Tekanan besar terhadap rupiah membuat Bank Indonesia menggunakan cadangan devisa untuk menjaga nilai tukar. Cadangan devisa tergerus.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bank Indonesia mengakui cadangan devisa pada periode Maret 2020 tergerus akibat upaya intervensi untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Selain itu, cadangan devisa juga berkurang karena kebutuhan pembayaran utang pemerintah yang sudah jatuh tempo.
Cadangan devisa negara hingga akhir triwulan III-2020 atau Maret 2020 sebesar 121 miliar dollar AS, berkurang sekitar 9,4 miliar dollar AS dari posisi Februari 2020 yang sebesar 130,4 miliar dollar AS.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan, 7 miliar dollar AS cadangan devisa digunakan untuk menstabilkan nilai tukar rupiah agar tidak terdepresi semakin dalam. Adapun 2 miliar dollar AS digunakan untuk membayar utang pemerintah yang telah jatuh tempo.
”Cadangan devisa saat ini lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan impor, pembayaran utang luar negeri pemerintah, dan untuk kebutuhan stabilisasi nilai tukar rupiah,” kata Perry di Jakarta, Selasa (7/4/2020).
Jumlah cadangan devisa saat ini setara dengan pembiayaan 7,2 bulan impor atau 7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Rasio tersebut di atas standar dan ketentuan yang telah disepakati secara internasional dengan batasan minimum tiga bulan impor.
Menurut Perry, bank sentral menggunakan sejumlah besar cadangan devisa untuk meredam gejolak pasar keuangan yang panik akibat pandemi Covid-19 di Tanah Air. Saat itu, mayoritas investor global dan dalam negeri ramai-ramai melepas portofolio investasi mereka, seperti saham dan obligasi.
”Kepanikan pasar keuangan global dimaksud telah mendorong aliran modal keluar Indonesia dan meningkatkan tekanan rupiah, khususnya pada minggu kedua dan ketiga Maret 2020,” ujarnya.
Tambahan likuiditas
Untuk memenuhi kebutuhan likuiditas dollar AS untuk industri dalam negeri, BI menjalin kerja sama dalam bentuk repurchase agreement (repo) dengan bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), senilai 60 miliar dollar AS.
Menurut Perry, kerja sama yang disebut sebagai Facility for Foreign and International Monetary Authorities (FIMA) ini menandakan kepercayaan bank sentral dunia terhadap stabilitas keuangan Indonesia.
Selain dengan The Fed, Indonesia juga memiliki repo dengan beberapa bank sentral dari negara lain, seperti Bank for International Settlements (BIS) sebesar 2,5 miliar dollar AS, Bank Sentral Singapura (Monetary Authority of Singapore/MAS) sebesar 3 miliar dollar AS, serta bank-bank sentral di sejumlah kawasan dengan nilai 500 juta dollar AS-1 miliar dollar AS.
”Repo ini tidak menambah cadangan devisa, tetapi sangat membantu memenuhi kebutuhan likuiditas dollar AS, apalagi jika terjadi keketatan dollar AS di pasar global,” ujarnya.
Tekanan Covid-19
Kepala Ekonom PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Ryan Kiryanto memandang, cadangan devisa Indonesia tergerus akibat tekanan ekonomi global yang bertubi-tubi saat pandemi Covid-19. BI dinilai telah sigap dalam menstabilkan nilai tukar di tengah pelemahan ekonomi akibat krisis kesehatan.
”Faktor utama adalah tekanan eksternal yang bertubi-tubi di sepanjang Maret karena eskalasi pandemik Covid-19 menembus lebih dari 200 negara, termasuk negara-negara adidaya ekonomi, seperti AS, Kanada, Jerman, Italia, Spanyol, dan Jepang,” kata Ryan.
Kepanikan investor global juga mengakibatkan aliran dana investor meninggalkan pasar keuangan dan mencari alternatif instrumen safe heaven, di antaranya dollar AS dan emas. Meski begitu, Pemerintah RI bersama Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) juga terus mengantisipasi pelemahan tersebut.
”Dalam perkembangan pekan ini sudah terjadi pembalikan capital inflows karena kepanikan sudah mereda seturut klarifikasi tim KKSK minggu lalu terkait perppu dan relaksasi kebijakan oleh Kemenkeu, BI, OJK, dan LPS,” ujar Ryan.