Dunia sedang dilanda banjir minyak. Pandemi Covid-19 menyebabkan permintaan minyak merosot drastis dan berujung pada kejatuhan harga minyak. Desakan penurunan harga BBM terjadi di tengah lemahnya permintaan.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
Lebih dari 30 kapal tanker berkumpul di dekat pantai California, Amerika Serikat, dengan muatan penuh minyak mentah. Kapal-kapal itu membawa sekitar 20 juta barel minyak mentah selama berhari-hari tanpa tahu hendak ditaruh di mana. Jutaan barel minyak itu belum memiliki calon pembeli.
Cerita itu ada di laman Bloomberg, Rabu (22/4/2020). Minyak Amerika jenis WTI (West Texas Intermediate) kena hantaman keras. Untuk kontrak pembelian Mei 2020, harga minyak mentah WTI minus. Berdasarkan perdagangan minyak, Selasa (21/4/2020), harganya minus 35,55 dollar AS per barel.
Minyak bukanlah air sisa cucian yang bisa dibuang begitu saja ke selokan.
Apa artinya? Pembeli malah dibayar untuk menerima minyak mentah tersebut. Sebab, produsen minyak harus mengeluarkan biaya tambahan untuk penyimpanan, sedangkan kapasitas tangki penyimpanan sudah maksimum.
Begitu penjelasan CEO Indonesian Commodity and Derivatives Exchange (ICDX) Lamon Rutten.
Saat tangki penyimpanan sudah penuh, mau dikemanakan lagi minyak-minyak itu? Minyak bukanlah air sisa cucian yang bisa dibuang begitu saja ke selokan. Sementara produksi terus berjalan, yang juga berbiaya mahal, dan ada ongkos penyimpanan minyak. Maka, minyak diobral.
Situasi ini belum pernah terjadi di Negeri Paman Sam. Dalam sejumlah laporan, kondisi ini berpotensi membuat banyak perusahaan minyak di AS bangkrut.
Bagaimana dengan di Indonesia? Indonesia, dengan statusnya sebagai pengimpor bersih minyak, justru bisa mengambil keuntungan dengan harga minyak mentah yang murah. Seperti disampaikan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati, harga minyak mentah dunia yang murah membuka peluang untuk mengimpor minyak sebanyak mungkin.
Pernyataan itu terlontar ketika Covid-19 belum meluas di Indonesia. Namun, semua berubah saat pandemi Covid-19 dinyatakan sebagai bencana nasional oleh Presiden Joko Widodo, yang diikuti pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Pandemi Covid-19 menurunkan pergerakan orang dan barang secara drastis. Pesawat tidak banyak yang terbang dan mobil pribadi diparkir di rumah. Di sektor transportasi publik, perjalanan kereta jarak jauh dibatalkan, sedangkan taksi dan bus umum hanya terparkir di pul masing-masing. Artinya, permintaan bahan bakar minyak (BBM) merosot drastis.
Opsi mengimpor jauh lebih murah ketimbang menguras minyak dari sumur-sumur minyak yang ada di dalam negeri. Beberapa kilang akan dihentikan operasinya.
Laporan Pertamina menunjukkan, konsumsi BBM nasional merosot hingga 35 persen. Di DKI Jakarta dan Bandung, konsumsinya merosot hingga 60 persen.
Upaya Pertamina ”memancing” pembelian BBM lewat layanan imbal tunai 50 persen bagi pengemudi ojek berbasis aplikasi belum memuaskan. Dalam rapat dengar pendapat Pertamina dengan Komisi VII DPR secara dalam jaringan beberapa waktu lalu, dari 10.000 pengojek daring yang menjadi sasaran, peminatnya kurang dari 2.000 orang.
Nicke menyebut bahwa opsi impor jauh lebih murah ketimbang menguras minyak dari sumur-sumur minyak yang ada di dalam negeri. Beberapa kilang direncanakan dihentikan operasinya.
Stok solar dan avtur di Indonesia juga memecahkan rekor, dari rata-rata cukup untuk 25 hari menjadi 100 hari. Segala situasi tersebut berujung pada desakan agar harga BBM di Indonesia diturunkan. Namun, pemerintah mengindikasikan tidak akan terburu-buru menurunkan harga BBM.
Rencana pemotongan produksi minyak anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) beserta aliansinya mulai Mei mendatang serta nilai tukar rupiah terhadap dollar AS menjadi pertimbangannya. Pemerintah juga sadar, menurunkan harga jual BBM membuat fiskal Pertamina tertekan.
Harga minyak mentah negatif di Amerika juga tak serta-merta menurunkan harga BBM di sana. Pertanyaan lain, sejauh mana signifikansi penurunan harga BBM saat tak banyak orang membutuhkannya di tengah pandemi Covid-19? Simalakama.