Keterbatasan sarana transportasi selama pandemi Covid-19 menjadi kendala penyerapan ikan dari nelayan dan pembudidaya. Padahal, ada harapan dari transaksi dalam jaringan.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyerapan ikan tangkapan nelayan dan produksi budidaya terhambat. Akibatnya, nelayan dan pembudidaya ikan rentan terjerat kemiskinan di tengah pandemi Covid-19.
Untuk mencegah hal itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan menyiapkan skema penyerapan ikan dengan melibatkan BUMN perikanan dan usaha pemasaran ikan dalam jaringan.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Soebjakto menyampaikan, penjualan hasil produksi perikanan terhambat karena keterbatasan transportasi pengangkut ikan dan serapan industri pengolahan yang berkurang. Akibatnya, harga jual ikan jatuh.
Penyerapan industri pengolahan yang merosot juga membuat sejumlah pembudidaya ikan memperpanjang masa budidaya ikan dan udang. Namun, pembudidaya dihadang masalah lain, yakni biaya pakan yang meningkat.
”Banyak pembudidaya ikan yang terpaksa memperpanjang masa pemeliharaan ikan dan udang. Namun, (mereka) tidak sanggup lagi membeli pakan. Kami sedang menyiapkan langkah-langkah untuk memperlancar logistik serta memberi bantuan pakan dan benih,” kata Slamet di Jakarta, Jumat (17/4/2020).
Sampai dengan Juni 2020, panen budidaya ikan laut diperkirakan 4.401 ton, udang 105.000 ton, dan ikan air tawar 341.494 ton.
Slamet menambahkan, KKP akan menugaskan BUMN perikanan, seperti PT Perikanan Nusantara (Persero) atau Perinus dan Perum Perindo, untuk membeli hasil produksi nelayan dan pembudidaya yang tidak terserap pasar.
KKP, kata Slamet, juga sedang mengusulkan stimulus untuk mendorong penyerapan ikan. Selain itu, KKP juga membuat surat edaran untuk memastikan distribusi ikan lintas wilayah tidak tersendat selama pemberlakuan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di sejumlah daerah.
Menurut Direktur Pemasaran KKP Machmud Sutedja, upaya mengantisipasi penyerapan ikan yang terbatas, di antaranya melalui penugasan kepada BUMN perikanan untuk menyerap ikan. Upaya lain yang bisa ditempuh adalah memasarkan ikan secara dalam jaringan.
Secara terpisah, Direktur Operasional dan Pemasaran Perinus Ronald Abraham Tanamal menyatakan, Perinus menunggu keputusan pemerintah. ”BUMN harus selalu siap,” katanya.
Upaya lain yang bisa ditempuh adalah memasarkan ikan secara dalam jaringan.
Bisnis daring
Sementara itu, bisnis pemasaran ikan secara daring di tingkat domestik meningkat. Namun, hal itu terganjal persoalan distribusi atau logistik.
CEO & Co-Founder Aruna, Farid Naufal Aslam, mengemukakan, permintaan ikan dari pasar domestik terus meningkat. Namun, suplai ikan dari nelayan belum terserap optimal karena ada hambatan distribusi. Selain itu, ada hambatan lain berupa kenaikan biaya logistik hingga 40 persen.
”Permintaan pasar domestik yang meningkat merupakan peluang bagi nelayan untuk meningkatkan penjualan. Pemasaran ritel secara daring diharapkan dapat menjembatani penyerapan ikan dari nelayan,” katanya.
Untuk mendorong pemasaran ikan lebih optimal, jejaring usaha-usaha rintisan perikanan berbasis daring, Digifish Network, memasarkan ikan secara bersama-sama melalui aplikasi dan media sosial. Selain itu, beberapa usaha rintisan pemasaran ikan berbasis daring juga bekerja sama dengan penyedia layanan e-dagang.
Founder dan COO Ikan Segar Indonesia Catur Pras mengemukakan, penyerapan ikan oleh restoran anjlok selama pandemi Covid-19. Pada kondisi seperti saat ini, lebih dari 1.000 hotel di Indonesia tak lagi beroperasi karena tak ada tamu.
Namun, di sisi lain, pemasaran ritel secara daring melonjak hingga lima kali lipat.
Penjualan ikan secara daring dinilai menjadi salah satu jembatan untuk mendorong penyerapan ikan nelayan, serta memenuhi kebutuhan konsumen.
“Semakin banyak pelaku yang terjun dalam pemasaran ikan secara daring akan membuat harga dan penyerapan ikan dari nelayan dan pembudidaya semakin baik. Ikan yang ditawarkan ke konsumen juga semakin berkualitas,” katanya.