JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 memukul sejumlah sektor perekonomian. Namun, sebagian industri kecil dan menengah justru berekspansi ke pasar ekspor.
Eksportir nontradisional ini masih perlu bantuan dalam proses ekspor dan biaya pengiriman. Industri kecil menengah (IKM) yang menggeliat di tengah kondisi pandemi Covid-19 antara lain bergerak di sektor tekstil dan produk tekstil, interior rumah dan furnitur, serta produk olahan pangan. Produk yang diekspor antara lain keripik, rendang siap saji, bumbu masak instan, pakaian batik, dan mebel.
Ketua Komite Tetap Pengembangan Ekspor Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Handito Joewono, Senin (13/4/2020), di Jakarta, menyampaikan, dari sisi permintaan barang dan kemampuan suplai produk, IKM yang bermain di pasar dalam negeri mampu menggenjot ekspor. Selama ini, penjualan ke luar negeri lewat jalur perorangan dengan jumlah terbatas.
”Karena pasar dalam negeri lagi susah, maka perusahaan mencari pasar lain, dimulai dari berjualan kecil-kecilan, seperti menjual ke saudaranya yang menjadi pekerja migran di Taiwan atau Malaysia. Akan tetapi, ternyata menjanjikan untuk dijual dalam jumlah besar,” kata Handito.
Seiring perkembangan ekspor, IKM meningkatkan penjualan melalui trading house. ”Pengiriman terlalu mahal dan prosesnya masih rumit sehingga pemain baru mulai mengonsolidasikan pengiriman melalui agregator,” ujarnya.
Pelaku usaha segmen IKM ini, tambah Handito, perlu dukungan pemerintah agar kegiatan ekspor mereka semakin lancar. Tanpa bantuan proses ekspor dari pemerintah, momentum dan tren positif yang saat ini muncul bisa gagal dipercepat.
Handito menyebutkan, eksportir baru ini memiliki akses dan permintaan produk, tetapi sulit menjembatani pasokan dari dalam negeri ke luar negeri. Kesulitan itu disebabkan ongkos pengiriman produk yang mahal ataupun proses perizinan dan tata niaga ekspor yang rumit. ”Mumpung momennya ada, pemerintah harus memperhatikan. Setelah pandemi berlalu, hal ini bisa jadi pasar ekspor baru,” ujarnya.
Setelah pandemi berlalu, hal ini bisa jadi pasar ekspor baru.
Menteri Keuangan 2013-2014 M Chatib Basri menyampaikan, pandemi Covid-19 menyebabkan tiga guncangan sekaligus pada permintaan, penawaran, dan kepercayaan pasar. Ketiga hal itu membedakan kondisi saat ini dengan krisis sebelumnya. Maka, respons kebijakan tidak bisa lagi dengan cara-cara konvensional.
Menurut dia, risiko kredit macet dalam 3-6 bulan mendatang akan meningkat karena daya beli melemah dan likuiditas mengetat. Jika pemerintah tidak bertindak cepat dan tepat, situasi ini akan memukul dunia usaha, terutama usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Akibatnya, kinerja ekspor akan menurun dan angka pengangguran meningkat.
”Pemerintah perlu menyiapkan penjaminan ekspor agar kredit ke dunia usaha tetap tersalurkan,” kata Chatib.
Ruang fiskal cukup
Kepala Ekonom UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja menyebutkan, ada tiga kelompok sektor utama yang harus menjadi fokus pemerintah, yaitu pertanian, kehutanan, dan perikanan; penambangan dan penggalian; serta manufaktur. Ketiga kelompok sektor itu berkontribusi paling besar terhadap pertumbuhan ekonomi dan bersifat padat karya.
Menurut Enrico, pemerintah masih memiliki ruang fiskal yang cukup untuk membantu dunia usaha. Oleh karena itu, disiapkan anggaran Rp 150 triliun untuk program pemulihan ekonomi nasional. Namun, hingga kini sasaran dan skema program masih belum jelas, padahal sangat dinanti.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan, pemerintah menyiapkan anggaran Rp 150 triliun untuk program pemulihan ekonomi nasional. Tujuannya untuk melindungi, mempertahankan, serta meningkatkan kemampuan ekonomi pelaku usaha di sektor riil dan sektor keuangan saat pandemi Covid-19. Dukungan bagi UMKM dapat dilakukan melalui penempatan dana pemerintah di perbankan, selain melalui kredit usaha rakyat (KUR).
Sementara itu, dalam indeks manufaktur cepat (prompt manufacturing index/PMI) yang diterbitkan Bank Indonesia, Senin, kinerja sektor industri pengolahan atau manufaktur pada triwulan I-2020 turun dibandingkan dengan triwulan IV-2019. Indeks ini menjadi indikator gambaran umum kondisi sektor manufaktur terkini dan perkiraan pada triwulan mendatang.
PMI-BI pada triwulan I-2020 tercatat 45,64 persen atau turun dari triwulan IV-2019 yang sebesar 51,5 persen. PMI-BI menggunakan ambang batas 50 yang menunjukkan ekspansi, sedangkan di bawah 50 menunjukkan kontraksi.
”Kontraksi yang dialami komponen PMI dipengaruhi penurunan permintaan dan gangguan pasokan akibat pandemi Covid-19, baik di global maupun di Indonesia pada 2020,” kata Kepala Departemen Komunikasi BI Onny Widjanarko dalam siaran pers. (AGE/KRN/DIM)