Keakuratan data penduduk penerima subsidi energi diperlukan di tengah situasi krisis akibat pandemi Covid-19. Data yang akurat penting untuk mempercepat penyaluran dan mencegah penyelewengan subsidi.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
Selama pandemi Covid-19 di Indonesia, pelanggan listrik rumah tangga golongan tertentu mendapat subsidi ganda dari negara. Kedua pelanggan tersebut adalah golongan 450 volt ampere dan 900 volt ampere tidak mampu. Selain menikmati tarif bersubsidi, kedua golongan pelanggan ini dibebaskan dari tagihan listrik dan diberi potongan harga selama tiga bulan.
Terhitung mulai April 2020, pelanggan 450 VA dibebaskan dari pembayaran tagihan listrik selama tiga bulan hingga Juni. Selama periode yang sama, pelanggan 900 VA tidak mampu diberi insentif berupa potongan tagihan listrik sebesar 50 persen. Golongan 900 VA terbagi dua macam, yaitu yang mampu dan yang tidak mampu. Kelompok yang mampu tidak diberi potongan harga.
Kedua golongan pelanggan tersebut adalah penerima subsidi listrik di Indonesia yang seluruhnya berjumlah 25 golongan. Golongan 450 VA dan 900 VA tidak mampu tercatat sebagai penerima subsidi terbesar. Anggaran subsidi untuk kedua golongan ini hampir 80 persen dari total subsidi listrik yang dianggarkan negara setiap tahun. Jumlah pelanggan 450 VA sebanyak 23,8 juta pelanggan, sedangkan golongan 900 VA tidak mampu sebanyak 7,2 juta pelanggan.
Kenapa kedua golongan ini mendapat subsidi ganda? Pertama, sebelum pemberian insentif sebagai dampak pandemi Covid-19, kedua golongan ini mendapat tarif listrik bersubsidi. Tarif listrik 450 VA adalah Rp 415 per kilowatt jam (kWh), sedangkan tarif untuk 900 VA tidak mampu Rp 605 per kWh. Sebagai pembanding, golongan 900 VA mampu bertarif Rp 1.352 per kWh. Adapun untuk pelanggan rumah tangga nonsubsidi dikenai tarif Rp 1.467 per kWh.
Kedua, dengan pemberian insentif berupa pembebasan pembayaran tagihan listrik dan potongan 50 persen tagihan listrik, berarti mereka mendapat dua kali subsidi. Kebijakan khusus insentif listrik selama siaga pandemi Covid-19, pemerintah menganggarkan dana Rp 3,5 triliun. Alasan pemerintah adalah menjaga daya beli masyarakat yang berasal dari dua kelompok pelanggan tersebut.
Berdasarkan catatan pemerintah, rata-rata pembayaran tagihan listrik pelanggan golongan 450 VA adalah Rp 36.000 setiap bulan. Konsumsi listrik mereka rata-rata 85 kWh setiap bulan. Adapun pembayaran tagihan listrik golongan 900 VA tidak mampu rata-rata Rp 60.000 setiap bulan dengan konsumsi listrik 104 kWh. Dengan potongan harga 50 persen, pelanggan golongan 900 VA tidak mampu hanya mengeluarkan Rp 30.000 untuk pembayaran tagihan listrik.
Kelompok ini adalah termasuk yang paling rentan terdampak pandemi Covid-19 yang berakibat lumpuhnya aktivitas ekonomi. Uang sejumlah itu bagi mereka bisa untuk membeli beras sebanyak 4 liter.
Bagi kelompok kaya dan mampu, uang Rp 36.000 ibarat tak ada artinya. Apalagi bagi mereka yang tagihan listrik rumah tangganya mencapai jutaan rupiah setiap bulan. Namun, tidak demikian bagi kelompok masyarakat miskin atau tidak mampu. Kelompok ini adalah termasuk yang paling rentan terdampak pandemi Covid-19 yang melumpuhkan aktivitas ekonomi.
Sebagian dari mereka mengandalkan pendapatan harian dari berjualan barang atau jasa. Bahkan, mereka bergantung pada pembeli atau pemakai jasa yang rata-rata pegawai kantor atau dari sektor formal. Ketika kebijakan bekerja dari rumah diterapkan, mereka kehilangan pembeli dan pengguna jasa. Contoh sederhana adalah penjual makanan di dekat gedung perkantoran atau tukang ojek yang kerap mangkal di stasiun kereta api menunggu calon penumpang.
Teladan yang bisa diambil dari pemberian insentif listrik secara langsung kepada rakyat adalah keakuratan data. Selain itu, mekanisme subsidi yang langsung diserahkan kepada rakyat yang berhak menerima perlu diterapkan pada komoditas bersubsidi lainnya. Contohnya, subsidi elpiji 3 kilogram dan subsidi pada solar.
Sampai saat ini, subsidi negara yang diberikan untuk dua komoditas tersebut berupa subsidi pada harga, bukan diberikan langsung kepada rakyat. Pemerintah memang tengah berancang-ancang menerapkan skema baru pada subsidi elpiji 3 kilogram, yaitu pemberian dana langsung tunai kepada rakyat yang berhak memakai elpiji bersubsidi tersebut. Namun, rencana sejak bertahun-tahun lalu itu tak kunjung dijalankan. Alasannya klasik, yakni masalah data.
Apabila pemerintah mau bertindak cepat dan sungguh-sungguh, sejatinya tidak terlalu sulit mendapatkan data penduduk yang berhak disubsidi. Selain mempermudah penyaluran, data yang akurat bisa menyelamatkan uang negara dari penyelewengan subsidi. Apalagi di tengah situasi pandemi Covid-19 seperti sekarang ini.