Menjaga Harapan yang Tersisa
Bermodal literatur kesehatan, Budhi Hermanto menggalang pengadaan baju alat pelindung diri (APD) medis secara mandiri di Yogyakarta
”Bagi saya, satu-satunya harapan saat ini adalah paramedis menyembuhkan teman-teman, saudara saya dari sakit. Saya tak bisa membayangkan paramedis kita tidak dilindungi. Jadi, yang bisa saya lakukan, saya lakukan.”
Begitu disampaikan Budhi Hermanto, aktivis dan peneliti sosial yang menggalang pembuatan baju alat pelindung diri (APD), bersama para penjahit di Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Bermodal literatur kesehatan, Budhi Hermanto menggalang pengadaan baju alat pelindung diri (APD) medis secara mandiri di Yogyakarta. Dokter-dokter gigi alumni Universitas Trisakti, Jakarta, juga berjibaku memproduksinya dengan mengandeng konveksi, menyediakan baju APD yang hingga kini masih langka bagi para tenaga medis dalam menghadapi wabah Covid-19.
Pada pertengahan Maret, saat wabah Covid-19 tengah merebak di Indonesia, Budhi yang bekerja sebagai peneliti di salah satu organisasi sosial masyarakat di Yogyakarta ini menyaksikan teman-temannya para pekerja medis yang bertugas di garis depan penanganan Covid-19 di sejumlah rumah sakit di Yogyakarta, itu berjuang tanpa dilengkapi alat pelindung.
Saat itu penularan Covid-19 di Yogyakarta memang tidak sebanyak di Jakarta, Jawa Barat, dan Banten, yang menjadi pusat penularan. Pada 15 Maret, 1 pasien Covid-19 baru ditemukan di Yogyakarta. Hingga 17 April, jumlah yang tertular penyakit ini terus bertambah menjadi 63 orang, dengan rincian 35 dirawat, 22 sembuh, dan 6 meninggal.
Apalagi kala itu, Budi pun memperoleh kabar dari kalangan pekerja medis bahwa mulai ditemukan warga di Wonogiri, Jawa Tengah, tertular Covid-19. Tenaga medis yang merawatnya sama sekali tak dilengkapi baju APD. “Untuk melindungi diri, para tenaga medis (di Wonogiri) itu menggunakan kantong plastik sampah warna hitam,” tuturnya yang enggan menyebutkan nama rumah sakit demi menjaga privasi pasien.
Menemukan fakta-fakta memprihatinkan itu, Budhi menilai kondisi ini tidak bisa dibiarkan. Dalam pikirannya, jika para tenaga medis yang ada di garis depan menjadi korban, siapa lagi yang akan menyembuhkan warga yang tertular Covid-19.
Bagi saya, satu-satunya harapan saya bahwa paramedis ini menyembuhkan teman-teman saya, saudara saya dari sakit.
Dimulai dengan mencari sejumlah literatur terkait standar baju APD medis, Budhi memulai proyek pembuatan baju APD secara mandiri. Dari sejumlah jurnal dan dokumen Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang diunduh di daring diketahui baju itu dapat dibuat dengan menggunakan bahan laminated spunbond non-woven, serat sintetis tanpa tenun. Dari dokumen-dokumen itu pula ia mempelajari polanya.
”Kemudian aku spontan saja menemui beberapa penjahit dan aku tanya, sampean (Anda) bisa enggak buat baju APD. Teman-teman penjahit tanya, baju koyok opo iku (baju seperti apa itu). Singkat saja saya tanya, sampean bisa jahit jas hujan nggak, kemudian beberapa penjahit respons; oke mas, saya coba deh,” tutur Budhi.
Dengan menggunakan dana patungan bersama dua kawannya, Budhi mulai memproduksi baju APD. Untuk mengontrol kualitasnya, Budhi meminta koleganya beberapa dokter untuk menguji baju APD hasil produksinya. Karena tak memiliki alat penguji, cara mengujian kekuatan baju APD itu pun dilakukan dengan sederhana, yakni menggunakan baju APD itu sebagai kantong wadah air dan dibiarkan selama 2 menit untuk melihat apakah bahan baju APD itu tahan rembesan air atau tidak.
”At the end, seorang dokter menyampaikan bahwa, Mas Budhi, ini jauh lebih baik. Ini ada, daripada kami pakai jas hujan,” ucap Budhi menirukan dokter, koleganya.
Baca juga: 1.500 APD Covid-19 Dibuat oleh Warga
Hingga 2 April, Budhi bersama kelompok-kelompok masyarakat di jaringannya sudah membagikan 700 baju APD ke sejumlah rumah sakit. Untuk membangun kepaduan kerja bersama kelompok-kelompok lainnya maka semua informasi terkait bahan baku dan cara membuat baju APD dibagikan di Google Documents. Dengan piranti itu, semua kelompok yang tergabung dalam pengadaan baju APD bisa saling membagikan pengalaman dan inovasinya memproduksi baju APD.
Lewat piranti itu pula, dibagikan data jumlah rumah sakit hingga klinik yang belum memperoleh bantuan baju dan perlengkapan APD lainnya, seperti masker, tameng pelindung wajah (face shield), dan sepatu boot. Dari pendataan secara mandiri itu, diketahui seluruh rumah sakit di Provinsi DI Yogyakarta dan sejumlah kabupaten Provinsi Jawa Tengah yang ada di sekitarnya membutuhkan 10.700 baju APD.
”Kami tidak tahu data kebutuhan APD versi pemerintah. Kami melakukan pendataan ini secara mandiri supaya baju APD yang kami berikan dapat terbagi dengan rata ke setiap rumah sakit dan klinik yang ada di Yogyakarta dan sekitarnya,” jelasnya.
Budhi mengaku, pihaknya membagikan bantuan baju APD itu tanpa memandang fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) rujukan atau bukan. Sebab, belakangan ini pun ada penderita Covid-19 yang tak menunjukkan gejala sehingga cukup rawan bagi setiap tenaga kesehatan.
Sementara, hingga 3 April, pemerintah pusat baru selesai memetakan kebutuhan dan sumber daya untuk memproduksi baju APD dalam skala besar. Dimulai kerja sama dengan 36 industri tekstil dalam negeri, termasuk 5 di antaranya adalah produsen baju APD medis yang ada selama ini, pemerintah menargetkan dapat memproduksi 18 juta potong baju APD selama sebulan, dan 1 juta di antaranya ditargetkan baju APD yang memenuhi standar medis untuk tenaga kesehatan yang langsung menangani pasien Covid-19. Walaupun hingga pertengahan April ini belum ada yang didistribusikan.
Sebelum terjadi wabah Covid-19 di Indonesia, jumlah produsen baju APD memang terbatas 5 produsen. Jumlah produksi untuk kebutuhan dalam negeri, menurut data Gabungan Pengusaha Alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab), berkisar 20.000 sampai 30.000 potong per bulan, dengan bahan baku sebagian besar impor. Sebaliknya di tengah kondisi wabah Covid-19 seperti saat ini, kebutuhan baju APD untuk nasional tak kurang dari 16,5 juta per bulan.
Karena Covid-19 telah menjadi pandemik, penularannya menyebar ke sejumlah negara, baju APD medis pun menjadi komoditas yang diperebutkan oleh semua negara. Melalui Kementerian Perindustrian, pengadaan baju APD ini semaksimalkan mungkin menggunakan bahan baku dalam negeri, salah satunya spunbond non-woven, dan serat sintetis dari polypropylene jenis lainnya yang tahan air.
Dengan menggunakan bahan baku laminated spunbond, para dokter gigi alumni Universitas Trisakti 2002 sejak 21 Maret lalu juga memproduksi baju APD dengan mengerahkan sejumlah konveksi di Jakarta dan sekitarnya. Hingga kini, para dokter yang terhimpun dalam Project Indonesia ini dapat memproduksi 400 potong baju APD per minggu.
Kami sadar bahwa saat ini terjadi kelangkaan APD, sehingga kami ingin donasi yang disalurkan bisa tepat sasaran
Drg Ruth Amigia, salah satu dokter gigi di Project Indonesia ini mengungkapkan, ia bersama rekan-rekannya telah membagikan paket APD ke sejumlah rumah sakit dan puskesmas di lebih 200 lokasi di Indonesia.
Ruth menjelaskan, sebisa mungkin APD yang disumbangkan memenuhi standar Kemenkes dan harus tepat sasaran. Bagi rumah sakit maupun puskesmas yang kekurangan, harus memberikan data terlebih dahulu jumlah pasien ODP, PDP dan positif covid yang dirawat, serta APD apa saja yang diperlukan sebelum menerima donasi.
”Kami sadar bahwa saat ini terjadi kelangkaan APD, sehingga kami ingin donasi yang disalurkan bisa tepat sasaran,” ucapnya.
Ruth menjelaskan, setiap rumah sakit biasanya mendapat satu paket bantuan APD dari Project Indonesia yang terdiri dari baju hazmat, surgical gown, sarung tangan bedah, kacamata pelindung, pelindung wajah, masker bedah, masker N-95, sepatu bot, alcohol swab, hingga hand sanitizer.
”Kami juga bekerja sama dengan kawan-kawan dari Ikatan Perancang Mode Indonesia untuk membuat baju hazmat dan surgical gown,” ujarnya.
Baca juga : Indonesia Mampu Produksi APD hingga 17 Juta Unit Per Bulan
Torch, salah satu produsen perlengkapan outdoor, ini pun melakukan penelitian secara mandiri untuk memproduksi baju APD yang dapat memenuhi standar medis. CEO Torch, Ben Wirawan Sudarmadji mengungkapkan, riset dilakukan dengan tetap mengacu pada standar yang ditetapkan pemerintah sehingga produk yang dihasilkan dapat memenuhi standar medis.
Jika pada umumnya baju APD medis hanya digunakan sekali, Torch memilih baju APD medis yang dapat digunakan berulang kali. Pilihan itu diambil dengan mengacu pada dokumen Pedoman Alat Pelindung Diri Dalam Menghadapi Wabah Covid-19 yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan, Kementerian Kesehatan. Di dokumen itu disebutkan bahwa baju APD medis dapat berupa sekali pakai, dan yang dapat berulang kali dipakai dengan catatan tidak alami kerusakan.
Ben mengaku, pihaknya memilih bahan poliester tenun dengan dilapis bahan tahan air. Dari beberapa uji coba, menurut Ben, baju APD buatannya dapat disterilkan dengan cara steril dingin, yaitu menggunakan cairan alkohol untuk membersihkan baju itu sehingga dapat digunakan kembali.
”Kami juga sedang meminta teman kami di laboratorium Biologi ITB untuk menguji baju yang kami produksi, apakah tahan bakteri atau tidak. Teman kami di laboratorium sedang mengembangkan bakterinya, untuk kemudian diaplikasikan pada baju untuk menguji ketahanan baju APD yang kami buat,” jelasnya.
Kini pekerjaan produksi tengah dilaksanakan Torch. Produknya juga mulai dipasarkan, dan sejauh ini sudah ada 5.000 potong yang dipesan oleh kalangan tenaga medis. “Kami hanya menjual baju ini kepada tenaga medis. Untuk mengendalikannya, kami meminta identitas terkait pekerjaannya sebagai tenaga medis. Ini sebagai upaya agar tidak ada penimbunan,” jelasnya.
Sementara bagi kalangan pemilik konveksi kecil berbasis rumah tangga, datangnya pesanan pembuatan baju APD untuk kepentingan donasi dari berbagai kelompok sosial masyarakat telah menginspirasi mereka untuk mengalihkan produksinya ke pembuatan baju APD. Dengan memproduksi baju ini, mereka dapat memperpanjang napas usahanya di tengah perlambatan ekonomi akibat penjarakan sosial, cara pengendalian penularan Covid-19.
Yusuf (25), pengusaha konveksi di Kabupaten Bogor ini, sudah mendapat pesanan sekitar 1.000 potong baju APD atau yang juga dikenal dengan hazmat ini. Pesanan itu ada yang datang dari rumah sakit swasta di Jakarta, dan ada pula dari organisasi sosial.
Baca juga: Kota Tangerang Penuhi Kebutuhan APD secara Mandiri
Saat pertama kali membuat baju APD ini, Yusuf mengaku, ia memperoleh pola baju itu dari rekannya sesama pemilik konveksi yang sudah lebih dulu memperoleh pesanan baju APD dari organisasi sosial di Jakarta.
Dalam memproduksi baju itu, Yusuf pun mengaku melakukan proses sterilisasi dengan cara menjemur bahan spunbond dan menyemprotkannya dengan disinfektan. Setelah jadi, baju APD itu kembali disemprot disinfektan.
”Saya mencari tahu sendiri (cara sterilisasi) lewat internet dan ada beberapa pembeli yang minta supaya baju hazmat ini disemprot dengan cairan antiseptik,” katanya.
Untuk satu potong baju hazmat, Yusuf memerlukan bahan spunbond sepanjang 3 meter. Pada mulanya, ia dapat menyediakan bahan baku itu karena masih tersedia banyak dan harganya belum alami kenaikan, sekitar Rp 6.000 per meter. Setiap potong baju yang dibuatnya pun dijual seharga kurang dari Rp 50.000.
Yusuf mengaku cukup mengetahui seluk beluk spunbond karena sebelumnya ia memproduksi tas berbahan spunbond yang biasanya digunakan sebagai goody bag. ”Spunbond ini kan sebelumnya lebih banyak dipakai untuk bikin tas,” ucapnya.
Namun, sekarang, lanjutnya, harga bahan spunbond sudah melonjak tinggi menjadi Rp 17.500 per meter. Ia pun sempat membatalkan pesanan baju APD karena tidak sanggup menyediakan bahan spunbond dengan harga yang begitu tinggi. “Akhirnya sekarang pemesan menyediakan sendiri bahannya, termasuk aksesorisnya, dan saya hanya dibayar ongkos jahitnya. Untuk penjahit, contohnya, saya kasih upah Rp 20.000 per potong,” jelasnya.
Adanya pesanan baju APD ini diakui Yusuf cukup lumayan memperpanjang denyut nadi usaha konveksinya. “Ada 10 orang yang bekerja dengan saya. Pekerjaan ini cukup lumayan membantu, karena semua usaha sedang lesu,” tuturnya.
Abdul Ghoni (45), salah satu pengusaha konveksi di Perkampungan Industri Kecil (PIK) Penggilingan, Jakarta Timur, ini pun mengalihkan produksinya dari semula membuat suvernir menjadi baju APD. Bersama 10 karyawannya, ia mampu memproduksi sekitar 200 potong baju hazmat dalam sehari.
”Saya tidak pernah memproduksi baju hazmat sebelumnya. Namun, ketika terjadi kelangkaan APD, ada banyak pesanan yang masuk, sehingga saya berinisiatif untuk membuat baju hazmat dari bahan spunbond dan PVC untuk dijual,” ucapnya.
Satu potong baju APD berbahan PVC ia jual dengan harga Rp 65.000, sedangkan yang berbahan spunbond dijual Rp 80.000. ”Saat ini, bahan baku spunbond untuk membuat baju hazmat semakin langka dan mahal. Awalnya 1 meter bahan spunbound dijual dengan harga Rp 5.500, tetapi kini harganya bisa mencapai Rp 14.000,” ucapnya.
Oleh sebab itu, Abdul tidak berani menerima pesanan dalam jumlah banyak karena bahan bakunya tidak cukup. Ia pun harus berjibaku mencari bahan di sejumlah toko, seperti Tanah Abang dan Mangga Dua.
”Kadang sudah antre berjam-jam, tetapi tidak kebagian bahan baku. Saya harap ada pihak yang bisa mengatur distribusi bahan baku supaya merata,” katanya.
Baca juga: Industri Kecil Menengah Bersiap Produksi Alat Pelindung Diri Berstandar Medis
Saat ini, ada sekitar 600 potong baju hazmat yang sudah dipesan kepada Abdul. Pembelinya biasanya merupakan dokter maupun donatur dari berbagai daerah seperti Tangerang dan Sulawesi. Ada juga pembeli yang menjual kembali barang dagangannya di Pasar Pramuka, Jakarta.
”Saya juga menjual baju hazmat lewat toko daring (marketplace) seperti Shopee. Jika ada yang mau membeli satuan juga bisa,” ujarnya.
Sementara di Pasar Pramuka, baju APD untuk tenaga kesehatan dijual dengan harga yang lumayan tinggi. Paling murah Rp 400.000, dan yang paling mahal mencapai Rp 600.000 per potong. Sebelum terjadi wabah Covid-19, baju APD tidak dijual bebas. Lima produsen baju APD yang ada sebelum terjadi wabah, sesuai izin Kemenkes, hanya boleh produknya lewat e-catalog pemerintah untuk rumah sakit pemerintah, dan dijual ke rumah sakit swasta.
FZ, seorang pedagang alat kesehatan yang memiliki toko di sekitar Pasar Pramuka ini, mengaku, baju APD itu sebelumnya tidak pernah dijual bebas. Hanya karena sekarang sedang wabah dan banyak pihak ingin berdonasi menyediakan baju APD untuk tenaga kesehatan, ia pun ikut menjualnya. Dibanding pedagang di Pasar Pramuka, ia menjual baju APD seharga Rp 200.000 per potong.
”Sebelum wabah, mana ada yang jual peralatan APD seperti ini. Ini baru sekarang saja,” ucapnya.
Adanya permintaan begitu tinggi akan baju APD membuat bahan baku spunbond pun melonjak tinggi dan semakin langka. Seperti diungkapkan Budhi, ia bersama teman-temannya di Yogyakarta kemungkinan hanya dapat menyediakan baju APD hingga akhir April karena bahan spunbond semakin langka.
”Kami harap harga spunbond ini bisa dikendalikan dan pasokannya tetap ada, sehingga kami tetap bisa menyediakan baju APD. Dengan demikian tenaga kesehatan kita bisa terlindungi,” tuturnya.
Masyarakat telah menolak takluk terhadap Covid-19 dengan menyediakan baju APD untuk tenaga kesehatan di tengah kelangkaannya saat ini. Walau patut disadari ikhtiar itu mengandung risiko karena baju tersebut juga dapat dikomersilkan sehingga membuat harga bahan bakunya melonjak tinggi dan pasokannya berkurang. Langkah pengendalian secara struktural dari pemerintah kini sangat dibutuhkan.