Perketat Pengawasan BBM, Digitalisasi SPBU Pertamina Terus Berlanjut
Pengawasan penyaluran BBM bersubsidi di SPBU milik Pertamina bakal diperketat. Caranya adalah penerapan teknologi digital yang bisa memantau secara langsung penyaluran BBM tersebut.
Oleh
ARIS PRASETYO
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Digitalisasi seluruh stasiun pengisian bahan bakar umum atau SPBU milik PT Pertamina (Persero) terus berlanjut di tengah pandemi Covid-19 yang turut melanda Indonesia. Hingga awal April 2020, dari 5.518 SPBU Pertamina, tercatat sekitar 4.400 SPBU yang sudah terpasang alat digital.
Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman, Rabu (15/4/2020), di Jakarta, mengatakan, program digitalisasi SPBU Pertamina ini dimaksudkan untuk memantau ketersediaan pasokan BBM di setiap wilayah secara langsung (real time).
”Selain itu, program ini juga untuk mengawasi penyaluran BBM berikut transaksinya,” ujarnya.
Dengan sistem digital tersebut, lanjut Fajriyah, seluruh proses pendistribusian BBM di tingkat SPBU terpantau langsung dengan baik dan datanya bisa diakses oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Badan Usaha Milik Negara, Kementerian Keuangan, dan Badan Pelaksana Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas).
Sebelumnya, Kepala BPH Migas Fanshurullah Asa mengusulkan agar digitalisasi pada SPBU turut mencatat nomor kendaraan pembeli BBM, khususnya solar bersubsidi. Teknologi digital tersebut sebaiknya mampu mencatat nomor kendaraan yang membeli solar bersubsidi sehingga bisa diketahui siapa pemilik kendaraan itu.
”Data pemilik kendaraan akan disesuaikan dengan data pemerintah apakah mereka memang berhak memperoleh solar bersubsidi,” katanya.
BPH Migas menyebutkan, kuota solar bersubsidi sepanjang 2019 jebol atau melampaui batas. Nilainya diperkirakan mencapai Rp 3 triliun. Dari kuota 2019 sebanyak 14,5 juta kiloliter, sampai akhir Desember 2019 realisasinya mencapai 16 juta kiloliter.
”Tak hanya solar bersubsidi, bahan bakar minyak jenis premium juga penyalurannya sudah melampaui kuota. Dari jatah 11 juta kiloliter di 2019, sampai saat ini sudah mencapai 11,5 juta kiloliter,” kata Fanshurullah (Kompas, 31/12/2019).
BPH Migas menyebutkan kuota solar bersubsidi sepanjang 2019 jebol atau melampaui batas. Nilainya diperkirakan mencapai Rp 3 triliun.
Menurut Fanshurullah, dalam APBN 2020 untuk kuota solar bersubsidi naik menjadi 15,3 juta kiloliter. Dengan asumsi angka pertumbuhan yang sama dengan 2019, diperkirakan kuota solar bersubsidi terlampaui sekitar 700.000 kiloliter.
Salah satu penyebabnya adalah penyimpangan solar bersubsidi di lapangan. ”Ada perusahaan swasta yang memakai solar bersubsidi untuk angkutan tambang dan perkebunan. Seharusnya, kan, tidak boleh,” ucap Fanshurullah.
Tak hanya penyaluran BBM bersubsidi, penyaluran elpiji 3 kilogram yang disubsidi negara juga turut mendapat sorotan. Penjualan elpiji bersubsidi yang terbuka membuat siapa saja dapat membelinya di pasaran. Padahal, elpiji 3 kilogram hanya untuk masyarakat miskin yang layak mendapatkan subsidi.
Sejumlah usulan sudah dilontarkan untuk mengendalikan distribusi elpiji 3 kilogram agar benar-benar tepat sasaran. Beberapa hal yang pernah diusulkan adalah pendistribusian tertutup dengan menggunakan kartu beridentitas khusus. Hanya pemegang kartu yang bisa membeli elpiji 3 kilogram bersubsidi tersebut. Namun, sampai kini belum ada realisasi pengendalian distribusinya.