Kemorosotan harga minyak mentah kali ini bukanlah yang pertama bagi Indonesia. Sayangnya, momentum seperti ini belum bisa membebaskan Indonesia dari jebakan subsidi energi agar tepat sasaran.
Oleh
ARIS PRASETYO
·4 menit baca
Tak ada yang mengira dampak wabah Covid-19 bakal seperti ini. Mulanya, perang dagang yang dikobarkan China dan Amerika Serikat diprediksi melemahkan pasar energi global. Kemudian ada ketegangan di Timur Tengah. Ternyata, pukulan paling telak justru datang dari sesuatu yang tak kasatmata: virus korona jenis baru.
Merebaknya wabah virus dari Wuhan, China, tersebut, secara masif merontokkan rantai pasok energi di seluruh dunia. Sebagian produksi di China terhenti yang berakibat merosotnya permintaan energi dari negara dengan populasi terbanyak di dunia tersebut. Harga minyak mentah terperosok hingga ke level 20-an dollar AS per barel.
Awalnya, negara pengekspor minyak yang tergabung dalam OPEC, dengan dipimpin Arab Saudi, berniat mengurangi produksi untuk mencegah keterpurukan harga lebih dalam. OPEC bernegosiasi dengan negara mitra strategis mereka, yakni Rusia. Sayangnya, Rusia enggan bersekutu memotong produksi minyaknya.
Keputusan Rusia justru mengobarkan niat Arab Saudi untuk membanjiri pasar dengan minyak yang harganya didiskon. Sampai akhirnya, harga minyak jenis Brent jatuh hingga ke level 22 dollar AS per barel beberapa waktu lalu. Bandingkan dengan harga di awal tahun yang ada di level 65 dollar AS per barel. Siapa yang diuntungkan?
Sebagai negara pengimpor bersih (net importer) minyak sejak 2004, seharusnya Indonesia dapat mengambil manfaat dengan kejatuhan harga minyak ini. Harga yang murah menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk membeli minyak atau bahan bakar minyak sebanyak-banyaknya. Sayangnya, di saat yang sama, rupiah terdepresiasi hingga ke level Rp 16.600 per dollar AS.
Sebagai negara pengimpor bersih (net importer) minyak sejak 2004, seharusnya Indonesia dapat mengambil manfaat dengan kejatuhan harga minyak ini.
Salah satu manfaat yang didapat adalah penurunan harga BBM nonsubsidi. Tercatat sebanyak dua kali PT Pertamina (Persero) menurunkan harga jual BBM jenis pertamax (gasoline) dan pertadex (gasoil). Per 5 Januari, harga pertamax turun dari Rp 9.850 per liter menjadi Rp 9.200 per liter. Harga kembali turun menjadi Rp 9.000 per liter sejak 1 Februari lalu.
Logikanya, dengan harga minyak mentah sekarang di kisaran 25 dollar AS per barel, harga BBM tersebut di atas bisa lebih murah lagi. Saat menurunkan harga pertamax menjadi Rp 9.000 per liter pada 1 Februari lalu, harga minyak mentah kala itu sekitar 55 dollar AS per barel.
Namun, sekali lagi, perhitungan harga jual BBM turut memasukkan faktor nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Di awal Februari, posisi rupiah sekitar Rp 13.700 per dollar AS.
Sebenarnya ini bukan peristiwa pertama. Pada 2016, saat harga minyak di bawah 30 dollar AS per barel, pemerintah menurunkan harga jual premium sebanyak dua kali dari Rp 7.300 per liter pada 28 Maret 2015 menjadi Rp 6.950 per liter di 5 Januari 2016. Harga kembali turun menjadi Rp 6.450 per liter mulai 1 April 2016 dan tak berubah hingga kini.
Saat itu pula dibuat acuan naik turun harga jual BBM di Indonesia dengan penyesuaian terhadap harga minyak dunia yang sangat dinamis. Dibuatlah aturan evaluasi harga BBM (premium dan solar bersubsidi) setiap tiga bulan dengan pembatasan harga di level atas dan bawah. Saat harga minyak mentah murah (sekali), ada batas bawah harga jual BBM. Begitu pula sebaliknya.
Tujuan lainnya, yang sangat masuk akal dan waras, adalah mengedukasi publik bahwa sebenarnya harga BBM Indonesia bisa naik turun alias tak stabil seterusnya. Bagaimana caranya harga BBM dijual murah sedangkan untuk membelinya harus sesuai harga pasar? Apa masuk akal menetapkan harga BBM stabil selamanya di saat harga minyak mentah naik turun penuh ketidakpastian?
Di masa lalu, dana Rp 200 triliun dikucurkan untuk memberi subsidi pada BBM dan elpiji setiap tahunnya. Dengan kebijakan harga BBM yang logis dan waras, tak perlu anggaran subsidi sebanyak itu. Dana tersebut bisa dipakai untuk memperkuat infrastruktur atau pengembangan sumber daya manusia.
Sudah saatnya subsidi energi diberikan langsung pada penerima secara tepat sasaran. Sudah saatnya pula publik dipahamkan tentang harga jual BBM yang dapat diterima akal sehat. Sudah bukan saatnya keputusan harga jual BBM dijadikan topeng politik untuk popularitas jabatan yang hanya sementara.