Sektor perbankan dinilai masih cukup kuat di tengah perlambatan pertumbuhan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Namun, Otoritas Jasa Keuangan berupaya mempercepat proses deteksi terhadap permasalahan likuiditas bank.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kondisi pandemi Covid-19 membuat perbankan memerlukan likuiditas dengan cepat dan juga perlu dukungan dari pemerintah melalui Surat Berharga Negara untuk pendanaannya. Otoritas Jasa Keuangan mempercepat pendeteksian bank bermasalah agar tidak berdampak sistemik terhadap perbankan lainnya.
Dalam mengantisipasi dampak negatif penyebaran pandemi Covid-19 terhadap stabilitas sistem keuangan, OJK juga memiliki wewenang baru untuk memaksa bank lakukan penggabungan bank (merger) yang kekurangan likuiditas. Kewenangan ini diperkuat ancaman sanksi bagi bank yang dengan sengaja menolak atau mengabaikan dan menghambat pelaksanaan konsolidasi.
Wewenang baru OJK tersebut ada di dalam payung Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan Stabilitas Sistem Keuangan.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menegaskan, langkah merger adalah pilihan terakhir yang akan dilakukan OJK bagi lembaga jasa keuangan yang mengalami masalah likuiditas dan permodalan di masa pandemi Covid-19. Langkah merger nantinya dilakukan atas izin dan intervensi dari persuahaan induk atau pemegang saham pengendali.
”Aturan ini tidak akan serta-merta diterapkan begitu saja. OJK mempunyai hak (untuk menggabungkan bank), walaupun hal ini diharapkan tidak berlaku. Merger hanya akan dilakukan kalau modalnya sudah betul-betul berkurang,” ujarnya dalam konferensi pers virtual, Minggu (5/4/2020).
Merger adalah pilihan terakhir yang akan dilakukan OJK bagi lembaga jasa keuangan yang mengalami masalah likuiditas dan permodalan di masa pandemi Covid-19.
Selain itu, upaya merger hanya dilakukan jika bantalan berupa upaya-upaya akomodatif, seperti pelonggaran makroprudensial dari bank sentral gagal mengamankan likuiditas bank yang bermasalah.
”Kami mendukung BI (Bank Indonesia) untuk lebih akomodatif menjaga likuiditas lewat intervensi di pasar repo,” kata Wimboh.
Masih cukup kuat
Wimboh Santoso menambahkan, kondisi ekonomi terpukul pandemi Covid-19. Akan tetapi, perbankan masih cukup kuat dengan dukungan modal dan kualitas kredit.
”Suka atau tidak suka, saat ini semua sektor mengalami gangguan operasional, termasuk perbankan. Berbagai insentif yang diberikan otoritas punya tujuan agar perbankan membentuk pencadangan yang kuat sehingga fungsi intermediasi tetap berjalan,” ujarnya.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana menyampaikan, rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) perbankan hingga saat ini berada di level 22,42 persen. Adapun likuiditas bagi bank umum kegiatan usaha (BUKU) III dan IV yang diukur dengan rasio kecukupan likuiditas (liquidity coverage ratio/LCR) masih di atas 200 persen.
”Sementara, LCR Bank BUKU I dan II masih di atas 100 persen. Ini artinya kemampuan bank dalam menyalurkan kredit masih baik. Ditambah lagi rasio kredit bermasalah secara gros masih di kisaran 2,79 persen per triwulan I-2020,” ujarnya.
Kendati kondisi perbankan cukup baik, dengan pertumbuhan kredit terjaga di kisaran 6 persen, Wimboh merasa otoritas tetap perlu mengambil wujud perlindungan tambahan. Pasalnya, berbagai sektor usaha yang terikat dengan perbankan mulai terdampak dan melambat karena pandemi Covid-19.
”Potensi perlambatan pertumbuhan kredit yang lebih dalam pada tahun ini masih ada. Akan tetapi, saat ini kami lebih fokus pada pemantauan kondisi kesehatan bank. Kami tidak mau terjebak dengan target-target yang justru bisa berubah sangat cepat dalam kondisi ini,” katanya.