RI Memasuki Krisis Ekonomi akibat Pandemi Covid-19
Hasil survei Arrbey Research menunjukkan 67,6 persen responden menyatakan krisis ekonomi sedang terjadi, 30 persen menyebut krisis belum terjadi, dan hanya 2,4 persen yang merasa tidak ada krisis.
Oleh
cyprianus anto saptowalyono
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hasil riset Arrbey Research, salah satu unit bisnis Arrbey Consulting, menyebutkan, Indonesia tengah mengalami krisis ekonomi akibat terimbas pandemi Covid-19. Sejumlah indikatornya adalah adanya penurunan penjualan, ketersediaan barang, pengiriman barang dan pelayanan, ketersediaan tenaga kerja, serta kenaikan biaya produksi.
Arrbey Research menyurvei 260 pemimpin bisnis swasta nasional; pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM); badan usaha milik negara (BUMN), dan perusahaan multinasional di Indonesia pada 1-13 April 2020. Survei tersebut terkait krisis ekonomi sebagai dampak pandemi Covid-19.
Hasil survei menunjukkan 67,6 persen responden menyatakan krisis sedang terjadi, 30 persen menyebut krisis belum terjadi, dan hanya 2,4 persen yang merasa tidak ada krisis.
”Jumlah responden yang menyebut saat ini (Indonesia) sedang krisis angkanya signifikan,” kata Chief Strategy Consultant Arrbey, Handito Joewono, ketika dihubungi di Jakarta, Rabu (15/4/2020).
Hasil survei menunjukkan 67,6 persen responden menyatakan krisis sedang terjadi, 30 persen menyebut krisis belum terjadi, dan hanya 2,4 persen yang merasa tidak ada krisis.
Hasil survei antara lain menunjukkan, sebanyak 36,5 persen perusahaan menurun penjualan di atas 60 persen dan 24,1 persen perusahaan turun sebesar 41 persen-60 persen. Selain itu, sebanyak 22,9 persen perusahaan penjualannya turun 21 persen-40 persen, kemudian 12,4 persen perusahaan turun di bawah 20 persen, dan hanya 4,1 persen perusahaan tidak mengalami penurunan penjualan.
Terkait dengan durasi krisis ekonomi tersebut, sebanyak 7,6 persen responden yakin krisis akan terjadi kurang dari tiga bulan. Sementara responden yang berpendapat krisis akan terjadi 3-6 bulan sebanyak 48,8 persen, krisis 6-12 bulan sebanyak 32,9 persen responden, dan lebih dari 12 bulan sebanyak 10,6 persen responden.
Arrbey juga menyurvei upaya-upaya perusahaan membuat program-program prioritas dalam menghadapi krisis akibat pandemi Covid-19. Hasil survei menunjukkan 55,3 persen responden berpendapat, program prioritas perusahaan saat ini adalah memperbaiki struktur keuangan.
”Yang mengejutkan, sebanyak 49,4 persen responden berpendapat, penerapan teknologi adalah prioritas kedua terpenting setelah perbaikan struktur keuangan. Ini memberi setitik harapan,” kata Handito.
Yang mengejutkan, sebanyak 49,4 persen responden berpendapat, penerapan teknologi adalah prioritas kedua terpenting setelah perbaikan struktur keuangan. Ini memberi setitik harapan.
Menurut Handito, perhatian terhadap teknologi tersebut memberi harapan di saat krisis sekarang ini. Ini juga memberi harapan ke depan bahwa penerapan dan pengembangan teknologi di Indonesia akan semakin berkembang pascakrisis.
Perkembangan teknologi itu bukan hanya terfokus di sektor teknologi digital, melainkan juga perlu terus dikembangkan teknologi produktif di sektor kesehatan dan industri pengolahan makanan.
”Selain itu, kembangkan juga teknologi di sektor transportasi, pertanian, perkebunan, perikanan, kehutanan, dan sektor-sektor dasar lainnya,” ujarnya.
Sementara pemerhati kebijakan publik dan perlindungan konsumen, Agus Pambagio, menuturkan, pada masa status darurat kesehatan masyarakat saat ini, semua pihak harus fokus mengatasi penyebaran Covid-19. Pembatasan aktivitas, termasuk kegiatan usaha atau industri di wilayah pembatasan sosial berskala besar, harus mengacu aturan terkait.
”Kalau banyak pengecualian-pengecualian, maka upaya menjaga jarak tidak akan jalan,” katanya.
Hal ini karena akan terjadi pengumpulan orang-orang; baik saat mereka berada di transportasi umum waktu berangkat dan pulang kerja, di pabrik-pabrik, maupun ketika makan waktu jam istirahat.
Agus menambahkan, pembatasan aktivitas usaha dapat mengurangi jumlah pergerakan orang sehingga diharapkan mampu menekan angka penularan Covid-19. Jika terus ada dispensasi, nanti negara lain sudah selesai dan tinggal memikirkan ekonomi, Indonesia masih terus berkutat dengan masalah Covid-19 yang tak kunjung rampung. Ini bisa membuat ekonomi tambah jeblok.