Pendapatan negara diperkirakan turun akibat perlambatan ekonomi dan dampak pandemi Covid-19. Kontraksi terjadi di semua sumber pendapatan, yakni perpajakan, bea dan cukai, serta pendapatan negara bukan pajak.
Oleh
Karina Isna Irawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pendapatan negara diproyeksikan terkontaksi cukup dalam tahun ini, yakni hingga minus 10 persen, karena perlambatan ekonomi dan dampak pandemi Covid-19. Kontraksi terjadi di seluruh sumber pendapatan, yakni perpajakan, bea dan cukai, serta pendapatan negara bukan pajak.
Dalam proyeksi terbaru, Kementerian Keuangan memperkirakan realisasi pendapatan negara tahun 2020 mencapai Rp 1.760,9 triliun atau menurun 10 persen dari realisasi tahun 2019. Angka proyeksi itu 78,9 persen dari target APBN 2020 yang Rp 2.233,2 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, penurunan pendapatan negara dihitung berdasarkan proyeksi perekonomian Indonesia yang hanya tumbuh 2,3 persen pada 2020. Perlambatan pertumbuhan ekonomi ditambah eskalasi pandemi Covid-19 menekan perekonomian Indonesia dari berbagai lini.
”Bisa diprediksi, APBN mengalami tekanan luar biasa. Penerimaan akan mengalami penurunan yang sangat dalam,” kata Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR yang diselenggarakan secara virtual, Senin (5/4/2020), di Jakarta.
Kontraksi terjadi di semua sumber pendapatan negara. Penerimaan pajak diproyeksikan menurun 5,9 persen, bea dan cukai menurun 2,2 persen, sedangkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) menurun 26,5 persen.
Sri Mulyani mengatakan, proyeksi penurunan penerimaan pajak dipengaruhi perlambatan pertumbuhan ekonomi dan penurunan harga minyak dunia, pemberian insentif pajak dalam paket stimulus kedua, perluasan stimulus dalam paket ketiga, dan penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) badan menjadi 22 persen.
Selain itu, sumber pendapatan negara yang turun paling tajam dari PNBP akibat anjolknya harga minyak dunia ke kisaran 30 dollar AS per barel, sedangkan asumsi makro dalam APBN 2020 sebesar 63 dollar AS per barel. Penurunan harga juga terjadi pada komoditas nonmigas, terutama batu bara.
”Dengan pendapatan turun 10 persen, di sisi lain belanja juga mengalami tekanan. Kami (Kemenkeu) bersama Presiden meminta kajian untuk pembayaran THR dan gaji ke-13 apakah perlu dipertimbangkan lagi mengingat beban negara meningkat,” kata Sri Mulyani.
Sejauh ini pemerintah belum memiliki terobosan untuk memperkecil kontraksi terhadap penerimaan. Menurut Sri Mulyani, stimulus berupa insentif dan relaksasi perpajakan justru dibutuhkan dalam situasi ekonomi domestik yang tertekan pandemi Covid-19 dan potensi resesi ekonomi global.
Adapun belanja negara diperkirakan meningkat sekitar Rp 102,9 triliun dari pagu APBN 2020, yakni 2.540,4 triliun. Peningkatan belanja termasuk tambahan belanja penanganan Covid-19 yang mencakup dukungan anggaran kesehatan, perluasan jaring pengaman sosial, dan dukungan insentif bagi dunia usaha/industri.
Anggota Komisi XI Fraksi Golkar Misbakhun mengatakan, di tengah risiko tekanan pendapatan negara dan peningkatan belanja, pemerintah harus mempertimbangkan skema pembiayaan yang tidak membebani APBN. Bunga kredit dari lembaga Internasional dan donor akan tinggi seiring risiko yang meningkat.
”Bank Indonesia perlu pertimbangkan opsi pencetakan uang baru. Kalau lari ke lembaga donor, seluruh negara di dunia memiliki kebutuhan yang sama,” ujar Misbakhun.
Insentif pajak
Sejauh ini, pemerintah memberikan insentif keringanan pajak bagi sektor-sektor tertentu yang terdampak Covid-19. Dalam paket stimulus Jilid I, insetif pajak diberikan untuk mendukung sektor pariwisata berupa tarif nol persen untuk pajak hotel dan restoran di 10 destinasi wisata senilai Rp 3,3 triliun. Insentif tersebut dinilai tidak efektif.
Sementara itu, dalam paket stimulus Jilid II, insentif pajak khusus diberikan untuk sektor manufaktur yang terdampak Covid-19. Insentif berupa relaksasi Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, relaksasi PPh Pasal 22 impor, relaksasi PPh Pasal 25, dan restitusi PPN pada 19 sektor tertentu. Estimasi empat insentif pajak itu senilai 22,92 triliun.
Dalam paket stimulus Jilid III, pemerintah mengalokasikan cadangan anggaran untuk perluasan pajak ditanggung pemerintah untuk PPh Pasal 21 dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar Rp 52 triliun, dan bea masuk ditanggung pemerintah Rp 12 triliun.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Hestu Yoga Saksama menuturkan, insentif pajak diberikan untuk mengurangi dampak Covid-19 terhadap wajib pajak badan maupun pribadi. Wajib pajak kini bisa mengajukan insentif pajak secara online.
Pendaftaran insentif pajak dapat dilakukan melalui laman www.pajak.go.id kemudian pengguna masuk ke akunnya dengan memasukkan nomor pokok wajib pajak (NPWP) dan kode sandi pribadi. Pilihan pengajuan insentif dapat dilihat di bagian layanan konfirmasi status wajib pajak.
“Untuk melaksanakan pemberian insentif itu, DJP menentukan klasifikasi lapangan usaha wajib pajak berdasarkan SPT tahun 2018,” kata Hestu.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Center for Indonesian Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo berpendapat, pemerintah perlu segera merevisi target penerimaan perpajakan dalam APBN Perubahan. Dalam situasi seperti ini, realisasi penerimaan paling moderat sekitar 75 persen dari target penerimaan tahun lalu.
”Revisi target penerimaan perpajakan akan mengurangi setengah beban pemerintah sehingga bisa lebih fokus ke stimulus untuk menggerakkan roda perekonomian,” kata Yustinus.