Investasi Tumbuh, Ekspor Tumbang
Investasi pada triwulan I-2020 masih tumbuh dan menyerap tenaga kerja. Di sisi lain, daerah-daerah penghasil komoditas ekspor mulai tumbang dan berpotensi semakin menambah jumlah pengangguran.
JAKARTA, KOMPAS — Pada triwulan I-2020, investasi Indonesia tumbuh sebesar 8 persen dibandingkan dengan periode sama 2019. Badan Koordinasi Penanaman Modal menyebutkan, realisasi investasi pada triwulan I-2020 sebesar Rp 210,7 triliun.
Kenaikan terbesar berasal dari penanaman modal dalam negeri (PMDN) yang meningkat 29,3 persen menjadi Rp 112,7 triliun. Adapun penanaman modal asing (PMA) turun 9,2 persen menjadi Rp 98 triliun.
Realisasi PMDN dan PMA pada periode tersebut didominasi oleh sektor transportasi, gudang, dan telekomunikasi (23,4 persen); industri logam dasar, barang logam, bukan mesin dan peralatannya (11,6 persen); listrik, gas dan air ( 8,6 persen); perumahan, kawasan industri dan perkantoran (8,4 persen), serta tanaman pangan, perkebunan, dan peternakan (8,2 persen).
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia, Senin (20/4/2020), dalam siaran pers, mengatakan, nilai realisasi investasi triwulan pertama sudah mencapai 23,8 persen dari target investasi tahun ini yang sebesar Rp 886,1 triliun. Total penyerapan tenaga kerja Indonesia juga meningkat menjadi 303.085 pekerja, sementara pada periode sama tahun lalu sebanyak 235.401 pekerja
”Triwulan pertama tahun ini cukup berat karena ada wabah Covid-19, tetapi realiasi investasi masih tumbuh dan tidak meleset dari target. Selain itu, lebih banyak tenaga kerja terserap tahun ini,” ujarnya.
Triwulan pertama tahun ini cukup berat karena ada wabah Covid-19, tetapi realiasi investasi masih tumbuh dan tidak meleset dari target. Selain itu, lebih banyak tenaga kerja terserap tahun ini.
Meskipun begitu, Bahlil mengakui, realisasi investasi pada triwulan II-2020 akan merosot dibandingkan triwulan I. Penurunan investasi itu terjadi karena pada April ini Covid-19 masih merebak, diperkirakan hingga Mei nanti.
”Kami berharap, juga meminta komitmen, perusahaan untuk tidak melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap karyawannya di tengah kondisi pandemi Covid-19. Ini penting untuk menjaga perekonomian bangsa saat ini,” ujar Bahlil.
Pukulan ganda
Daerah-daerah penghasil komoditas ekspor mendapat pukulan ganda di tengah kondisi perekonomian global yang buruk saat ini. Belum sempat bangkit dari ketidakpastian tahun lalu, pandemi Covid-19 kini melambatkan kinerja industri dan ekspor. Proyeksi lonjakan pengangguran dan kemiskinan perlu diatasi sejak dini lewat kebijakan stimulus dan bantuan sosial yang lebih relevan dan antisipatif.
Baca juga: Waspadai Lonjakan Kemiskinan dan Pengangguran
Lesunya ekspor komoditas perkebunan yang belum pulih sejak tahun lalu semakin menekan petani. ”Sekitar 20-30 persen petani karet telah beralih. Biasanya mereka ke kota karena menjadi buruh bangunan lebih menjanjikan,” kata Ketua Umum Asosiasi Petani Karet Indonesia Lukman Zakaria, Senin.
Lukman menyebutkan, harga karet di tingkat petani saat ini senilai Rp 4.000 per kilogram (kg)-Rp 5.000 per kg. Idealnya, petani mendapatkan harga sekitar Rp 12.000 per kg.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai tukar petani (NTP) sektor perkebunan rakyat pada Maret 2020 turun 1,91 persen menjadi 100,39. Artinya, nilai yang diterima petani lebih rendah dibandingkan dengan yang mesti dibayarkan. Jika dibandingkan dengan sektor lain, penurunan NTP sektor perkebunan rakyat paling dalam.
Ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, Dendi Ramdani, mengatakan, lesunya kinerja industri dan ekspor itu otomatis akan memengaruhi kondisi ekonomi dan sosial di tiap daerah penghasil ekspor. Angka pengangguran pun diprediksi akan lebih tinggi terjadi di wilayah-wilayah tersebut.
Sebelum ada pandemi, mengacu pada data BPS pada November 2019, laju pertumbuhan ekonomi di daerah penghasil ekspor sudah melambat, seperti di Sumatera, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Pertumbuhan ekonomi yang melambat itu membuat lapangan kerja tidak bertambah dan pengangguran meningkat.
”Kini, akibat pandemi, kondisi ekonomi di daerah penghasil ekspor pun berpotensi semakin terpuruk. Apalagi, industri-industri manufaktur dan penghasil komoditas ekspor itu umumnya padat karya yang menyerap banyak pekerja,” tuturnya.
Baca juga: Daerah-daerah Penopang Ekspor Makin Tertekan, Pengangguran Bertambah
Dendi menambahkan, jika Juni nanti tren pandemi mulai menurun, angka infeksi berkurang, bisa ada optimisme. Namun, kalau sampai Juni belum menurun, perlu diantisipasi karena sektor-sektor industri ekspor yang masih bertahan itu pun bisa ikut anjlok.
Jika Juni nanti tren pandemi mulai menurun, angka infeksi berkurang, bisa ada optimisme. Namun, kalau sampai Juni belum menurun, perlu diantisipasi karena sektor-sektor industri ekspor yang masih bertahan itu pun bisa ikut anjlok.
Menurut dia, saat ini belum terlambat untuk melakukan pendataan dari bawah (bottom-up). Untuk memastikan bansos tepat sasaran bagi mereka yang membutuhkan, data harus diperkuat. Caranya, dengan melibatkan institusi pemerintah paling kecil, seperti RT, RW, dan kelurahan, untuk mendata warganya yang terdampak dan berpotensi jatuh miskin.
”Anggaran yang terbatas ini harus dioptimalkan, maka kuncinya ada pada penetapan target penerima bansos, pendataannya. Pemerintah harus gerak lebih cepat dan melibatkan semua institusi yang ada untuk memastikan semua benar-benar terjaring,” kata Dendi.
Di sisi lain, berbagai stimulus ekonomi yang diberikan untuk pelaku usaha juga perlu ditinjau ulang relevansinya. Kondisi ekonomi global yang lesu, misalnya, mempersulit perdagangan luar negeri sehingga berbagai relaksasi dan kemudahan tata niaga belum tentu berdampak banyak pada arus kas perusahaan.
Oleh karena itu, fokus pemerintah perlu dialihkan untuk membantu pelaku usaha memperlancar arus kas dan memastikan perusahaan tetap bisa menggaji karyawan dan menghindari pemutusan hubungan kerja di masa krisis. Beberapa kebijakan seperti restrukturisasi kredit dinilai sudah tepat untuk membantu kelancaran arus kas perusahaan.
”Persoalannya adalah likuiditas jangka pendek. Kalau ini berlangsung lama, risikonya insolvensi dan bangkrut, pengangguran semakin parah. Stimulus pemerintah diharapkan bisa menolong memberi napas bagi perusahaan, baik besar maupun kecil, selama pandemi. Dengan demikian, begitu situasi mulai pulih nanti, mereka bisa cepat rebound,” papar Dendi.
Bertahan
Kendati ada kecenderungan melambat dan turun, sejumlah kalangan industri berupaya mempertahankan ekspor. Dua di antaranya adalah industri minyak kelapa sawit dan batubara.
BPS mencatat, ekspor kelompok minyak nabati dan hewani yang didominasi kelapa sawit pada Januari-Maret 2020 meningkat 10,84 dibandingkan tahun sebelumnya. Berdasarkan data Bappebti, harga minyak kelapa sawit mentah (CPO) dunia saat ini 545 dollar AS per ton.
Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Gulat Medali Emas Manurung menyatakan, harga kelapa sawit yang diterima petani cenderung stabil. Saat ini, harga tandan buah segar kelapa sawit mencapai Rp 1.650 per kg-Rp 1.800 per kg.
Selain ekspor, Gulat berpendapat, stabilnya harga kelapa sawit di tingkat petani disebabkan oleh kenaikan permintaan konsumsi dalam negeri. ”Penggunaan minyak goreng dan sabun yang berbahan baku kelapa sawit meningkat sejak adanya pandemi Covid-19,” katanya.
Produksi batubara masih berjalan normal di tengah pandemi Covid-19 di Indonesia. Namun, ada kekhawatiran permintaan batubara melemah apabila pandemi berlangsung lebih lama. Sejauh ini belum ada pemutusan hubungan kerja di sektor tambang batubara.
”Operasi Adaro masih berjalan normal. Dalam situasi seperti sekarang ini, pasokan batubara tetap dibutuhkan untuk memperkuat penyediaan listrik,” ujar Presiden Direktur PT Adaro Energy Tbk Garibaldi Thohir.
Adaro adalah salah satu produsen batubara Indonesia dan memegang hak konsensi perjanjian karya pengusahaan batubara di Kalimantan. Produksi batubara Adaro tahun ini ditargetkan 54 juta ton hingga 58 juta ton atau sekitar 10 persen dari total produksi batubara di Indonesia.
”Operasional tambang tetap mengedepankan keselamatan kerja dan kesehatan karyawan. Kami sudah menyiapkan manajemen krisis dan pencegahan untuk memastikan tidak ada gangguan. Harapannya tidak ada pengurangan karyawan di dalam perusahaan,” tuturnya.
Baca juga: Operasi Tambang Batubara Berjalan Normal di Tengah Pandemi
Berdasarkan data Kementerian ESDM, hingga 20 April 2020, penjualan batubara mencapai 136,86 juta ton. Penjualan tersebut termasuk untuk pasar ekspor dan pasar domestik. Namun, permintaan batubara tengah melemah lantaran terdampak pandemi Covid-19. (HENDRIYO WIDI/ARIS PRASETYO)