Pandemi Covid-19 yang telah melemahkan perekonomian membuat masyarakat khawatir keuangan rumah tangga terganggu selama bulan Ramadhan dan Idul Fitri.
Oleh
Erika Kurnia
·4 menit baca
Bulan suci Ramadhan sudah di depan mata. Bulan yang mewajibkan umat Islam untuk berpuasa selama sebulan ini selalu mendatangkan berkah bagi roda perekonomian nasional. Akan tetapi, masyarakat kini dirundung kecemasan dalam menyambut bulan Ramadhan dan hari raya Idul Fitri.
Ibu rumah tangga seperti Ajeng Annastasia (30) kini memprediksi perekonomian keluarganya lebih tidak stabil dalam beberapa bulan ke depan. Pandemi Covid-19 yang telah melemahkan perekonomian membuat ia khawatir pemasukan rumah tangga dari penghasilan suami yang menjadi tulang punggung keluarga terancam.
”Bulan puasa ini pasti bakal lebih ngirit pengeluaran, paling cuma untuk belanja sembako dan zakat. Kalau tahun lalu bisa dibilang masih stabil, masih bisa jajan macam-macam, beli baju, dekorasi rumah,” ungkap warga Bekasi, Jawa Barat, itu saat dihubungi Kompas, Selasa (21/4/2020).
Dengan tidak pastinya penghasilan ke depan, ia mengatakan akan lebih menghemat konsumsi dan pengeluaran pembelanjaan selama bulan puasa dan Idul Fitri atau Lebaran. ”Sekarang semuanya serba enggak pasti, khawatir juga THR (tunjangan hari raya) beneran enggak turun,” lanjutnya.
Potensi penghematan juga ada pada kebutuhan hari raya Idul Fitri, seperti pakaian baru dan kue. Kebutuhan seperti itu kemungkinan tidak diperlukan jika kebijakan pembatasan sosial masih berlanjut sampai bulan Mei.
Nur Aida (55), ibu rumah tangga yang biasa berdagang kue, juga khawatir dengan pendapatannya beberapa bulan ke depan. Orangtua tunggal itu sudah sulit mendapatkan penghasilan dari kegiatan wirausahanya. Saat ini, kebutuhan hariannya hanya dipenuhi dari sisa tabungan dan bantuan dari keluarga dan masyarakat sekitar.
”Puasa dan Lebaran tahun ini enggak mikir macam-macam, deh. Kalau masih bisa jualan, ya, jualan. Yang penting, kebutuhan dasar ada untuk kasih makan diri saya sendiri sama cucu yang saya urus di rumah,” tutur warga Jakarta Timur tersebut.
Pesimime Ajeng dan Nur juga tergambar dalam survei Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) oleh Bank Indonesia. Survei itu menunjukkan IKK pada Maret 2020 sebesar 113,8 atau turun dibandingkan dengan Februari 2020 yang sebesar 117,7. Nilai itu jauh lebih rendah daripada Maret 2019 yang sebesar 124,5.
Kondisi ini dimaknai sebagai penurunan keyakinan konsumen pada stabilitas ekonomi saat ini dan ekspektasi terhadap kondisi perekonomian pada enam bulan mendatang.
Bangun optimisme
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, berpendapat, pandemi Covid-19 menjadi faktor utama yang membuat konsumen merasa perekonomian mereka terdampak cukup parah ketimbang beberapa tahun sebelumnya.
”Saya kira, pada level masyarakat perlu dibangkitkan sikap optimisme bahwa mereka bisa melawati kondisi ini,” ujarnya kepada Kompas, Selasa.
Membangun optimisme bisa dilakukan dengan memperkuat solidaritas sosial pada level masyarakat terkecil. Masyarakat yang tidak punya penghasilan sama sekali atau bahkan tidak dapat bantuan peru diidentifikasi dan dibantu melalui aksi solidaritas sosial.
Di sisi lain, pemerintah juga perlu menunjukkan aksi nyata dengan memberikan bantuan yang cukup dan tepat sasaran. Selain bagi penduduk tetap, kelompok masyarakat yang ”nomaden” ataupun bukan warga terdaftar juga perlu jadi perhatian, apalagi setelah adanya kebijakan larangan mudik.
Untuk itu, layanan pengaduan bantuan pada tingkatan terkecil perlu dibangun sambil memperbaiki mekanisme pemberian bantuan, termasuk data dan informasi yang valid.
Tauhid juga berpendapat, pemerintah perlu berhati-hati dalam memberikan pernyataan agar masyarakat tidak kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah dan bertambah stres.
”Apalagi ini sudah memasuki bulan kedua di mana masalah-masalah sosial, seperti kriminalitas, singgungan sosial, dan sebagainya, mulai muncul di seluruh wilayah. Pemerintah perlu memberi keyakinan bahwa pandemi bisa diatasi dengan memberikan informasi yang benar,” tuturnya.
Berdasarkan riset terbaru platform manajemen pengalaman pelanggan SurveySensum, masyarakat Indonesia mengkhawatirkan dampak Covid-19 terhadap kehidupan sehari-hari mereka. CEO SurveySensum Rajiv Lamba menyebutkan, pendapat itu diungkapkan sekitar 90 persen dari 500 konsumen yang disurvei pada 20-27 Maret 2020.
”Bagi masyarakat Indonesia yang senang bersosialisasi, dampak sosial tidak kalah mengkhawatirkan dibanding dampak kesehatan Covid-19 itu sendiri. Mereka khawatir dikucilkan, tidak bisa bertemu dan bercengkerama dengan orang lain yang takut tertular Covid-19 selama berbulan-bulan,” ujarnya dalam keterangan tertulis.
Dari riset berjudul ”COVID-19 Consumer Behavior Track” itu, ditemukan bahwa konsumen Indonesia mencemaskan beberapa hal. Kecemasan itu antara lain terganggunya kehidupan sehari-hari (90 persen), kekhawatiran terinfeksi Covid-19 dan mendapat stigma (70 persen), serta kekhawatiran kehabisan stok bahan pokok (59 persen).