Nilai tukar rupiah dijaga stabil karena diperlukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, Bank Indonesia memastikan stimulus dikeluarkan untuk menjaga stabilitas ekonomi.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bank Sentral berupaya menjaga stabilitas ekonomi dan sistem keuangan. Oleh karena itu, kendati mempertahankan suku bunga acuan pada posisi 4,5 persen, Bank Indonesia juga memberi stimulus di berbagai sisi.
”Kami tegaskan kembali, BI memastikan berbagai ’jamu’ kebijakan stimulus tetap diluncurkan dan diarahkan untuk memberi pelonggaran di sisi moneter,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo, Jumat (17/4/2020), di Jakarta.
Kebijakan tersebut antara lain pelonggaran kuantitatif, relaksasi makroprudensial, dan akselerasi sistem pembayaran.
Pelonggaran kuantitatif merupakan kebijakan untuk mencegah penurunan pasokan uang tunai di pasar domestik pada saat kebijakan moneter konvensional dirasa mulai tidak efektif. Dalam pelonggaran kuantitatif sejak awal tahun ini, BI memiliki potensi melepas likuiditas ke pasar domestik hampir Rp 420 triliun.
Praktiknya, BI menggelontorkan likuiditas Rp 300 triliun, untuk membeli surat berharga negara (SBN) dari pasar sekunder Rp 163 triliun, transaksi repo dari bank Buku I dan II ke BI sebesar Rp 53 triliun, serta penurunan giro wajib minimum (GWM) rupiah yang menambah likuiditas Rp 53 triliun dan penurunan GWM valas yang menambah likuiditas 3,2 miliar dollar AS.
Dalam Rapat Dewan Gubernur BI, 13-14 April 2020, BI kembali memangkas GWM bank mulai 1 Mei 2020 sehingga sekitar Rp 102 triliun uang tunai secara otomatis mengalir ke sistem perbankan.
BI juga tidak memberlakukan kewajiban tambahan giro untuk memenuhi rasio intermediasi makroprudensial (RIM) perbankan sehingga likuiditas perbankan bertambah Rp 15,8 triliun.
”Jadi, kenapa suku bunga tidak kita turunkan, supaya nilai tukar rupiah tetap stabil. Kita pertahankan karena perlu mendukung pertumbuhan untuk ekonomi ke depan,” kata Perry.
Penurunan GWM dibarengi penurunan rasio penyangga likuiditas makroprudensial (PLM) 2 persen sehingga SBN yang dimiliki bank bertambah 2 persen dari dana pihak ketiga yang dihimpun bank.
Dihubungi terpisah, ekonom PT Bank Danamon Indonesia Tbk, Wisnu Whardana, mengatakan, pemangkasan GWM yang dibarengi peningkatan rasio PLM bisa mendukung penyerapan penerbitan obligasi pemerintah tambahan. Kebijakan otoritas moneter itu dapat membantu perbankan menghadapi tantangan cukup besar akibat pelebaran defisit APBN tahun ini.
Di sisi lain, perlambatan pertumbuhan ekonomi domestik yang cukup siginifikan pada tahun ini berpotensi mendorong peningkatan risiko kredit. ”Peningkatan CKPN (cadangan kerugian penurunan nilai) juga memengaruhi likuiditas perbankan. Dengan kebijakan BI itu, bank bisa melakukan repo menggunakan SBN yang dimiliki sebagai tambahan likuiditas saat diperlukan,” ujarnya. (DIM)