Dampak sosial dan ekonomi akibat krisis Covid-19 menyebabkan realisasi pertumbuhan ekonomi tahun ini jauh di bawah target. Target pembangunan nasional juga tak akan tercapai. IMF bahkan mencatat pertumbuhan negatif.
Oleh
FX LAKSANA AS
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Seiring dengan besarnya dampak sosial dan ekonomi akibat krisis Covid 19, realisasi pertumbuhan ekonomi pada tahun ini akan jauh di bawah target. Dengan demikian, target pembangunan nasional pun diperkirakan juga tak akan tercapai.
”Kita harus berbicara apa adanya. Target pembangunan dan pertumbuhan ekonomi 2020 akan terkoreksi cukup tajam. Namun, ini juga bukan hanya terjadi di negara kita saja, melainkan hampir di semua negara di dunia,” kata Presiden Joko Widodo pada sidang kabinet paripurna secara telekonferensi, di Istana Kepresidenan Bogor, Selasa (14/4/2020).
Rapat membahas antara lain tentang kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal 2021. Tersambung dalam rapat tersebut, Wakil Presiden Ma’ruf Amin dan menteri-menteri Kabinet Indonesia Maju dari tempat masing-masing.
Mengutip proyeksi sejumlah lembaga internasional, Presiden mengatakan, perekonomian global tahun ini akan memasuki resesi. Perhitungan mutakhir, perekonomian global akan tumbuh negatif 2,8 persen di 2020.
Oleh sebab itu, Presiden meminta seluruh jajaran pemerintah menyiapkan diri dengan berbagai skenario. Sekalipun demikian, pemerintah tidak boleh pesimistis, tetapi harus berikhtiar dan bekerja keras memulihkan kondisi kesehatan dan ekonomi bangsa. ”Dan, insya Allah kita bisa,” kata Presiden.
Kita harus berbicara apa adanya. Target pembangunan dan pertumbuhan ekonomi 2020 akan terkoreksi cukup tajam. Namun, ini juga bukan hanya terjadi di negara kita saja, melainkan hampir di semua negara di dunia.
Presiden Jokowi juga mengingatkan agar semua pihak mewaspadai dampak lanjutan Covid-19 pada perekonomian di 2021. Untuk itu, peluang dan berbagai risiko, baik domestik maupun global, agar dihitung dengan cermat.
”Saya ingatkan bahwa kita harus tetap fokus pada misi besar kita, yakni reformasi struktural yang harus terus berjalan, reformasi untuk percepatan dan pemerataan pembangunan, baik itu berupa reformasi regulasi, reformasi birokrasi, peningkatan produktivitas, maupun transformasi ekonomi. Itulah misi besar kita,” kata Presiden.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan Belanja Negara 2020 menargetkan pertumbuhan ekonomi nasional tahun ini adalah 5,3 persen. Dengan adanya tekanan ekonomi akibat krisis Covid-19, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memproyeksikan realisasinya akan jauh di bawah target.
Pada keterangan pers per 1 April, Sri Mulyani menyatakan, pertumbuhan ekonomi tahun ini diperkirakan anjlok ke 2,3 persen. ”Bahkan, dalam skenario yang lebih buruk, pertumbuhannya bisa mencapai negatif 0,4 persen,” kata Sri Mulyani.
Pertumbuhan ekonomi sebesar 2,3 persen tersebut didasarkan atas proyeksi merosotnya capaian semua komponen pembentuk pertumbuhan ekonomi nasional. Konsumsi rumah tangga sebagai basis pertumbuhan ekonomi yang biasanya 5 persen diperkirakan turun ke 2,3-1,6 persen. Konsumsi pemerintah akan tetap dipertahankan.
Investasi sebagai pemicu laju pertumbuhan diperkirakan juga akan merosot dari target 6 persen ke 1 persen atau bahkan negatif 4 persen. Ekspor yang tahun lalu sudah membukukan pertumbuhan negatif, tahun ini diperkirakan akan merosot lebih dalam lagi. Demikian pula dengan impor.
Target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 persen sebagaimana rencana awal linier dengan target menurunkan angka kemiskinan menjadi 8,5-9,O persen, menurunkan tingkat pengangguran terbuka menjadi 4,8-5,O persen, menurunkan rasio gini sebesar 0,375-0,380, dan meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia menjadi 72,51.
Sejauh ini belum ada pernyataan resmi pemerintah tentang proyeksi realisasinya. Hal yang pasti, dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi, target pembangunan pun akan terkoreksi ke bawah.
Managing Director Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva, per 23 Maret, menyatakan, biaya kemanusiaan akibat Covid-19 tidak terhitung. Seluruh negara harus bekerja sama untuk melindungi masyarakat dan membatasi kerusakan ekonomi yang diakibatkannya.
Pertumbuhan negatif
Pertumbuhan ekonomi global tahun ini, menurut Kristalina, diperkirakan negatif. Resesi ekonomi akan terjadi, setidaknya sama buruknya dengan krisis keuangan global 2009 atau bahkan lebih buruk lagi. Meski demikian, diharapkan 2021 menjadi tahun pemulihan. Untuk itu, penanggulangan Covid-19 dan penguatan sistem kesehatan di semua negara menjadi prioritas yang mutlak dilakukan.
”Dampak ekonominya sedang dan akan besar sekali. Akan tetapi, semakin cepat virus dihentikan, semakin cepat dan kuat pula pemulihan berlangsung,” kata Kristalina.
Dampak ekonominya sedang dan akan besar sekali. Akan tetapi, semakin cepat virus dihentikan, semakin cepat dan kuat pula pemulihan berlangsung.
IMF, menurut Kritalina, sangat mendukung kebijakan fiskal luar biasa yang telah diambil banyak negara untuk memperkuat sistem kesehatan dan melindungi pekerja serta sektor yang terdampak. IMF juga mengapresiasi langkah para gubernur bank sentral di berbagai negara yang telah melonggarkan kebijakan moneter. Usaha-usaha berani tersebut tidak saja merupakan kepentingan nasional masing-masing negara, tetapi juga kepentingan ekonomi global secara keseluruhan. Kebijakan lanjutannya masih akan dibutuhkan, terutama kebijakan fiskal sebagai garda terdepan.
Negara-negara maju, masih menurut Kristalina, secara umum pada posisi yang lebih baik dalam merespons krisis tersebut. Sementara negara miskin dan negara berkembang menghadapi tantangan berat. Negara-negara ini merasakan tekanan berat akibat arus modal keluar sehingga kegiatan domestik akan terdampak.
IMF mencatat, investor telah memindahkan dana senilai 83 miliar dollar AS atau sekitar Rp 1.300 triliun dari negara berkembang sejak awal krisis Covid-19. Ini merupakan rekor arus modal keluar terbesar sepanjang sejarah.