Pandemi Covid-19 yang berlangsung saat ini menguak kesenjangan pemerataan dan pemanfaatan digital ekonomi di Nusantara.
Oleh
Erika Kurnia
·4 menit baca
Ekonomi digital berkembang pesat di Indonesia dengan mencetak 40 miliar dollar AS atau setara 13,6 persen produk domestik bruto (PDB) pada 2019. Nilai itu, menurut laporan Temasek bersama Google dan Bain Company, tumbuh empat kali lipat dari tahun 2015. Indonesia pun disebut sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi digital terbesar dan tercepat di Asia Tenggara.
Meski demikian, pandemi Covid-19 yang berlangsung saat ini menguak kesenjangan pemerataan dan pemanfaatan digital ekonomi di Nusantara. Digitalisasi sistem ekonomi yang seharusnya menjadi andalan pada masa penerapan pembatasan sosial justru ditanggapi secara gagap oleh pelaku usaha.
Contohnya, Sayuti, pedagang daging sapi di pasar tradisional di Jakarta. Ia ditunjuk sebagai salah satu pedagang yang harus melayani belanja dari rumah sejak akhir Maret 2020. Program yang dipromosikan perusahaan daerah selaku pengelola pasar memastikan masyarakat bisa mendapatkan kebutuhan pokok tanpa harus bertemu secara fisik dengan pedagang.
Sayuti mengatakan, ia kerap menghadapi berbagai keluhan dari masyarakat yang meminta pelayanan pembayaran secara digital. Sementara itu, ia belum pernah menggunakan produk pembayaran digital, seperti dompet digital yang disediakan berbagai perusahaan rintisan.
”Padahal, saya lebih senang pegang uang tunai. Kalaupun transfer, paling banter pakai rekening tabungan. Itu pun saya cuma punya satu rekening. Pusing saya jadinya,” ujarnya saat dihubungi Kompas, Rabu (23/4/2020).
Pedagang pakaian di Jakarta, seperti Mirna, yang mulai beralih menjual barang secara daring karena pembatasan sosial, juga mengaku memiliki keterbatasan. Keterbatasan yang ia hadapi adalah pemahaman penggunaan platform e-dagang. Borosnya penggunaan internet yang tidak murah juga kerap jadi kendala.
”Karena belum terlalu mahir, saya sering dapat komplain dari pelanggan kalau enggak jawab pertanyaan cepat. Kadang sedih juga kalau ada yang kasih respons jelek terus orang lain jadi bisa baca. Kalau berdagang di toko lebih mudah,” ungkapnya.
Kesenjangan wilayah
Menurut survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada Maret 2018, sekitar 171 juta jiwa atau 64,8 persen penduduk sudah terhubung ke internet. Namun, penetrasi internet lebih banyak terjadi di perkotaan (75 persen penduduk) daripada perdesaan (kurang dari 30 persen penduduk).
Survei pada 5.000 responden itu juga menemukan hanya 0,3 persen responden yang menggunakan internet untuk transaksi keuangan. Penggunaan internet untuk aktivitas digital juga terbanyak pada usia generasi milenial (18-35 tahun) daripada pengguna yang lebih tua usianya.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Media Wahyudi Askar, dalam diskusi daring bertema ”Membongkar Kesenjangan Digital di Indonesia” hari ini menunjukkan, kesenjangan ini terlihat dari data aktivitas penggunaan lima platform e-dagang sejak 28 Februari 2020 sampai dengan 19 April 2020.
Meski hampir semua platform e-dagang menunjukkan kenaikan aktivitas, kenaikan jumlah pengguna tidak terlalu signifikan. Platform yang diteliti adalah Shopee, Tokopedia, Bukalapak, Lazada, dan Blibli. Media mengatakan, kenaikan pengguna tidak signifikan karena masyarakat masih lebih mengandalkan toko konvensional.
”Selain itu, asal pengguna platform e-dagang yang terbanyak tinggal di Jakarta,” katanya.
Peneliti Indef, Izzudin Al Farras, pada kesempatan sama mengatakan, kesenjangan internet juga terjadi karena biaya yang mahal memungkinkan internet hanya bisa diakses mereka yang mampu secara ekonomi.
Mengutip data International Telecommunication Union (ITU) pada 2017, harga layanan mobile-broadband prabayar 500 megabit berbasis telepon seluler di Indonesia ada di peringkat 88, yaitu 1,39 persen dari pendapatan per kapita. Nilai itu lebih besar daripada Singapura di posisi kedelapan dengan 0,16 persen dari pendapatan per kapita dan Brunei Darussalam (peringkat ke-14) hanya 0,29 persen dari pendapatan per kapita.
Tak hanya itu, pajak untuk mobile-broadband di Indonesia juga ada di angka 10 persen. Sementara itu, banyak negara menggunakan harga inovatif sehingga bisa menjangkau masyarakat ekonomi rendah. Contohnya, Singapura yang hanya mengenakan pajak sebesar 7 persen atau Brunei Darussalam yang membebaskan pajak untuk mobile-broadband.
”Pajak tinggi dan harga mahal membuat masyarakat menengah ke bawah enggak bisa akses internet. Penurunan pajak layanan ini bisa masuk ke paket stimulus pemerintah berikutnya. Lalu, diikuti dengan percepat penetrasi dan literasi digital ke desa dan masyarakat menengah bawah,” sarannya.