Dana Terbatas, Jiwasraya Mulai Cicil Utang Klaim Rp 470 Miliar
Jiwasraya mulai membayarkan klaim tahap awal senilai Rp 470 miliar kepada 15.000 pemegang polis. Sementara, PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia telah ditetapkan sebagai perusahaan induk asuransi dan penjaminan.
Oleh
Agnes Theodora/hendriyo widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Satu tahun sejak mengumumkan gagal bayar, PT Asuransi Jiwasraya (Persero) mulai membayarkan utang klaim tahap awal senilai Rp 470 miliar kepada 15.000 pemegang polis tradisional. Di tengah sumber dana yang masih terbatas, Jiwasraya mengandalkan sumber dana dari pengelolaan segelintir aset finansial yang masih likuid.
Direktur Utama Jiwasraya Hexana Tri Sasongko, Selasa (31/3/2020), mengatakan, pembayaran klaim didahulukan kepada pemegang polis tradisional yang sudah jatuh tempo dan terverifikasi. ”Untuk tahap awal ini, karena terbatasnya dana, pembayaran dilakukan kepada pemegang polis tradisional yang nilai klaimnya relatif lebih kecil,” kata Hexana melalui telekonferensi di Jakarta.
Ia menjelaskan, uang untuk mencicil utang klaim itu bersumber dari pengelolaan aset finansial dengan metode repo (repurchase agreement). Meski sebagian besar aset Jiwasraya sudah tidak likuid, masih ada segelintir aset yang likuid dan bisa dijadikan sumber dana.
”Waktu itu saya memilih likuidasi dengan metode repo. Karena ada pemulihan pasar (market recovery), repo-nya lunas, kami dapat haircut-nya (selisih antara harga efek di pasar dan harga pembelian). Dari situ, kami masih memiliki sisa, yang sekarang kami pakai Rp 470 miliar untuk (membayar klaim tahap pertama) ini,” kata Hexana.
Meski sebagian besar aset Jiwasraya sudah tidak likuid, masih ada segelintir aset yang likuid dan bisa dijadikan sumber dana.
Adapun sumber dana Jiwasraya lainnya datang dari aksi korporasi, misalnya penjualan aset properti, seperti pusat perbelanjaan Cilandak Town Square (Citos). Hexana menjelaskan, Citos akan dibeli oleh sesama perusahaan BUMN, tetapi ia belum bersedia membuka perusahaan yang dimaksud.
Dari proses penjualan Citos itu, Jiwasraya menerima Rp 1,4 triliun sebagai uang muka yang diterima sejak 2018. Namun, uang muka itu tidak dipakai untuk membayar klaim tahap pertama ini karena masih berproses.
”Banyak sekali proses yang masih harus dilalui, ada hal-hal tata kelola, aspek legalitas, yang masih harus dilalui,” kata Hexana.
Sebelumnya, Jiwasraya berkomitmen akan mengupayakan kewajiban pembayaran klaim pada pemegang polis produk Saving Plan senilai total Rp 16 triliun mulai akhir Maret 2020.
Selain penjualan aset properti, aksi korporasi lain untuk memulihkan aset dan mencari sumber dana pengembalian klaim dilakukan dengan membentuk anak usaha Jiwasraya Putra. Hexana menjelaskan, pembentukan Jiwasraya Putra sudah berjalan. Bahkan, menurut dia, sudah ada nama pemenang tender yang akan menjadi investor saham anak perusahaan Jiwasraya itu.
Namun, ia belum bersedia membuka pihak pemenang tender. ”Sudah ada pemenangnya, tetapi kami masih memfinalisasi kesepakatan CSPA (conditional sales and purchase agreement), jadi belum bisa disampaikan karena masih ada tahap negosiasi lagi. Nanti akan diumumkan, semoga dalam 2-3 bulan ini,” ujarnya.
Langkah-langkah itu termasuk dalam skema penyelamatan Jiwasraya yang disiapkan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pada medio Maret, Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo mengatakan, ada beberapa sumber dana untuk menuntaskan utang klaim Jiwasraya kepada para nasabahnya.
Selain likuidasi aset-aset, seperti obligasi, proses penjualan properti juga dilakukan, tidak hanya untuk Citos, tetapi juga aset properti lainnya. ”Kita masih punya aset obligasi di reksa dana, sumbernya ada beberapa, aset penjualan properti juga ada beragam,” katanya.
Menurut Kartika, saat itu, langkah penyelamatan Jiwasraya dan pembayaran klaim akan dikomunikasikan lagi dengan panitia kerja Jiwasraya di Dewan Perwakilan Rakyat. Namun, Hexana mengatakan, pembayaran adalah urusan korporasi sehingga tidak perlu dikonsultasikan terlebih dahulu dengan panja di DPR.
”Itu urusan korporasi, dan setiap pembayaran kami juga diverifikasi auditor independen. Jadi, dengan DPR nanti, mungkin bukan masalah pembayaran klaim, melainkan untuk isu sumber uangnya, dan itu di luar domain korporasi,” katanya.
Perusahaan induk asuransi
Di tengah kondisi ekonomi yang makin tak menentu akibat Covid-19, pemeritah menunjuk PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (Persero) atau BPUI sebagai perusahaan induk (holding) perasuransian dan penjaminan. Tujuannya adalah untuk memperkuat dan menumbuhkan industri jasa asuransi dan penjaminan di Tanah Air.
Perusahaan induk itu beranggotakan PT Asuransi Jasa Raharja, PT Asuransi Jasa Indonesia, PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo), dan PT Jaminan Kredit Indonesia (Jamkrindo), serta anak-anak usaha perusahaan-perusahaan milik negara itu.
Holding yang telah direncanakan sejak 2018 itu telah melewati berbagai kajian dan mendapat kekuatan hukum tetap melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2020 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara ke dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan. PP ini telah ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 16 Maret 2020.
Selain itu, telah diterbitkan juga Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 146/KMK.06/2020 tentang Penetapan Nilai Penambahan Penyertaan Modal Negara ke dalam Modal Saham BPUI. KMK itu ditandatangani Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 26 Maret 2020.
”Seluruh penyertaan modal negara berupa saham yang ada di masing-masing anak usaha holding asuransi dan penjaminan akan dialihkan ke perusahaan induk yang nilai totalnya Rp 60 triliun,” kata Direktur Utama BPUI Robertus Billitea.