Agar Menelepon ”Tra” Perlu Panjat Pohon...
Warga Kampung Sinimburu, Kabupaten Boven Digoel, Papua, berharap dapat berkomunikasi meski daerah mereka belum terjangkau sinyal ponsel. Mereka menanti stasiun penerima sinyal dari satelit yang dibangun dari dana desa.
Damsi Sayat (30) mengunduh video dan lagu grup band favoritnya sebelum pulang ke rumah di Kampung Sinimburu, Kabupaten Boven Digoel, Papua. Jangankan jaringan internet, di kampung sinyal telepon seluler saja tidak ada.
”Di kampung trada (tidak ada) sinyal. Untuk telepon saja, kami harus panjat pohon,” ujar Damsi, warga Kampung Sinimburu, Distrik Yaniruma, awal Maret silam.
Tidak hanya Sinimburu, hampir semua kampung-kampung di Distrik Yaniruma belum terjangkau sinyal telepon seluler, antara lain Danuwage, Waina, Xanax, Naxilop, dan Yaniruma. Kampung-kampung yang kebanyakan dihuni suku Korowai itu terletak di sepanjang aliran Sungai Deiram.
Baca juga : Perintis Menembus Pedalaman Papua
Sinyal telepon seluler jernih dan mudah baru bisa ditemukan di sekitar Tanah Merah, ibu kota Kabupaten Boven Digoel. Untuk menuju ke sana, warga Sinimburu harus menggunakan perahu ketinting melalui Sungai Deiram ke Danuwage dengan waktu tempuh sekitar 2 jam disambung pesawat Grand Caravan berkapasitas 12 orang sekitar 40 menit. Dari Tanah Merah ke Sinimburu belum dapat ditembus dengan jalan darat.
”Sebenarnya di kawasan lapangan terbang (Danuwage) ada jaringan internet. Namun, sering rusak,” kata pria yang sehari-hari bekerja antar-jemput warga menggunakan perahu ketinting itu.
Damsi berkisah, karena tidak ada sinyal telepon seluler, warga di kampung hanya bermodal sikap percaya dengan komunikasi dari mulut ke mulut. Setiap bulan beberapa warga yang berdagang di kampung pergi ke kota untuk belanja. Di kota, mereka membuat janji atau menyampaikan pesan ke warga kampung lain.
Warga Kampung Sinimburu kini menanti pembangunan stasiun penerima sinyal dari satelit, yakni Very Small Aperture Terminal/Vsat, yang dianggap sebagai solusi dalam mengakses informasi dan memudahkan komunikasi. Menurut rencana, Vsat akan dibangun menggunakan dana desa tahun anggaran 2021. Aparat desa tengah menyiapkan perencanaannya.
Baca juga : Dana Desa Belum Berdampak di Papua
Daniel Lahayu, Bendahara Kampung Sinimburu, menuturkan, Vsat akan mempercepat pembangunan di kampung. Bukan hanya pembangunan fisik, tetapi juga sosial dan ekonomi. Koordinasi dengan pihak luar pun akan lebih mudah. Kampung tidak lagi terisolasi karena akses informasi cepat masuk.
”Tahun ini kami mendapat dana kampung (dana desa) sekitar Rp 1 miliar. Tahun depan kemungkinan sekitar segitu juga,” ujar Daniel.
Kampung berpenduduk sekitar 100 keluarga ini mendapatkan dana desa sejak tahun 2016. Vsat dicanangkan setelah pembangunan infrastruktur dasar dinilai memadai, seperti jalan, jembatan, puskesmas, sekolah, balai serba guna, gereja, hingga rumah singgah guru.
Baca juga : Cerita dari Digoel
Warga berharap, pembangunan Vsat dapat menjawab berbagai masalah kampung. Misalnya, anak-anak bisa tetap belajar dengan memanfaatkan jaringan internet meskipun tidak ada guru. Di daerah terpencil, guru acap kali tidak datang berbulan-bulan karena akses jalan yang sulit.
”Pak guru tidak lagi datang sejak tahun lalu (2019). Anak saya gagal ujian nasional karena telat mendaftar,” keluh Paulus (40), orangtua dari Daud Dayat (11) yang bersekolah di SDN Persiapan 2 Korowai, Kampung Sinimburu.
Transparansi anggaran
Kendati terletak di pelosok timur Papua, Kampung Sinimburu tetap berusaha menjunjung transparansi penggunaan anggaran. Warga diajak terlibat dalam musyawarah kampung untuk menentukan penggunaan dana desa pada tahun mendatang. ”Jadi, masyarakat bisa tahu semua usulan dan bagaimana dana (itu) digunakan,” tutur Daniel.
Di Kampung Sinimburu, dana desa dialokasikan untuk honor pegawai sebesar 30 persen, program pemberdayaan warga 30 persen, dan pembangunan infrastruktur fisik 40 persen. Dana desa dioptimalkan untuk menggerakkan kegiatan ekonomi kampung yang jauh dari pusat kota. Rencana penggunaan dana desa juga ditempel di kantor desa sehingga warga bisa melihatnya.
Baca juga : 1.100 Desa di Papua Masih Gelap Gulita
Secara administratif, kampung-kampung di Provinsi Papua sama seperti desa di provinsi lain di Indonesia. Untuk itu, ada dana desa yang dikucurkan dari pemerintah pusat ke desa-desa tersebut untuk pembangunan infrastruktur dan pemberdayaan warga.
Adapun kampung-kampung yang dihuni suku Korowai di Boven Digoel sengaja dibentuk pemerintah untuk memudahkan pendataan administrasi, pemberian bantuan, dan fasilitas kesehatan. Sebelum dibentuk kampung, warga tinggal di dalam hutan yang jarak antar-rumahnya bisa berkilo-kilometer.
Potret pemanfaatan dana desa di Sinimburu dan beberapa kampung yang dihuni suku Korowai di Boven Digoel membawa kabar positif. Dana desa sangat bermanfaat bagi percepatan pembangunan asal digunakan dengan jujur dan bertanggung jawab.
Baca juga : Pengawasan Dana Desa di Papua Ditingkatkan
Hal ini menunjukkan tidak semua dana desa bermasalah. Sebab, sebelumnya terdapat terdapat lima kasus dugaan penyalahgunaan dana desa di Papua yang tercatat hingga akhir 2019. Kasus-kasus itu tersebar di Kabupaten Keerom, Kabupaten Asmat, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Nabire, dan Kabupaten Merauke. Adapun di provinsi lain, kasus dana desa bermasalah yang cukup menggemparkan terjadi di Konawe, Sulawesi Tenggara.
Pada akhir 2019, kasus desa-desa bermasalah penerima dana desa mencuat di Kabupaten Konawe. Sebanyak 56 desa diduga didaftarkan ke Kementerian Dalam Negeri agar menerima dana desa dengan berlandaskan peraturan daerah fiktif. Kondisi ini pun diketahui Kementerian Keuangan beserta Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Baca juga : Rekayasa demi Dana Desa
Berdasarkan hasil penelusuran Kompas, upaya untuk memperoleh kucuran dana desa untuk 56 desa di Konawe, Sulawesi Tenggara, ditempuh dengan merekayasa peraturan daerah. Perda Nomor 7 Tahun 2011 yang menjadi landasan pengajuan kode wilayah untuk 56 desa tersebut dibuat dengan cara memundurkan tanggal (backdate). Perda 7/2011 diduga dibuat pada pertengahan 2015 tetapi mencantumkan tahun 2011 demi menyiasati kebijakan moratorium pemekaran desa pada Januari 2012. Hingga kini, kasus tersebut masih diselidiki Kepolisian Daerah Sultra. (Kompas, 4/12/2019).
Dana Desa 2020
Kementerian Keuangan mengubah skema pengalokasian dan penyaluran dana desa mulai tahun 2020. Secara keseluruhan, formula pengalokasian dana desa terdiri dari alokasi dasar 69 persen, alokasi formula 28 persen, alokasi afirmasi 1,5 persen, dan alokasi kinerja 1,5 persen.
Setiap desa mendapatkan alokasi berbeda tergantung jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis. Pada 2020, alokasi dana desa Rp 72 triliun untuk sekitar 74.950 desa di Indonesia.
Alokasi dana desa terus meningkat dari Rp 20,8 triliun tahun 2015 menjadi Rp 69,8 triliun tahun 2019. Pada 2019, rata-rata setiap desa mendapatkan alokasi Rp 933,9 juta.
Adapun penyaluran dana desa dari pusat ke daerah tetap dilakukan bertahap melalui tiga tahapan, tetapi besaran berbeda. Pada 2020, penyaluran dana desa tahap I sebesar 40 persen pada Januari-Juni, tahap II sebesar 40 persen pada Maret-Agustus, dan tahap III sebesar 20 persen pada Juli-Desember.
Ini mengubah pola penyaluran tahun-tahun sebelumnya di mana tahap I yang disalurkan setiap Januari hanya 20 persen, tahap II sebesar 40 persen pada Maret, dan tahap III juga 40 persen pada Juli.
Baca juga : Berdaya dengan Dana Desa
Untuk pertama kali, pada 2020, formulasi dana desa memasukkan alokasi afirmasi bagi desa tertinggal dan sangat tertinggal dengan penduduk miskin tertinggi. Desa-desa tersebut akan menerima lebih banyak dana desa dibandingkan dengan desa lainnya untuk percepatan pembangunan.
”Besaran alokasi afirmasi 1,5 persen dari total pagu dana desa. Karena itu, alokasi dana desa tahun 2020 meningkat Rp 2 triliun dibandingkan 2019,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Selain alokasi afirmasi, Kemenkeu juga memberikan penghargaan bagi desa dengan kinerja terbaik sebesar 1,5 persen dari total pagu dana desa. Alokasi kinerja itu diberikan kepada 7.459 desa yang berkinerja paling baik. Tujuannya, meningkatkan pendapatan asli desa dan mendorong status desa.