Soal Harga, Pemerintah Masih Cermati Dampak Pemotongan Produksi
Kemerosotan harga minyak mentah dunia dikaitkan dengan penurunan harga BBM dalam negeri. Di saat yang sama, kurs rupiah melemah terhadap dollar AS. Pemerintah belum bisa mengambil keputusan.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mencermati perkembangan harga minyak mentah dunia terkait rencana pemotongan produksi minyak oleh anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak atau OPEC beserta aliansinya. Kondisi ini menjadi dasar dalam menetapkan harga jual bahan bakar minyak di dalam negeri.
Di tengah pandemi Covid-19, konsumsi bahan bakar merosot tajam sehingga PT Pertamina (Persero) menutup operasi sejumlah kilang.
Hingga Senin (20/4/2020) sore, mengutip laman Bloomberg, harga minyak mentah jenis Brent di level 26 dollar AS per barel, sedangkan jenis WTI 13 dollar AS per barel. Dibandingkan dengan harga di awal tahun yang mencapai 65 dollar AS per barel, harga minyak mentah saat ini merosot tajam lebih dari 50 persen. Pandemi Covid-19 yang melanda dunia menyebabkan permintaan minyak menurun drastis, ditambah perang harga yang dilancarkan Arab Saudi sejak akhir Maret lalu.
Terkait desakan penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri, pemerintah mempertimbangkan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dan konsumsi BBM yang merosot drastis selama pandemi Covid-19 di Indonesia berlangsung. Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), posisi rupiah saat ini sekitar Rp 15.543 per dollar AS. Adapun konsumsi BBM nasional turun 35 persen sejak awal Maret lalu.
”Terkait harga BBM dalam negeri, pemerintah masih mencermati dan mengevaluasi perkembangan harga minyak mentah dunia dan rencana pemotongan produksi oleh anggota OPEC mulai bulan depan,” kata Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Agung Pribadi.
Stok avtur dan solar berlimpah dan ada di posisi tertinggi, yaitu cukup untuk persediaan hingga 100 hari.
Sementara itu, Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Fajriyah Usman menambahkan, konsumi BBM yang merosot tajam di Indonesia belum pernah terjadi sebelumnya. Konsumsi gasoline (premium dan pertamax series) turun 17 persen, gasoil (biosolar dan pertadex) turun 8 persen, sedangkan konsumsi avtur merosot hingga 45 persen. Di kota besar seperti Jakarta dan Bandung, konsumsi BBM turun hingga hampir 60 persen.
”Dalam kondisi ini, kami mengurangi operasi kilang dan melakukan jadwal pemeliharaan kilang, sekaligus menjaga keseimbangan produksi. Selain itu, kapasitas penyimpanan pada kilang sudah menyentuh level optimum,” ujar Fajriyah.
Pemeliharaan kilang akan dilakukan pada kilang Balikpapan di Kalimantan Timur dan kilang Sungai Pakning di Riau. Adapun pengurangan produksi kilang dilakukan di kilang Plaju, Sumatera Selatan. Tiga kilang lainnya, yaitu kilang Balongan di Jawa Barat, kilang Cilacap di Jawa Tengah, dan kilang Kasim di Sorong, Papu Barat, tetap beroperasi normal.
”Meski operasi produksi kilang dikurangi, stok BBM nasional sangat aman. Stok avtur dan solar berlimpah dan ada di posisi tertinggi, yaitu cukup untuk persediaan hingga 100 hari,” ucap Fajriyah.
Kendati kemudian pemerintah menurunkan harga BBM, dampaknya belum tentu optimal mengingat situasi makro ekonomi nasional belum sepenuhnya pulih dari pandemi Covid-19.
Terkait harga BBM di dalam negeri, pengajar Fakultak Teknologi Kebumian dan Energi pada Universitas Trisakti Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, berpendapat, variabel utama penentu harga jual BBM adalah harga minyak mentah dunia dan kurs rupiah terhadap dollar AS. Kondisi yang terjadi saat ini adalah harga minyak mentah turun tajam dan posisi rupiah terhadap dollar AS melemah.
”Harga minyak mentah yang turun dapat menurunkan harga jual BBM. Namun, pelemahan kurs rupiah terhadap dollar AS akan menaikkan harga jual BBM,” kata Pri Agung.
Pri Agung menggarisbawahi, kendati nantinya pemerintah menurunkan harga BBM, dampaknya belum tentu optimal. Sebab, situasi makro ekonomi nasional belum sepenuhnya pulih dari pandemi Covid-19. Oleh karena itu, pemerintah perlu menghitung cermat apakah penurunan harga BBM dapat menjadi stimulus bagi masyarakat, sekaligus mempertimbangkan kesehatan keuangan Pertamina sebagai perusahaan penyedia energi di Indonesia.
Sejak kemerosotan harga minyak di awal tahun, Pertamina merespons dengan menurunkan harga jual BBM nonsubsidi jenis pertamax. Tercatat dua kali Pertamina menurunkan harga jual BBM jenis pertamax (gasoline) dan pertadex (gasoil). Per 5 Januari, harga pertamax turun dari Rp 9.850 per liter menjadi Rp 9.200 per liter. Harga kembali turun menjadi Rp 9.000 per liter sejak 1 Februari lalu.