Dalam Sekejap Semua Sisi Kehidupan Bermetamorfosis
Ketika virus korona baru menyebar, untuk berkumpul dua tiga orang saja kini sulit terwujud. Transaksi di pasar dan pedagang sayur keliling berlangsung singkat, saat bertemu pun, ambil barang dan bayar.
Sejak virus korona baru menyebar ke Bumi Pertiwi ini, jangankan mau makan siang bareng, untuk berkumpul dua tiga orang saja kini sulit terwujud. Transaksi di pasar, bahkan dengan pedagang sayur keliling saja, berlangsung begitu singkat. Kalaupun masih bertemu, proses tinggal bayar sekalian ambil barang belanjaan yang sudah dipesan lebih dulu.
”Maaf Pak, maskernya dipakai,” begitu seorang pembeli jajan pasar atau kue tradisional mengingatkan penjual yang ketepatan suami istri. Keduanya setiap hari berjualan beragam jenis dan rasa jajan pasar di pintu masuk ke pasar insidental di Jalan Lingkar Luar Timur (JLLT), Kecamatan Gunung Anyar.
Di pasar itu pun sudah disiapkan wastafel berikut sabun dan tisu oleh Pemkot Surabaya. Jadi, tukang parkir, pria yang berumur 50 tahun itu, pun selalu meminta orang yang keluar dari pasar untuk cuci tangan.
”Cuci tangan dulu, biar virus korona tidak dibawa ke rumah,” katanya sambil melepas sebentar maskernya.
Jangan salaman, jaga jarak paling tidak 2 meter, sering-seringlah mencuci tangan dengan sabun. Paling penting lagi jaga kesehatan. Kalau gak penting sekali tak usah keluar rumah. (Tri Rismaharini)
Baik pedagang maupun pembeli rata-rata sudah menyiapkan kantong plastik. Jadi, kembalian tak lagi dipegang, tetapi langsung dimasukkan ke kantong tersebut.
Sejak virus SARS-CoV-2 sebagai pemicu penyakit Covid-19 menyebar ke Bumi Pertiwi ini, dan di Kota Surabaya sudah ratusan orang dalam pemantauan (ODP), pasien dalam pengawasan (ODP), orang tanpa gejala (OTG) bahkan sudah ada yang meninggal, semua lini kehidupan terus berubah untuk menghindari virus korona.
Antisipasi sejak dini
Pemkot Surabaya, sejak awal virus korona menghampiri arek Suroboyo, terus melakukan penghadangan penyebaran dengan mengencarkan gerakan di rumah saja, jaga jarak, jauhi kerumunan dan keramaian, sekaligus mengajak warga hidup sehat. Penyemprotan disinfektan di seluruh wilayah kota pun sampai ke gang pun terus dilakukan.
Tak kurang 1.000 wastafel lengkap dengan tandon air, sabun, dan tisu dipasang di titik-titik keramaian, seperti pasar, taman, dan gedung perkantoran. Pemilik pusat perbelanjaan, kantor, swalayan, toko, dan segala tempat usaha langsung sigap memenuhi protokol penanganan Covid-19.
Dalam situasi seperti ini, menurut Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, paling penting bagaimana warga Surabaya yang berjumlah 3,3 juta jiwa ini selalu mengikuti semua arahan dari pemerintah.
Baca juga: Covid-19 Mengubah Etiket Sosial secara Dramatis
”Jangan salaman, jaga jarak paling tidak 2 meter, sering-seringlah mencuci tangan dengan sabun. Paling penting lagi jaga kesehatan. Kalau gak penting sekali tak usah keluar rumah,” kata Risma, yang sejak awal Maret berkantor di Taman Surya, sekaligus lokasi dapur umum dan posko Covid-19 Kota Surabaya.
Seruan dan ajakan rekaman suara Risma untuk di rumah saja, jaga jarak, dan sering mencuci tangan terus didengungkan melalui pelantang suara dari mobil operasional kelurahan atau Satpol PP Kota Surabaya, yang rutin mengintari permukiman.
Risma pun masih keluar masuk kampung atau gang untuk mengajak warga agar benar-benar menjalankan apa yang dianjurkan agar tidak terjangkiti virus korona. Pemkot Surabaya pun semakin memperketat orang dan kendaraan yang masuk ke kota ini dengan membuka posko di 19 lokasi di perbatasan Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik.
Di posko itu tak hanya kendaraan yang disterilkan dengan penyemprotan disinfektan, tetapi juga pengemudi dan penumpang mobil pun dicek suhu, lalu wajib melewati bilik sterililisasi. Bahkan, demi peningkatan pencegahan pandemi Covid-19, wali kota mengirim surat edaran kepada pihak pengelola transportasi Bandara Internasional Juanda.
Surat tertanggal 7 April 2020 tersebut berisi permohonan bantuan kepada pengelola bandara agar mengarahkan setiap penumpang yang turun dari pesawat untuk membersihkan diri dengan mandi dan ganti pakaian sebelum meninggalkan area bandara.
Surat edaran Wali Kota Risma berupa imbauan itu tak hanya berlaku bagi penumpang pesawat yang baru turun di bandara. Namun, juga berlaku bagi penumpang kapal, kereta api, maupun bus. Penumpang yang turun di pintu masuk ke Kota Surabaya ini wajib mengikuti anjuran menjaga kebersihan badan. Maka, pemkot memasang bilik disinfektan di mana-mana, alat ukur suhu, serta wastafel semata-mata untuk melindungi satu sama lain dari penyebaran Covid-19.
Langkah ini, menurut Koordinator Protokol Kesehatan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Surabaya Febria Rachmanita, bertujuan untuk meminimalkan penularan virus korona. Di samping itu, pihaknya juga berharap kepada seluruh masyarakat untuk sementara waktu menunda perjalanannya ke Kota Surabaya.
Baca juga: Surabaya Meradang, Hadang Korona
”Saat pendemi seperti ini sebaiknya tidak perlu datang ke Surabaya, dan paling penting tinggal di rumah saja, kecuali ada urusan sangat penting di luar rumah,” ujarnya sembari menambahkan, sampai hari ini banyak warga dari luar daerah datang ke Kota Surabaya lewat pintu masuk bandara, terminal, stasiun, dan pelabuhan.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Surabaya ini menilai, tingginya kasus Covid-19 di Surabaya disebabkan banyak penularan yang terjadi dari luar Surabaya atau luar daerah. Jika melihat kluster, banyak penularan dari luar kota, dari luar negeri, dan juga di Surabaya, seperti di pasar, pusat keramaian lain termasuk tempat ibadah. Karena itu, wajib mandi dan cuci tangan pakai sabun itu agar tubuh bersih dari virus korona.
Di rumah saja
Penyebaran virus korona mengakibatkan semua sisi kehidupan tak lagi berjalan normal. Bukan hanya di rumah, di kantor, sekolah, kampus, termasuk menjalani ritual keagamaan. Semua aktivitas dilakukan secara online atau dalam jaringan termasuk ibadah atau misa.
Umat Gereja Katolik khususnya kini tinggal memilih misa dari gereja mana karena jadwal misa sudah diinformasikan secara dalam jaringan. Lagu dan doa setiap ibadah pun sudah disebar oleh grup Whatsapp di lingkungan. Bahkan setiap pagi, doa dan bacaan harian sudah mengalir di grup WA umat.
Semua kini dilakukan di rumah. Bukan hanya ibadah atau misa, tetapi juga segala kebutuhan bisa dipenuhi secara daring. Swalayan, tukang sayur keliling, depot, dan restoran pun kini kreatif dan berlomba menjaring konsumen lewat online.
Tukang sayur keliling saja kini berubah dalam menjajakan dagangannya. ”Tiap sore saya tanya pelanggan besok mau dibawakan apa saja. Ada juga yang sudah mengirim pesanan buat besok hari,” kata Sulaiman (45), pedagang sayur keliling di Gunung Anyar.
Pedagang ayam dan daging sapi, serta tukang roti sekarang sudah melayani pelanggan secara daring. ”Sekarang saya antar pesanan dan ambil uang saja ke rumah pelanggan, tak sempat lagi ngobrol, karena semua jaga jarak,” kata Udin (45).
Warga juga cenderung mengurangi kegiatan di luar rumah. Kalau tidak sangat penting, semua pada memilih beraktivitas dalam rumah. Sepinya gang, jalan, maupun perkampungan, salah satu alasannya rukun tetangga (RT) dan rukun wilayah (RW), memberlakukan akses satu pintu sehingga lalu lintas orang dan kendaraan bisa ditekan. Petugas pun kian tegas membubarkan simpul keramaian terutama tempat nongkrong seperti warung kopi atau kafe.
Yang biasa olahraga entah jalan kaki, lari, atau bersepeda memang masih ada, tapi jumlahnya berkurang drastis, terutama yang lansia. Jika sebelum virus korona menyebar, di sepanjang gang atau jalan banyak yang olahraga termasuk lanjut usia, kini kelompok orangtua benar-benar memilih di rumah saja. Alasannya kelompok mereka paling rentan diserang virus korona, karena umumnya memiliki penyakit bawaan dan satmina pun cenderung lemah.
”Langganan saya terutama yang lansia semua tak mau lagi keluar dari rumah. Mereka cuma pesan kebutuhannya lalu diantar. Mereaka mengaku kelompok paling rentan tertular virus korona karena sudah berumur,” kata Ali (47), pedagang sayur.
Sejak virus korona menyebar hingga Surabaya, semua sisi kehidupan berubah total. Tak terkecuali tata ibadah di Gereja Katolik. Selama ini misa berlangsung rata-rata paling singkat 1,5 jam, bahkan pada misa hari raya seperti Tri Hari Suci yakni Kamis Putih, Jumat Agung, dan Sabtu Suci (malam Paskah) hingga Minggu Paskah, bisa berlangsung 2 hingga 2,5 jam, harus dipadatkan menjadi paling lama 1 jam.
Baca juga: Gencarkan Sosialisasi Jaga Jarak
Berbagai prosesi pada misa dipotong habis, sesuai protokol Covid-19, petugas maksimal lima orang di luar imam yang memimpin jalannya misa. Gereja pun kini menjadi saksi bisu betapa dahsyatnya dan cepatnya penyebaran virus korona sehingga misa pun diikuti lewat live streaming.
Korona baru benar-benar membuat kehidupan merana karena di tengah keterbatasan ruang gerak, tak hanya saling melindungi dengan mematuhi protokol penanganan Covid-19. Di tengah keterpurukan pun selalu ada kekuatan lain yang mendorong munculnya kreativitas dan inovasi sehingga bisa saling menguatkan.
Tak hanya kreativitas untuk bisa bertahan dalam situasi serba terbatas ini, tapi di tengah tuntutan saling melindungi, juga tak kalah penting saling menolong sesama sesuai kemampuan dan kerelaannya. Sebab, dengan segala aktivitas berada di rumah saja, banyak yang kehilangan mata pencarian, mengalami pemutusan hubungan kerja karena banyak usaha tutup.
Sekarang, meski hidup harus berjarak dan serba terbatas, bukan lantas cuma bisa meratap dan melulu menunggu pemerintah. Justru saatnya gerakan saling melindungi sekaligus menolong sesama dalam segala keterbatasan perlu terus digencarkan tanpa harus banyak bicara.