Ketahanan Energi Fondasi Indonesia Maju
Ketersediaan energi adalah kewajiban untuk membangun negara yang maju. Tak cukup tersedia, negara yang kuat adalah yang mampu mewujudkan kemandirian energi dengan memanfaatkan potensi yang ada.
Pengantar Redaksi
Menyambut ulang tahun ke-100 RI pada 2045, harian Kompas yang akan berulang tahun ke-55 pada 28 Juni 2020 menyelenggarakan diskusi menuju Indonesia Emas. Laporan berikut adalah hasil diskusi ketiga pada pertengahan Maret lalu dengan topik ekonomi. Para panelis adalah Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia serta Ketua Dewan Pertimbangan Presiden 2010-2014 Emil Salim; Menteri Keuangan 2013-2014 M Chatib Basri; Menteri Komunikasi dan Informatika 2014-2019 Rudiantara; Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral 2016-2019 Ignasius Jonan; ekonom senior CORE Indonesia Hendri Saparini; serta Rektor IPB University Arif Satria. Laporan diskusi dirangkum Ninuk M Pambudy, M Fajar Marta, Mukhamad Kurniawan, Albertus Hendriyo Widi Ismanto, dan Aris Prasetyo, serta disajikan pada halaman 13 dan Kompas.id.
Mengutip data yang disampaikan PT Pertamina (Persero) menjelang Natal 2019 dan Tahun Baru 2020, stok bahan bakar minyak jenis premium dan kelompok pertamax cukup untuk kebutuhan selama 19 hari. Solar dan sejenisnya cukup untuk 16 hari, avtur 15 hari, dan elpiji 17 hari. Sudah cukup andalkah ketahanan energi Indonesia?
Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional mendefinisikan ketahanan energi sebagai suatu kondisi terjaminnya ketersediaan energi dan akses masyarakat terhadap energi pada harga yang terjangkau dalam jangka panjang dengan memperhatikan perlindungan terhadap lingkungan hidup. Semakin lama ketahanan energi suatu negara, maka akan semakin baik. Ketahanan energi yang andal membuat negara tersebut lebih tangguh menghadapi kondisi darurat, seperti bencana alam atau perang.
Ketahanan energi sebagai suatu kondisi terjaminnya ketersediaan energi dan akses masyarakat terhadap energi pada harga yang terjangkau dalam jangka panjang.
Tak ada persyaratan apakah ketahanan energi itu harus dipenuhi secara mandiri (swadaya) atau bergantung pada negara lain lewat impor. Singapura, misalnya, yang luasnya setengah Pulau Batam, memiliki ketahanan energi (kecukupan stok bahan bakar minyak) selama 90 hari. Dengan mengabaikan penduduknya yang jauh lebih sedikit daripada Indonesia, kita mengetahui negara itu tak mempunyai sumber daya minyak mentah (termasuk gas bumi) atau sepenuhnya bergantung pada impor.
Di Indonesia, sebagian kebutuhan energi sudah mampu dipenuhi di dalam negeri secara penuh kendati ada masalah dalam hal pemerataan atau distribusinya. Sebagai contoh energi listrik. Kapasitas daya terpasang hingga 2019 sebesar 69.100 megawatt (MW) dan seluruhnya dihasilkan di dalam negeri tanpa harus impor. Hanya saja, rasio elektrifikasi di Indonesia belum 100 persen.
Rasio elektrifikasi adalah perbandingan rumah tangga berlistrik terhadap jumlah rumah tangga secara keseluruhan dalam suatu wilayah. Sampai 2019, rasio elektrifikasi di Indonesia sebesar 98,89 persen. Artinya, masih ada 1,11 persen rumah tangga yang belum teraliri listrik. Tahun ini pemerintah menargetkan rasio elektrifikasi 100 persen.
Adapun untuk jenis BBM, dari 1,5 juta barel yang dikonsumsi setiap hari secara nasional, sekitar 800.000 barel dipenuhi lewat impor. Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan BBM secara mandiri lantaran produksi minyak mentah di dalam negeri jauh di bawah kebutuhan nasional. Tahun 2019, produksi minyak nasional sebanyak 745.000 barel per hari dan sejak 2004 Indonesia sudah berstatus negara pengimpor bersih (net importer) minyak. Situasi ini berkontribusi terhadap defisit neraca perdagangan migas Indonesia.
Ketahanan energi semakin sempurna apabila kemandirian di bidang tersebut bisa diwujudkan. Kemandirian energi adalah terjaminnya ketersediaan energi dengan memanfaatkan semaksimal mungkin potensi yang ada di dalam negeri. Kemandirian energi bisa membebaskan ketergantungan pada negara lain.
Konsumsi energi
Semakin maju suatu bangsa, konsumsi energinya semakin tinggi. Konsumsi energi yang tinggi menunjukkan besarnya aktivitas produksi. Bisa dikatakan konsumsi energi selaras dengan pertumbuhan ekonomi di suatu negara. Oleh karena itu, angka elastisitas energi yang kurang dari 1 menunjukkan dampak pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi sebagai akibat dari konsumsi energi. Elastisitas energi adalah perbandingan laju pertumbuhan kebutuhan energi terhadap laju pertumbuhan ekonomi.
Sayangnya, di kawasan ASEAN, konsumsi energi Indonesia, khususnya listrik, masih tertinggal dibandingkan negara tetangga. Per 2018, konsumsi listrik di Indonesia sebesar 1.064 kilowatt jam (kWh) per kapita. Di Malaysia mencapai 4.400 kWh per kapita, Thailand 2.300 kWh per kapita, Vietnam 1.300 kWh per kapita, sedangkan Singapura sudah sebesar 8.100 kWh per kapita. Indonesia hanya sedikit unggul dari Filipina yang sebesar 700 kWh per kapita.
Lalu bagaimana agar konsumsi listrik tinggi? Membicarakan ini ibarat memperdebatkan telur dan ayam. Mana yang harus disediakan terlebih dahulu? Menambah daya terpasang untuk merangsang industri, mulai dari skala kecil hingga besar, atau menunggu permintaan daya listrik datang? Masuknya sebuah investasi ke suatu negara, salah satu pertimbangannya adalah kecukupan daya pasok listrik di suatu wilayah. Investor takkan melirik wilayah yang pasokan defisit listrik.
Konsumsi energi Indonesia, khususnya listrik, masih tertinggal dibanding negara tetangga.
Urusan listrik bukan penentu tunggal kesuksesan masuknya investasi di Indonesia. Ada faktor penunjang lainnya, seperti ketersediaan infrastruktur berupa jalan raya, pelabuhan, atau bandar udara. Faktor kunci lainnya ialah kemudahan perizinan dan birokrasi. Perizinan yang berlapis dan tumpang tindih, serta birokrasi yang rumit juga menjadi penghalang masuknya investasi.
Pada Mei 2015, Presiden Joko Widodo meluncurkan program pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW. Saat program diluncurkan, pemerintah berasumsi pertumbuhan ekonomi sedikitnya 6-7 persen dan program diharapkan bisa tuntas pada 2019. Program tersendat akibat perlambatan ekonomi global. Wabah Covid-19 di Indonesia kian memperlambat penyelesaian program 35.000 MW tersebut. Hingga 2019, yang sudah beroperasi komersial dari 35.000 MW hanya 5.071 MW.
Masa depan
Kembali ke awal tulisan ini. Bagaimana mewujudkan kemandirian energi di Indonesia agar ketahanan energi kian andal? International Energy Agency (IEA) melalui publikasinya memaparkan bahwa dalam 20 tahun ke depan, kawasan Asia Tenggara akan memimpin laju permintaan energi yang meningkat dua kali lipat dibanding rata-rata permintaan global. Peningkatan itu seiring dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi di kawasan.
Sejak tahun 2000, permintaan energi di Asia Tenggara meningkat hingga 80 persen. Peningkatan itu didominasi oleh bahan bakar fosil atau tak terbarukan, yaitu minyak, gas bumi, dan batubara. Minyak tetap paling dominan, sedangkan batubara adalah jenis yang tumbuh paling cepat lantaran pesatnya pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Dalam publikasinya, IEA sekaligus memberi peringatan bahwa seiring meningkatnya permintaan energi di Asia Tenggara yang melampaui kemampuan produksi mereka, negara-negara di kawasan ini berada di jalur yang disebut sebagai kelompok net importer minyak (dan gas). Dampak buruknya adalah kian membengkaknya defisit neraca perdagangan mereka yang diramalkan bakal mencapai 300 miliar dollar AS di tahun 2040 dengan model pengaturan kebijakan energi yang ada sekarang ini (business as usual/BAU).
Selain persoalan defisit neraca perdagangan, ketergantungan pada energi fosil juga membawa dampak serius. Jumlah kematian yang disebabkan polusi udara akan meningkat menjadi 650.000 jiwa pada 2040 atau meningkat pesat dari 450.000 jiwa di 2018. Konsumsi energi fosil sekaligus akan mendorong kenaikan emisi gas karbon mencapai 2,4 miliar ton di 2040 atau meningkat hampir tiga kali lipat dari sekarang.
Apa jalan keluarnya? Memanfaatkan potensi sumber energi terbarukan. Sumber energi terbarukan, seperti tenaga air, angin, surya, ataupun panas bumi, adalah sumber energi yang tak terpengaruh oleh fluktuasi pasar energi global, lebih tahan terhadap peristiwa geopolitik, termasuk wabah virus yang tak terduga.
Indonesia disebut-sebut ”Timur Tengah”-nya sumber energi terbarukan. Segala macam ada. Bahkan, Indonesia berstatus tambahan sebagai produsen biodiesel, yang berbahan baku minyak kelapa sawit, terbesar di dunia. Biodiesel telah dimanfaatkan sebagai bahan campuran solar (energi fosil) untuk dijadikan biosolar.
Merujuk pada data Kementerian ESDM 2019, potensi dan sumber daya energi terbarukan di Indonesia secara keseluruhan mencapai 439.000 MW. Ironisnya, pemanfaatannya hanya 10.100 MW atau sekitar 2,3 persen. Sebagai contoh, potensi tenaga air sebesar 75.000 MW, tetapi pemanfaatannya baru 5.890 MW. Adapun tenaga panas bumi sebesar 25.400 MW, sementara yang termanfaatkan baru 2.130 MW.
Buku berjudul Pertamina Energy Outlook 2050 yang diterbitkan Pertamina Energy Institute pada 2019 mencatat konsumsi energi primer Indonesia pada 2018 sebesar 1,3 miliar barel setara minyak (BBOE). Pada 2050, konsumsi energi primer Indonesia, dengan skenario BAU, diperkirakan melonjak menjadi 5 BBOE atau hampir empat kali lipat. Hanya saja, energi fosil masih amat dominan, yakni sebesar 80 persen, sementara energi terbarukan 20 persen.
Dengan mempertimbangkan peringatan yang disampaikan IEA itu, ancaman defisit neraca perdagangan akan senantiasa membayangi Indonesia apabila ketergantungan pada energi fosil terus tinggi. Indonesia harus perlahan-lahan berpindah mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan bergerak maju dengan mengembangkan energi terbarukan. Transisi energi harus dipersiapkan secara tepat dan matang.
Menuju 2045 tak bisa dibilang lama, tinggal 25 tahun lagi. Mengandalkan penemuan baru energi fosil, seperti minyak mentah maupun gas bumi, tak bisa sepenuhnya dilakukan meski bukan berarti usaha mendapat cadangan baru diabaikan. Faktanya, produksi minyak Indonesia kian berkurang dari tahun ke tahun dan cadangan minyak tersisa 3 miliar barel atau hanya cukup untuk diproduksikan sepuluh tahun lagi apabila tak ditemukan sumber cadangan baru.
Indonesia harus perlahan-lahan berpindah mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan bergerak maju dengan mengembangkan energi terbarukan.
Energi terbarukan tak boleh di-”anaktirikan”. Hentikan perdebatan bahwa biaya pengembangan energi terbarukan mahal. Boleh jadi saat ini mahal, tetapi kian pesatnya teknologi bisa menghasilkan sesuatu yang jauh lebih efisien pada masa mendatang. Penyebabnya, energi fosil suatu saat nanti akan habis lantaran tak bisa diperbarui.
Pemerintah harus menyusun skenario yang agresif bagi pengembangan energi terbarukan. Kebijakan yang berpihak harus mampu memberikan insentif terhadap pengembangan itu sendiri. Apalagi, dalam Kebijakan Energi Nasional ada amanat untuk menaikkan peran energi terbarukan sedikitnya 23 persen dalam bauran energi nasional di 2025 dan sedikitnya 31 persen pada 2050. Kenaikan itu sejalan dengan pengurangan porsi batubara dan minyak bumi.
Semua ini kembali pada niat politik dan kepemimpinan yang kuat (leadership). Visi negara maju tanpa memperkuat fondasi ketahanan energi hanya akan menjadi ilusi. Besarnya potensi sumber daya Indonesia juga harus bisa dijadikan modal menuju kemandirian energi.