Harga sejumlah komoditas pangan di tingkat konsumen cenderung naik dan di tingkat petani justru sebaliknya. Gangguan distribusi akibat masifnya antisipasi penyebaran virus korona baru dinilai berperan pada anomali harga.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Perbedaan tren harga di tingkat konsumen dan produsen sejumlah komoditas pangan dinilai menunjukkan adanya gangguan distribusi. Proses distribusi terdampak pembatasan sosial yang kian masif seiring meluasnya antisipasi penyebaran virus korona jenis baru.
Harga beras di tingkat konsumen, misalnya, cenderung naik tiga bulan terakhir. Harga rata-rata beras, menurut data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional, naik dari Rp 11.800 per kilogram di awal Januari 2020 jadi Rp 11.900 per kg, Senin (6/4/2020). Kenaikan harga beras relatif tinggi terjadi di DKI Jakarta, dari Rp 12.750 per kg jadi Rp 13.500 per kg.
Tren kenaikan harga beras juga terlihat di data Food Station Tjipinang Jaya. Harga rata-rata beras di pasar induk Cipinang, Jakarta, naik dari Rp 10.082 per kg pada Januari menjadi Rp 10.552 per kg pada April seiring berkurangnya stok dari sekitar 43.250 ton jadi 25.960 ton pada periode yang sama.
Akan tetapi, situasi harga di tingkat petani justru sebaliknya. Badan Pusat Statistik mencatat, harga gabah di tingkat petani turun dari Rp 5.273 per kg kering panen (Januari) jadi Rp 5.176 per kg (Februari), dan Rp 4.936 per kg (Maret). Penurunan ini terjadi seiring meluasnya area panen padi yang puncaknya diperkirakan terjadi pada April 2020.
Menurut Ketua Umum Perkumpulan Insan Tani dan Nelayan Indonesia (Intani) Guntur Subagja, perbedaan itu dapat menunjukkan adanya gangguan distribusi. "Gangguan ini dipicu oleh tidak beroperasinya hotel, restoran, dan kafe di wilayah perkotaan yang berdampak pada penurunan permintaan 80 persen terhadap produk pertanian," katanya saat dihubungi, Senin (6/4/2020).
Guntur memperkirakan, perbandingan pangsa produk pangan untuk hotel, restoran, dan kafe dengan pasar tradisional di wilayah perkotaan masing-masing sebesar 50 persen. Oleh sebab itu, penurunan permintaan industri hotel, restoran, dan pariwisata membuat daya angkut logistik dan distribusi berkurang. Pengurangan ini berdampak pada pengangkutan produk-produk pertanian di tingkat petani.
Di hilir, Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Tradisional (Ikappi) Abdullah Mansuri berpendapat, kenaikan harga beras di tingkat konsumen disebabkan oleh peningkatan permintaan yang berkisar 20-25 persen. Kenaikan harga masih tergolong wajar karena di bawah Rp 300 per kg.
Meski demikian, Mansuri menyatakan, pedagang pasar khawatir distribusi bahan pangan terganggu pandemi Covid-19, terutama terkait permasalahan pengangkutan barang atau berkurangnya tenaga kerja yang berada di hulu pertanian. Akibatya, kenaikan harga beras akan tergolong tak wajar.
Oleh sebab itu, pemerintah dinilai perlu memperkuat koordinasi dengan pelaku yang berada di akar rumput, seperti kelompok tani dan pedagang pasar sehingga strategi pengendalian harga dapat berlangsung secara efektif, efisien, dan tepat sasaran. Penguatan koordinasi ini tak hanya dilakukan di tingkat pemerintah pusat, tetapi juga di pemerintah daerah.
Koordinasi
Sementara itu, Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Perum Bulog Tri Wahyudi Saleh menyatakan, logistik pangan Bulog mendapatkan prioritas dalam sepekan terakhir sehingga distribusi berjalan lancar. Kelancaran ini didukung oleh koordinasi antara Bulog dengan otoritas pelabuhan, Polri, dan Satuan Tugas (Satgas) Pangan.
Tri memaparkan, saat ini terus menggelontorkan beras kepada masyarakat melalui program ketersediaan pasokan dan stabilisasi harga (KPSH) dengan rata-rata penyaluran sebanyak 4.000 ton per hari. Saat ini, stok cadangan beras pemerintah yang dikelola Bulog mencapai 1,3 juta ton.
Spesifik di DKI Jakarta, Direktur Utama PT Food Station Tjipinang Jaya Arief Prasetyo Adi menyatakan, stok beras di Pasar Induk Beras Cipinang saat ini mencapai 29.000 ton. "Kami bekerja sama dengan Satgas Pangan untuk mendukung kelancaran distribusi pasokan. Jadi, meskipun permintaan beras diperkirakan naik dua kali lipat, stok kami masih cukup untuk masyarakat," tuturnya.
Kebutuhan kota
Dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan masyarakat di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), Manajer Toko Tani Indonesia atau TTI Center BKP Kementerian Pertanian Inti Pertiwi Nashwari menyatakan, TTI Center memiliki stok yang cukup. Dia mengatakan, TTI Center memperkuat pemantauan stoknya agar cukup memenuhi permintaan konsumen dalam jangka waktu lima hari ke depan.
Inti menuturkan, stok di TTI Center yang berada di Jabodetabek berasal dari gabungan kelompok tani (gapoktan) di wilayah Banten dan Jawa Barat. Apabila terdapat indikasi kekurangan stok, dia akan mencari pasokan dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Apabila indikasi tersebut berlanjut, dia berencana menambah mitra gapoktan.
Selain itu, masyarakat juga dapat memenuhi kebutuhannya lewat inisiatif penjualan produk pangan yang dijalankan oleh individu atau kelompok. Hal ini dijalani oleh Djoni Sapto Priyogo (60), warga yang tinggal di Tanah Kusir.
Sejak sekitar dua pekan lalu, Djoni menerima pesanan sayur-sayuran melalui aplikasi pesan WhatsApp untuk konsumen rumah tangga di Jakarta. "Saya bergabung dengan kelompok tani di Cipanas, Jawa Barat. Biasanya, saya menyuplai ke hotel-hotel yang sekarang sedang tak beroperasi. Setiap hari, saya biasanya melayani sekitar 20 konsumen," katanya.
Secara umum, Mansuri menyebutkan, rata-rata kenaikan permintaan komoditas pangan yang dijual di pasar mencapai 30-35 persen. Komoditas yang menjadi sorotan akibat harganya melambung tinggi terdiri dari, gula pasir, cabai rawit merah, bawang merah, dan bawang putih.