas produksi 8,6 miliar pasang sarung tangan, tetapi total produksinya selama ini 6,8 miliar pasang, termasuk sarung tangan medis untuk bedah. Hingga 2019, penyerapan sarung tangan ini hanya 1,5 miliar pasang, dan selebihnya diekspor.
Baca juga : Buka Tutup Data Penanganan Korona
Sementara untuk cairan pembersih tangan (hand sanitizer), menurut Khayam, industri dalam negeri memiliki kapasitas produksi 156.000 ton. Namun, dalam setahun jumlah produksinya hanya 130.000 ton, dengan rincian 70.000 ton untuk dalam negeri dan 60.000 ton ekspor.
”Bahkan sekarang ada sejumlah perusahaan yang ikut memproduksi hand sanitizer, seperti Cusson dan Wings,” jelasnya.
Sementara untuk kacamata google yang juga menjadi bagian perlengkapan APD medis, menurut Khayam, sejauh ini juga dapat dipenuhi. ”Kacamata juga ada beberapa yang sanggup produksi,” ucapnya.
Namun untuk masker N95, diakui Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito, jumlahnya semakin terbatas dan harganya mahal, sementara produsennya di luar negeri. Padahal masker itu sangat dibutuhkan oleh tenaga medis.
”Jumlahnya sangat terbatas dan langka, harganya tinggi sekali. Kenapa? Karena impor. Masker N95 yang kita miliki selama ini di Indonesia itu produknya 3M. Amerika pun menahan (masker N95) karena mereka juga membutuhkan,” jelasnya.
Wiku pun menyampaikan bahwa masker N95 yang beredar sebenarnya banyak tipe, di antaranya ada yang industri dan untuk tenaga medis. Di saat seperti ini, tenaga medis tetap dapat menggunakan masker N95 untuk industri jika masker N95 medis tidak diperoleh.
”Masyarakat jangan pakai masker N95 karena N95 itu dibutuhkan oleh dokter yang menangani pasien yang sangat infeksius. Itu untuk mereka. Jumlahnya sangat terbatas dan langka, harganya tinggi sekali,” jelasnya.
Terkait banyak perlengkapan APD yang diperjualbelikan dengan harga tinggi oleh pedagang, Wiku menyampaikan, dibutuhkan kesadaran masyarakat agar tidak menggunakan perlengkapan APD medis sehingga tenaga kesehatan tidak kekurangan APD.
Ia pun meminta agar masyarakat ikuti saja pedoman pemakaian perlengkapan APD bagi masyarakat dan tenaga medis yang telah diterbitkan gugus tugas, salah satunya menggunakan masker kain untuk warga yang sehat.
”Ya pasti kita juga akan mengendalikan distribusinya,” ucapnya.
Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Alat Kesehatan dan Laboratorium, Randy Hendrarto menyampaikan, perlengkapan APD yang dikuasai pedagang dan dijual dengan harga tinggi tetap tidak bisa dikesampingkan karena tenaga medis tengah membutuhkannya. Menurut dia, Taiwan merupakan salah satu contoh sukses dalam pengendalian perlengkapan APD bagi tenaga medis di tengah wabah Covid-19.
”Kalau kita mau belajar dari negara lain yang sukses mengontrol masker untuk masyarakatnya, mungkin Taiwan. Ekspor masker dilarang. Pemerintah langsung mengendalikan distribusi masker ke apotek-apotek dan rumah sakit. Lalu mereka membatasi ke masyarakat umumnya,” jelasnya.
Direktur Institute for Development of Economics and Finance Enny Sri Hartati menyampaikan, ada dua langkah yang perlu dilakukan untuk mengatasi kelangkaan perlengkapan APD medis ini. Pertama adalah meningkatkan pasokannya, dan kedua adalah distribusinya diawasi.
”Kalau perlu dikendalikan karena enggak mungkin masyarakat biasa membutuhkan itu (perlengkapan APD medis),” ucapnya.
Seperti peredaran perlengkapan APD di Pasar Pramuka, menurut Enny, semestinya untuk menertibkannya mudah sekali. Pemerintah atau dinas kesehatan setempat dapat menelusuri pemasoknya.
”Saya juga enggak paham, kok, ada black market seperti itu. Kan, di Pasar Pramuka itu semua alat kesehatan ada, pemasoknya ada, permintaannya ada. Pemasoknya siapa, bisa ditelusuri. Semestinya, kan, tidak bisa dijual satuan bebas, karena ini memang untuk kebutuhan tenaga medis,” jelasnya.
Industri
Selain rumah sakit, menurut Ketua IDKI dr Eddy MS, sektor industri juga perlu dibekali perlengkapan APD, tetapi sebatas di klinik. Dukungan APD untuk sektor industri ini penting untuk menjaga keberlangsung produksi utamanya untuk industri minyak dan gas.
Di dalam bisnis, harus dipersiapkan business continuity plan (BCP) atau rencana kelanjutan bisnis dan di dalamnya dicantumkan harus menyiapkan ruang isolasi atau klinik darurat yang bisa memberikan penanganan awal untuk kasus-kasus yang dicurigai Covid-19.
Kelengkapan APD di sejumlah industri dalam negeri yang telah menerapkan BCP, menurut Eddy, sudah disiapkan saat wabah Covid-19 mulai merebak ke sejumlah negara. Walaupun saat itu Pemerintah Indonesia masih meyakini wabah Covid-19 tidak akan terjadi di dalam negeri.
”Beberapa teman di industri juga sudah banyak yang menyumbangkan perlengkapan APD ke rumah-rumah sakit. Sekarang, setidaknya di satu klinik industri tersedia 4 set APD dan paling banyak 10,” jelasnya.