Di tengah kondisi pandemi Covid-19, investor tetap melirik investasi yang paling tepat. Salah satunya, investasi reksa dana.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
Di tengah pandemi Covid-19, reksa dana terproteksi menjadi jenis reksa dana dengan penyusutan jumlah dana kelolaan atau nilai aktiva bersih terendah dibandingkan dengan jenis-jenis reksa dana lain. Sebab, jenis reksa dana ini memproteksi 100 persen pokok investasi dari investor saat jatuh tempo.
Reksa dana terproteksi sedikit berbeda dengan jenis reksa dana konvensional lain, yakni reksa dana pasar uang, reksa dana pendapatan tetap, reksa dana saham, dan reksa dana campuran.
Reksa dana terproteksi atau dikenal dengan nama capital protected fund (CPF) merupakan jenis reksa dana yang memberikan proteksi atas nilai investasi awal, apabila pemegang unit penyertaan memegang reksa dana tersebut hingga tanggal jatuh tempo melalui mekanisme pengelolaan portofolio investasi. Secara periodik, reksa dana terproteksi juga membagi hasil investasi dalam bentuk dividen.
Sementara angka nilai aktiva bersih atau NAB menunjukkan seberapa besar dana kelolaan masyarakat yang terkumpul pada suatu reksa dana, termasuk hasil pengembangannya.
Berdasarkan data PT Infovesta Utama per Maret 2020, NAB dari industri reksa dana secara total turun 9,76 persen dari Rp 545,95 triliun pada akhir Februari 2020 menjadi Rp 492,67 triliun.
Jika diurutkan dalam periode yang sama, reksa dana pasar uang menyusut paling besar, yakni 20,4 persen, disusul reksa dana saham (18,21 persen), reksa dana campuran (11,84 persen), reksa dana pendapatan tetap (6,5 persen), dan reksa dana terproteksi (0,51 persen).
Dalam laporan mingguannya, Infovesta Utama menyatakan, penurunan NAB secara serempak terjadi pada seluruh jenis reksa dana. Hal ini terjadi setelah kinerja instrumen ini tertekan pandemi Covid-19. Pandemi ini secara langsung telah memengaruhi profil risiko investor.
Head of Capital Market Research PT Infovesta Utama Wawan Hendrayana mengatakan, dana kelolaan reksa dana terproteksi tertolong struktur investasi dan waktu investasi yang telah ditentukan. Akibatnya, kebanyakan nasabah tidak akan menjual atau mencairkan reksa dana yang mereka miliki hingga jatuh tempo waktu pencairan.
”Pada tiga bulan pertama 2020, NAB dana terproteksi memang cenderung turun seperti yang lain, tetapi itu karena memang jatuh tempo. Pencairan juga ada, tetapi tidak sebesar yang sudah jatuh tempo,” ujarnya.
Terukur
Menurut dia, reksa dana terproteksi menjadi jenis reksa dana paling menarik di mata investor karena menjanjikan imbal hasil yang lebih terukur di tengah ketidakpastian ekonomi saat ini ketimbang jenis reksa dana lainnya. Terlebih lagi, suku bunga acuan Bank Indonesia yang masih berpotensi turun berpotensi meningkatkan imbal hasil dari jenis reksa dana ini.
”Apabila suku bunga acauan Bank Indonesia bisa ke level 4 persen, imbal hasil dari produk reksa dana terproteksi bisa berada di kisaran 7-9 persen,” ujarnya.
Wawan menambahkan, kendati reksa dana terproteksi menarik, investor tetap perlu menimbang risiko perlambatan ekonomi nasional yang terdampak pandemi Covid-19. Pasalnya, risiko gagal bayar dari obligasi korporasi yang menjadi salah satu unsur dari instrumen reksa dana terproteksi cukup terbuka.
Investor, setidaknya, perlu mengetahui underlying asset dari produk reksa dana yang mereka beli. Meskipun, menurut Wawan, manajer investasi telah mempertimbangkan atau menganalisis portofolio dari produk mereka.
Kendati reksa dana terproteksi menarik, investor tetap perlu menimbang risiko perlambatan ekonomi nasional yang terdampak pandemi Covid-19.
Mengulang prinsip dasar investasi, setiap investasi mengandung risiko yang mesti dipertimbangkan setiap investor.