Pemerintah diminta tidak ambigu dan tidak menerbitkan aturan yang saling bertentangan di tengah pandemi Covid-19.
Oleh
C ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembatasan sosial berskala besar atau PSBB tidak akan berhasil menekan jumlah kasus Covid-19 jika pemerintah mengeluarkan kebijakan yang ambigu. Kebijakan yang ambigu ini antara lain berupa Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 18 Tahun 2020.
Kini, kebijakan yang ambigu bertambah dengan keberadaan Surat Edaran Menteri Perindustrian Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Operasional Pabrik dalam Masa Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Coronavirus Disease 2019.
”Berkat SE (surat edaran) Menperin, banyak pabrik atau industri, termasuk 200 industri nonesensial, tetap beroperasi. Bagaimana PSBB mau berhasil?” kata pemerhati kebijakan publik dan perlindungan konsumen Agus Pambagio melalui siaran pers, Kamis (16/4/2020).
Saat dihubungi, Agus menuturkan, ambiguitas kebijakan seperti ini menimbulkan kebingungan dan kegamangan dalam pengawasan dan penindakan di lapangan.
”Kepala daerah jadi susah mengaturnya. Ketika mau ditindak, mereka bilang punya izin. Lalu kalau seperti ini terus gimana?” katanya.
Menurut Agus, sulit untuk mengatasi Covid-19 apabila ada aturan yang memberikan banyak pengecualian terkait PSBB.
Ketika mau ditindak, mereka bilang punya izin.
Agus mempertanyakan bagaimana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan mengenakan sanksi untuk menutup industri jika industri tersebut masih beroperasi karena ada izin dari Menteri Perindustrian.
Secara terpisah, Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri Indonesia (HKI) Sanny Iskandar, ketika dimintai pandangan, mengatakan, penerapan PSBB berdampak terhadap aspek transportasi buruh atau karyawan.
”Semua kembali kepada pengaturan dari masing-masing perusahaan. Namun, memang ada beban tambahan karena harus memilih, apakah meminimalkan karyawan yang masuk atau menambah armada angkutan,” kata Sanny.
Sanny menuturkan, di kawasan industri, mobilitas pekerja rata-rata menggunakan transportasi yang disediakan perusahaan, misalnya bus-bus penjemputan karyawan. Apabila mengikuti ketentuan PSBB, jumlah penumpang di bus hanya boleh 50 persen dari kapasitas.
”Apabila selama ini menggunakan bus antarjemput, (perusahaan) terpaksa menyiapkan jumlah bus dua kali lipat. Atau, jumlah karyawan (yang masuk kerja) dikurangi,” ujar Sanny.
Sanny menambahkan, HKI kembali mengimbau anggotanya yang terdiri dari para pengembang dan pengelola kawasan industri untuk mendorong upaya-upaya atau langkah kongkret membantu pemerintah mengatasi Covid-19, khususnya di lingkungan perusahaan industri.
”Kawasan industri yang berada di wilayah-wilayah yang telah ditetapkan sebagai PSBB diharapkan memperhatikan dan mengikuti arahan sesuai peraturan gubernur maupun peraturan bupati/wali kota di masing-masing daerah untuk mencegah kemungkinan penyebaran Covid-19,” kata Sanny.
Jaga jarak di kendaraan
Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Kementerian Perhubungan Polana B Pramesti menuturkan, ketentuan penjagaan jarak fisik antarpenumpang diberlakukan pada kendaraan umum, kendaraan pribadi, dan kendaraan karyawan.
Polana menuturkan, ketentuan mengenai penerapan jaga jarak fisik di kendaraan tersebut sesuai Permenkes 9/2020 tentang Pedoman PSBB dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19. Selain itu, juga sesuai Permenhub 18/2020 tentang Pengendalian Transportasi dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19.
Lampiran Permenkes 9/2020 menyebutkan semua layanan transportasi udara, laut, kereta api, dan jalan raya (kendaraan umum/pribadi) tetap berjalan dengan pembatasan jumlah penumpang.
Disebutkan pula bahwa semua layanan transportasi udara, laut, kereta api, dan jalan raya tetap berjalan untuk barang penting dan esensial, antara lain angkutan barang untuk kebutuhan medis, kesehatan, dan sanitasi. Angkutan bus jemputan karyawan industri manufaktur dan perakitan disebutkan juga tetap berjalan.