Kelanjutan Pembahasan RUU Cipta Kerja Tergantung Pemerintah
DPR akan menanyakan kesiapan pemerintah untuk membahas RUU Cipta Kerja. Jawaban pemerintah akan menentukan dilanjutkan atau ditundanya pembahasan RUU Cipta Kerja yang mendapat penolakan sebagian masyarakat.
Oleh
Rini Kustiasih
·4 menit baca
Kompas/Wawan H Prabowo
Baliho penolakan kaum buruh terhadap RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja menghiasi Jalan Gading Golf Boulevard, Desa Cihuni, Kecamatan Pagedangan, Tangerang, Banten, Minggu (5/4/2020). Bagi kalangan buruh, pengaturan kluster ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja tidak lebih baik daripada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
JAKARTA, KOMPAS — Kelanjutan pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja sangat bergantung pada kesiapan pemerintah yang saat ini disibukkan menghadapi wabah Covid-19. Kesiapan pemerintah akan menjadi pertimbangan DPR untuk melanjutkan atau menunda pembahasan RUU Cipta Kerja yang dibuat dengan metode omnibus law tersebut.
Terkait dengan hal itu, Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat akan mengadakan rapat kerja dengan pemerintah pada pekan depan. DPR tidak memiliki target waktu penyelesaian pembahasan RUU Cipta Kerja.
Ketua Baleg DPR dari Fraksi Gerindra Supratman Andi Agtas, Selasa (7/4/2020), di Jakarta, seusai rapat pleno tertutup dengan para ketua kelompok fraksi (kapoksi) di Baleg mengatakan, jadwal pertama Baleg ialah mengundang pemerintah di dalam raker pada pekan depan. Hal itu menjadi kesimpulan rapat Baleg kemarin. Baleg pun menyepakati untuk menanyakan kesiapan pemerintah dalam membahas RUU Cipta Kerja di tengah-tengah kondisi darurat penanganan Covid-19. Sebab, RUU itu merupakan usulan pemerintah, bukan inisiatif DPR.
”Baleg juga tidak ada target penyelesaian RUU. Memang, sesuai tatib (tata tertib) RUU maksimal dibahas dalam dua kali masa sidang. Tetapi, karena ada Covid-19, kami tidak memiliki target semacam itu,” ujar Supratman.
DOKUMENTASI POLRESTA SIDOARJO
Buruh berunjuk rasa di Bundaran Waru, Sidoarjo, Rabu (11/3/2020), menolak RUU Cipta Lapangan Kerja karena merugikan kepentingan dan masa depan mereka.
Wakil Ketua Baleg dari Fraksi Nasdem Willy Aditya menambahkan, pernyataan kesiapan pemerintah itu penting karena akan menentukan pertimbangan apakah pembahasan omnibus law itu dapat dilanjutkan di tengah pandemi Covid-19 ataukah tidak. Jika pemerintah tidak siap meneruskan pembahasan, hal itu akan jadi pertimbangan bersama bagaimana mekanisme selanjutnya. Setelah menanyakan terlebih dulu kesiapan pemerintah, barulah dijadwalkan pembentukan panitia kerja (panja).
”Panja akan melakukan RDPU-RDPU untuk menyerap aspirasi dan uji publik, baik virtual maupun fisik, untuk semua kelompok kepentingan,” kata Willy.
Anggota panja dalam pembahasan RUU Cipta Kerja ini terdiri atas 39 orang, yang disusun secara proporsional berdasarkan raihan kursi di DPR. Partai politik dengan raihan kursi terbanyak akan mendudukkan wakilnya paling banyak di panja. ”Kemungkinan panja akan dibentuk pekan depan,” katanya.
Dalam rapat pleno kemarin juga diserahkan draf RUU kepada tiap-tiap fraksi. Setiap fraksi diminta menyusun daftar inventarisasi masalah (DIM). DIM dari sembilan fraksi akan dikumpulkan setelah penyerapan aspirasi dan masukan dari pakar. Rapat juga menyepakati pembahasan DIM oleh tiap-tiap fraksi dimulai dari pasal-pasal yang tidak kontroversial atau mendapatkan pertentangan dari publik.
”Masa sidang ini kami ingin menyerap aspirasi publik seluas-luasnya. Nanti pemerintah kami tanyai juga apakah tetap mau melanjutkan pembahasan ini ataukah dalam situasi seperti ini ada masukan, catatan, perubahan, atau usulan lain,” katanya.
KOMPAS/ WAWAN H PRABOWO
Para buruh dan mahasiswa memperingati Hari Perempuan Internasional dengan berunjuk rasa di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (9/3/2020). Selain mengecam kekerasan, diskriminasi, dan eksploitasi terhadap pekerja perempuan, mereka juga menyampaikan penolakannya terhadap omnibus law RUU Cipta Kerja. Omnibus law dianggap menerapkan konsep sapu bersih terhadap hal-hal yang menghambat investasi. Namun, banyak pihak yang menilai omnibus law bakal banyak melanggar dan merusak hak-hak dasar warga negara jika disahkan.
Dihubungi terpisah, anggota Baleg dari Fraksi Partai Demokrat, Herman Khaeron, mengatakan, fraksinya tetap meminta pembahasan dalam masa sidang ini ditunda dulu. Penundaan pembahasan legislasi di tengah-tengah pandemi Covid-19 adalah sesuatu yang logis. ”Justru tidak logis di kala kita harus bersama-sama menangani pandemi Covid-19, ada agenda yang dipaksakan,” katanya.
Harus punya sikap
Anggota Gerakan untuk Indonesia Adil dan Demokratis (GIAD) Kaka Suminta mengatakan, pemerintah dan DPR adalah dua cabang kekuasaan yang seyogianya terpisah. DPR, oleh karena itu, harus memiliki pandangan yang sesuai dengan posisinya sebagai representasi rakyat. Rakyat saat ini dalam sebuah kondisi luar biasa sehingga DPR diharapkan merepresentasikan apa yang menjadi suara rakyat.
”Dalam kondisi darurat atau extraordinary, seluruh sumber daya sebaiknya dioptimalkan untuk penanggulangan Covid-19 secara optimal. Pilkada pun sampai ditunda. Keberlangsungan kerja pemerintah pusat dan daerah dalam menangani Covid-19 jauh lebih penting daripada mengurusi pengaturan di omnibus law,” katanya.
Apabila kebijakan untuk membahas omnibus law itu digantungkan pada kesiapan pemerintah semata, akan ada waktu terbuang percuma. Energi publik akan tersita menunggu kepastian kesiapan pemerintah dalam membahas omnibus law. Kaka menilai, DPR seharusnya memiliki sikapnya sendiri dalam pembahasan itu, menunda atau meneruskan pembahasan.
Dari kacamata lain, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, mengatakan, keputusan DPR menanyakan kesiapan pemerintah dalam pembahasan RUU Cipta Kerja itu merupakan langkah yang baik karena DPR memang tidak bisa mengambil keputusan sendiri terkait pembahasan suatu RUU. Terlebih lagi, pemerintah saat ini tengah disibukkan dengan upaya menangani Covid-19.
”Jawaban dari pemerintah itu yang akan menjadi patokan apakah RUU Cipta Kerja ini akan terus dibahas ataukah tidak,” ujarnya.
Selain itu, permintaan kepada fraksi untuk menyusun DIM dalam setiap kluster seharusnya dilakukan jauh-jauh hari. Sebab, fraksi membutuhkan banyak waktu untuk menyusun DIM itu pasal per pasal.
”Di masa darurat ini, sebaiknya memang setiap fraksi fokus menggarap DIM dan mencermati pasal per pasal karena banyak waktu yang diperlukan fraksi untuk membahas secara detail RUU tersebut,” katanya.