Upaya otoritas moneter dalam menambah likuiditas lembaga keuangan telah membuat perbankan memiliki kemampuan untuk menyerap surat berharga yang diterbitkan pemerintah.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah periode pemulihan pasar keuangan, perbankan berpotensi besar membeli surat berharga yang diterbitkan pemerintah. Dalam kondisi perlambatan ekonomi, hasil dari penyerapan obligasi terbitan pemerintah sangat vital untuk menambal defisit anggaran.
Chief Economist PT Bank CIMB Niaga Tbk Adrian Panggabean memproyeksikan perbankan mampu mengalokasikan dana hingga Rp 100 triliun untuk menyerap penerbitan obligasi pemerintah di pasar primer. Penerbitan surat utang sendiri menjadi salah satu sumber pembiayaan dari defisit anggaran 2020 yang ditargetkan melebar dari 1,8 persen PDB menjadi 5,1 persen PDB.
”Episentrum krisis yang tersebar di semua belahan dunia menyebabkan investor obligasi di banyak negara, termasuk Indonesia, akan lebih mengarahkan amunisi mereka untuk membantu pembiayaan fiskal di negara masing-masing,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (23/4/2020).
Kuatnya daya serap perbankan terhadap obligasi pemerintah selaras dengan kebijakan moneter Bank Indonesia (BI). BI telah meningkatkan rasio penyangga likuiditas makroprudensial (PLM) dan penurunan rasio giro wajib minimum (GWM).
Rasio PLM dinaikkan 200 basis poin bagi bank umum konvensional, dan ditingkatkan 50 basis poin untuk bank umum syariah/unit usaha syariah. Aturan ini mulai berlaku 1 Mei 2020. Kenaikan tersebut wajib dipenuhi melalui pembelian surat berharga negara (SBN) atau surat berharga syariah negara (SBSN) yang diterbitkan oleh pemerintah di pasar perdana.
”Akibatnya, kebutuhan penerbitan kotor obligasi pemerintah sebesar lebih kurang Rp 900 triliun diharapkan mampu dijembatani lewat operasi perbankan,” kata Adrian.
Kebutuhan penerbitan kotor obligasi pemerintah sebesar lebih kurang Rp 900 triliun diharapkan mampu dijembatani lewat operasi perbankan.
Partisipasi perbankan dalam penerbitan obligasi di pasar primer yang dimulai Mei nanti merupakan bagian dari kerangka penyerapan obligasi untuk pembiayaan defisit. Di samping itu, besaran imbal hasil yang wajar dan menarik dengan tingkat rata-rata 8,2 persen pada sepanjang 2020.
Di sisi lain, solusi moneter BI dalam rangka penyerapan penerbitan obligasi pemerintah akan sedikit banyak menghambat prospek turun tajamnya jumlah uang beredar. Dia memprediksi laju pertumbuhan uang beredar akan turun dari kisaran 7 persen pada 2019 menjadi kisaran 5 persen-6 persen pada 2020.
BI telah membeli surat utang pemerintah berjenis SBSN senilai Rp 1,7 triliun di pasar perdana dalam rangka pemenuhan kebutuhan dana penanganan dampak pandemi Covid-19. Otoritas moneter membeli sekitar 24,28 persen dari target lelang pemerintah atau 17,03 persen dari nominal hasil lelang yang dimenangkan pemerintah mencapai Rp 9,98 triliun.
Sebelumnya, Gubernur BI Perry Warjiyo menyampaikan, otoritas moneter tidak bisa membeli seluruh surat utang negara (SUN) yang diterbitkan pemerintah, yakni hanya 30 persen dari target penjualan SBSN dan 25 persen dari target penjualan SBN.
Dasar hukum pembelian surat berharga tersebut adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.
”Dari serangkaian pembelian tersebut, tergambar bahwa lelang reguler sebagian besar masih diserap oleh pasar,” ujar Perry.
Menurut Perry, pembelian SBN oleh BI dilakukan setelah ada kesepakatan antara pemerintah dengan BI dengan mempertimbangkan kondisi pasar SBN, pengaruh terhadap inflasi, dan jenis SBN yang hendak dibeli. Kemudian Pasal 20 Perppu Nomor 1/2020, diatur bahwa pembelian SBN oleh BI hanya dapat dilakukan bank sentral melalui penawaran pembelian nonkompetitif.
”Sebagai non-competitive bidder, BI sudah menyerap SBSN senilai Rp 1,7 triliun dari total penerbitan Rp 9,98 triliun,” ujarnya.
Penawaran pembelian non-kompetitif adalah pembelian dengan mencantumkan volume tanpa tingkat imbal hasil yang diinginkan penawar bila lelang dilaksanakan dengan kupon tetap atau pembayaran bunga secara diskonto. Jika lelang dengan kupon mengambang, penawaran pembelian mencantumkan volume tanpa harga yang diinginkan oleh penawar.
Meski dilegalkan membeli SBN di pasar primer, BI menegaskan lelang reguler sebagian besar masih diserap oleh pasar. BI hanya membeli 30 persen dari target penjualan SBSN dan 25 persen dari target penjualan SBN. Pembatasan dilakukan untuk menjaga agar angka inflasi tetap stabil dan terukur.