Penerimaan adalah fase yang harus dilalui mereka yang terkena PHK di kondisi saat ini. Setelah itu, langkah-langkah konstruktif untuk memperbaiki diri harus dilakukan, seperti memperbaiki CV dan mengasah keahlian.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
Keseharian Fadilah (23) kini banyak diisi dengan membaca buku atau menonton konten pembelajaran daring di media sosial di rumah kerabat jauhnya di Jakarta Pusat. Aktivitas ini berbeda dengan aktivitasnya sebulan lalu yang sibuk dengan mengamati layar kamera pemantau di sebuah pabrik di Tangerang, Banten.
Kurang lebih sebulan lalu, perempuan itu diberhentikan dari pekerjaannya sebagai sekuriti kontrak. Fadilah, yang berasal dari Medan, Sumatera Utara, menjadi sekuriti selama kurang lebih enam bulan. Walau hanya kontrak, ia mengaku bersyukur karena cukup menikmati suasana kerja dan penghasilannya.
Perempuan lulusan SMA itu memang tidak mengharapkan lebih dari pekerjaan tersebut. Namun, ia tidak menyangka akan ”dirumahkan” secara massal karena pandemi korona. Menurut informasi yang ia dapatkan dari pihak sumber daya manusia, perusahaannya harus melakukan itu karena adanya hambatan ekspor yang membuat perusahaan harus melakukan efisiensi.
”Setelah diminta untuk mengundurkan diri, saya iya-kan saja. Tapi, setelah itu, pikiran saya jadi kacau. Saya sempat mengira di-PHK karena saya perempuan karena beberapa rekan kerja laki-laki dipertahankan. Saya juga khawatir bagaimana hidup jauh dari keluarga dengan tidak adanya penghasilan. Mau pulang pun takut bawa penyakit,” tuturnya, Senin (20/4/2020).
Seminggu setelah tidak lagi bekerja, ia terus mengurung diri di rumah kerabat yang ia tumpangi. Semangat untuk hidup terasa dirampas sehingga ia galau dan tidak melakukan banyak kegiatan berarti. Hingga suatu hari ia menyadari bahwa situasi ini tidak hanya dialami sendiri.
”Dari hari ke hari saya menyadari bahwa pandemi ini memperburuk banyak hal, termasuk kondisi pekerjaan. Setelah mendengar banyak juga pekerja yang harus dirumahkan karena pandemi, saya kira saya bisa menerima kondisi ini,” ujar Fadilah yang kini mulai mengisi waktunya dengan kegiatan bermanfaat.
Fadilah merupakan satu dari 1,9 juta pekerja yang menjadi penganggur karena melesunya ekonomi di tengah pandemi. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan per 16 April 2020, sebanyak 443.760 di antaranya adalah pekerja di sektor informal. Adapun 1,5 juta pekerja yang dirumakan atau di-PHK berasal dari sektor formal.
Psikolog dari Yayasan Rumah Perubahan, Nur Anugerah, mengatakan, belakangan ini ia juga banyak berbicara dengan pekerja yang dirumahkan atau di-PHK. Beberapa dari mereka merupakan pekerja kerah putih, yang memiliki profesi mumpuni, seperti manajer di industri minyak dan gas serta anggota staf backoffice di perbankan.
Penerimaan
Kepada pekerja seperti mereka, Nur menyarankan agar mereka mau menerima keadaan terlebih dahulu. Untuk melalui tahap tersebut, seseorang membutuhkan waktu.
”Ini yang sedang kita hadapi, yaitu kondisi di luar kontrol. Sedih wajar karena pasti ada perasaan takut, termasuk khawatir dengan kondisi finansial. Namun, seseorang harus melalui fase menerima dulu. Jadi, enggak bisa langsung dikasih motivasi,” tuturnya kepada Kompas.
Setelah tahap menerima dilalui, seseorang baru bisa memikirkan langkah-langkah konstruktif untuk memperbaiki diri. Pada tahap ini, mereka yang tak lagi bekerja bisa mencoba memperbaiki curriculum vitae (CV), berlatih wawancara kerja, atau memperbaiki jejak digital untuk persiapan mencari kerja.
Meningkatkan atau belajar keahlian baru juga bisa menjadi cara untuk memulihkan diri. Apalagi, saat ini banyak profesional yang membuat konten berbagi pengetahuan dan pembelajaran secara gratis melalui media digital.
”Di tengah ketidakpastian ini, kita harus melakukan sesuatu. Jadi, kalau pandemi sudah berkurang, kita bisa siap-siap menebar CV ke pasar kerja,” ucapnya.
Kepekaan sosial
Untuk pekerja kerah biru yang diupah dalam waktu tertentu, mencari pekerjaan baru bisa lebih riskan dilakukan saat ini. Oleh karenanya, menurut Nur, kepekaan sosial dibutuhkan agar mereka dapat tetap memenuhi kebutuhan dasar.
”Di situasi seperti saat ini, kepekaan sosial dibutuhkan untuk membantu warga memenuhi kebutuhan dasar, sebagai hirearki kebutuhan paling dasar menurut teori (psikolog) Masflow. Pemenuhan kebutuhan ini bisa dilakukan pemerintah atau masyarakat sekitar,” ujarnya.
Mantan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, dalam diskusi terbatas secara dalam jaringan dengan Kompas, Kamis (16/4/2020), mengatakan, stabilitas sosial, berupa kemampuan mencukupi kebutuhan makan yang paling dasar dan melindungi roda gerak UMKM, perlu dijaga dalam enam bulan mendatang.
”Garis pertahanan pertama adalah stabilitas sosial. Artinya, pemerintah harus memberi makan warga yang kehilangan pekerjaan dan membantu usaha mikro, kecil, dan menengah yang bangkrut,” katanya.
Saat ini, Pemerintah Indonesia menganggarkan Rp 436,1 triliun untuk penanganan Covid-19 dan pencegahan krisis ekonomi. Angka itu setara dengan 2,5 persen produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Sebagai perbandingan, Malaysia mengalokasikan 10 persen PDB, Amerika Serikat 11 persen PDB, Singapura sekitar 10,9 peren PDB, Jepang 19 persen PDB, dan Jerman 20 persen PDB untuk kebutuhan serupa.