Direksi Bursa Efek Indonesia berkomitmen untuk memantau kondisi keuangan perusahaan terbuka untuk memastikan persepsi dan sentimen pelaku pasar tetap sejalan dengan fundamental pasar.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Otoritas bursa memantau kinerja keuangan perusahaan tercatat yang sebagian besar kena dampak kondisi perekonomian yang merosot akibat pandemi Covid-19. Pemantauan ini merupakan langkah otoritas dalam menjaga persepsi investor yang mudah membuat pasar bergejolak.
Dalam telekonferensi, Jumat (24/4/2020), Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia (BEI) Inarno Djajadi menyampaikan, perlambatan pertumbuhan ekonomi tidak hanya terjadi di Tanah Air. Secara global, pandemi Covid-19 menyebabkan kelesuan putaran roda bisnis. Kondisi ini berdampak pada penurunan indeks bursa, diikuti kapitalisasi pasar yang anjlok.
”Ini situasi luar biasa yang terjadi secara menyeluruh secara global. Episentrumnya berbeda dengan krisis ekonomi 2008 yang dampaknya tidak terlalu terasa di Asia. Saat ini pandemi ini situasinya menyerang semua negara,” kata Inarno.
Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna menyampaikan, BEI memonitor kondisi keuangan dan utang perusahaan tercatat. Pantauan kondisi keuangan setiap emiten secara berkala disampaikan kepada investor melalui berbagai kanal, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Langkah ini diambil setelah pandemi Covid-19 sempat menciptakan kepanikan pasar yang menyebabkan nilai rata-rata transaksi harian di pasar modal merosot hingga 24 persen. Hal ini merembet hingga Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berada di level terendah pada 24 Maret 2020, yakni turun 37,49 persen dibanding akhir tahun 2019. Adapun pada perdagangan akhir pekan ini, IHSG berada di level 4.593,55.
Tabel kinerja emiten BEIRelaksasi penyampaian laporan keuangan dilakukan setelah otoritas memberikan relaksasi batas waktu penyampaian laporan keuangan triwulan I-2020, dari yang seharusnya Mei 2020, mundur menjadi Juni 2020.
”Tujuan dari relaksasi adalah agar laporan keuangan bisa lebih relevan dan dapat diandalkan sehingga pihak investor bisa lebih cermat dan tepat mengambil keputusan sesuai dengan kondisi perekonomian paling realistis,” kata Nyoman.
Sejak awal 2019 hingga perdagangan 24 April 2020, penurunan kapitalisasi pasar mencapai Rp 1.954 triliun atau 26,11 persen, dari Rp 7.265 triliun menjadi Rp 5.311 triliun.
Nyoman mengungkapkan, hingga saat ini baru 238 emiten yang menyampaikan laporan keuangan. Sebagian besar kinerja keuangan masih tumbuh positif dari aset, ekuitas, pendapatan ataupun laba tahun berjalan perusahaan. Sebab, saat itu pandemi Covid-19 belum terjadi.
”Dibandingkan dengan Desember 2018, pertumbuhan pendapatan 1,87 persen. Laba tahun berjalan naik 2,11 persen secara tahun berjalan,” ujarnya.
Sebagian besar kinerja keuangan masih tumbuh positif
Beli kembali saham
Inarno menyebutkan sebanyak 42 perusahaan tercatat, yang terdiri dari 7 BUMN dan 35 non-BUMN, telah membeli kembali saham (buyback) per 23 April 2020 dengan total nilai mencapai Rp 876,09 miliar. Adapun pada rencana awal, 65 emiten akan melakukan pembelian kembali saham, terdiri dari 12 BUMN dan 53 non-BUMN.
”Sudah 64,6 persen dari target 65 perusahaan yang akan melakukan buyback. Untuk nilai, dari rencana awalnya Rp 19,31 triliun, saat ini baru terealisasi Rp 876,09 miliar atau setara dengan 4,5 persen dari target awal,” ujarnya.
Adapun emiten BUMN, menurut rencana, akan membeli kembali saham senilai Rp 10,15 triliun. Namun, baru terealisasi Rp 181,63 miliar. Sementara emiten non-BUMN akan membeli kembali saham senilai Rp 9,16 triliun. Namun, baru terealisasi Rp 694,46 miliar atau setara 7,6 persen dari rencana awal.
Inarno menilai, aktivitas penawaran umum perdana (IPO) di pasar modal masih cukup baik di tengah perlambatan pertumbuhan ekonomi. Meskipun, secara jumlah, angka IPO turun ketimbang tahun-tahun sebelumnya. ”Kami melihat volatilitas pasar akibat pandemi tidak menyurutkan minat perusahaan untuk masuk ke pasar modal,” ujarnya.
Sejak pandemi Covid-19 sampai dengan 23 April 2020, ada sembilan perusahaan yang menggalang dana dan mencatatkan saham di BEI. Meskipun, selama pandemi Covid-19, tidak ada seremonial yang menandai sebuah perusahaan resmi melantai di bursa saham Indonesia.
Sejak awal tahun, kata Inarno, sudah ada 26 perusahaan baru yang tercatat di bursa. Berdasarkan catatan hingga kemarin, ada 28 pencatatan efek baru yang berada di pipeline BEI. Inarno meyakini, berbagai kebijakan, termasuk stimulus fiskal dari pemerintah, dapat membuat pasar modal semakin likuid sebagai sumber pembiayaan alternatif bagi perusahaan terbuka.