Merek harus hadir dengan berbagai cara di tengah ketidakpastian dan kecemasan konsumen akibat pandemi Covid-19. Selain cara berkomunikasi, kejujuran korporasi terkait situasi juga menjadi kunci.
Oleh
Andreas Maryoto
·4 menit baca
Di tengah pandemi Covid-19, konsumen fokus pada penanganan wabah. Meski demikian, hidup harus tetap berlangsung di tengah ketidakpastian dan kecemasan. Para pemilik merek agak bingung untuk memosisikan diri di tengah konsumen yang dirundung masalah. Situasi ini dialami oleh beberapa perusahaan. Kuncinya ada pada kemampuan berkomunikasi. Konsumen masih mencari merek-merek yang dicintai dan kita perlu menjangkau mereka. Pekan-pekan ke depan menjadi penting.
Begitu pandemi muncul, perusahaan-perusahaan yang memiliki akses ke klien dan konsumen bisa langsung berkomunikasi. Korporasi yang berbasis platform lebih mudah melakukannya, mulai dari mengingatkan bahaya virus korona baru, menjaga kesehatan, hingga memberikan kemudahan transaksi. Perusahaan yang memiliki kontak seperti surat elektronik dan nomor telepon seluler bisa langsung komunikasi juga. Sementara perusahaan yang sama sekali tak punya kontak, karena selama ini abai, agak kelimpungan.
Meski demikian, baik korporasi yang punya kanal maupun tidak, sepertinya harus memperbarui cara-cara komunikasi. Pandemi kali ini telah membuat klien dan konsumen kalang kabut dan mungkin bertindak irasional. Mereka bingung mengambil langkah sehingga panik membeli berbagai kebutuhan, bahkan menumpuk barang yang tak perlu. Pekan-pekan ini mungkin korporasi perlu berkomunikasi lebih strategis dengan klien atau konsumen. Tentu saja dengan cara yang berbeda dibandingkan dengan saat kondisi normal.
Beberapa kalangan membuat saran dalam komunikasi di tengah pandemi. US Chamber of Commerce dan laman Forbes membuat beberapa tips menjangkau konsumen setelah kepanikan melanda dan kecemasan masih membayangi konsumen ataupun korporasi. Secara umum, di dalam dua artikel yang diterbitkan, korporasi harus tulus dan terbuka menceritakan apa yang terjadi dan dialami saat pandemi.
Korporasi harus menyatakan mereka tidak lebih hebat dan berada di atas krisis. Mereka juga terkena dampak, termasuk kemungkinan harus melakukan pemutusan hubungan kerja. Korporasi tak perlu membuat penyangkalan atau pembenaran.
Pada saat yang sama, mereka perlu menceritakan mitigasi yang dilakukan, baik untuk karyawan, bisnis, maupun konsumen. Mereka perlu membuat penjelasan bahwa mereka juga berupaya mencegah penyebaran virus dan mengurangi dampaknya. Konsumen perlu tahu korporasi melakukan pembersihan, lebih higienis, dan memberikan alat perlindungan yang memadai bagi karyawan.
Saatnya korporasi hadir lagi di berbagai media untuk menunjukkan bisnis mereka tetap berjalan di tengah pandemi. Pemilik merek perlu hadir dengan konten-konten positif, memberi harapan, dan membantu konsumen. Oleh karena itu, dalam setiap konten di media perlu diberi kontak jika klien atau konsumen membutuhkannya.
Oleh karena itu, korporasi perlu membuat tim yang siap menangani sejumlah pertanyaan dan komplain dari konsumen. Tim harus siap membantu dalam kondisi apa pun.
Setelah semua dilakukan, bisnis harus tetap berjalan. Penjualan harus dilakukan di tengah pandemi. Dua artikel di atas menyebutkan, pemilik merek harus memahami kondisi konsumen yang stres, cemas, dan dihantui ketidakpastian. Oleh karena itu, korporasi tidak bisa berharap pembelian dalam jumlah besar dan membuat ajakan untuk tidak membeli secara urakan.
Korporasi harus menggunakan nada-nada yang memahami kondisi konsumen dalam berjualan dan membuat konten-konten yang peduli dengan keadaan di media. Pemilik merek harus ikut memberi harapan hari esok lebih baik.
Di tengah melakukan penjualan, korporasi perlu terlibat dalam penanganan wabah dengan membuat donasi. Donasi bisa berupa pemberian bantuan langsung kepada korban atau tenaga medis yang menolong para korban, tetapi bisa juga memberikan donasi ke usaha kecil menengah, karyawan agar tetap bisa bekerja, dan mungkin penduduk di sekitar tempat usaha. Korporasi melakukan apa saja yang bisa dilakukan, tak perlu memandang bahwa mereka hanya bisa melakukan langkah kecil atau langkah besar di tengah wabah.
Mereka yang melakukan penjualan langsung karena dibutuhkan warga mungkin masih bisa melangsungkan bisnis. Bagaimana dengan mereka yang terhenti sama sekali, seperti usaha restoran, salon, agen perjalanan, dan hotel? Ada yang mengusulkan penjualan sertifikat kredit. Intinya, kita membayar sekarang untuk produk atau layanan yang akan kita nikmati nanti ketika situasi sudah memungkinkan.
Beberapa perusahaan perjalanan menawarkan fasilitas ini ketika konsumen telah membayar tanda jadi. Mereka disarankan tidak membatalkan, tetapi membayar utuh sehingga menjadi kredit agar pelaku wisata di sejumlah tempat bisa menghidupi karyawan.
Merek harus hadir dengan berbagai cara di tengah pandemi. Kuncinya, mereka harus jujur dengan situasi.