Setelah Dikenai PHK, Kemudian Dilatih, Lalu Bagaimana?
Pemerintah perlu memikirkan cara lain untuk bisa memberikan jaring pengaman sosial bagi pekerja. Salah satunya melalui program asuransi pengangguran bagi para pekerja untuk mencegah mereka jatuh semakin miskin.
Sudah bergaung sejak Pemilihan Umum 2019, program kartu prakerja yang dijanjikan Presiden Joko Widodo akhirnya meluncur di tengah wabah pandemi Covid-19. Pelatihan untuk meningkatkan kompetensi tenaga kerja itu diharapkan bisa mengatasi ekses meningkatnya pengangguran akibat ekonomi yang lesu.
Namun, di tengah krisis pandemi, efektivitas program itu dipertanyakan. Sebab, tidak ada jaminan bahwa tenaga kerja peserta program kartu tersebut akan dipekerjakan perusahaan yang saat ini juga sedang meradang. Lantas, setelah dilatih, bagaimana nasib para pencari kerja?
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Johnny Darmawan, pekan lalu, di Jakarta, mengatakan, di tengah pandemi, sulit bagi perusahaan menyerap tenaga kerja baru. Saat ini, perusahaan umumnya sedang pusing mencari cara untuk tetap membayar biaya operasional dan menggaji karyawan di tengah produksi yang menurun drastis.
Logika kartu prakerja untuk meningkatkan kompetensi pekerja agar lebih mudah mencari pekerjaan baru, kurang tepat. Sebab, di tengah krisis, perusahaan tidak berpikir untuk mempekerjakan karyawan baru lagi.
”Kelihatannya untuk perusahaaan besar tidak mungkin (mempekerjakan orang baru) karena kita justru sekarang sudah kelebihan pekerja dan kondisi arus kas (cashflow) juga macet,” katanya.
Kelihatannya untuk perusahaaan besar tidak mungkin (mempekerjakan orang baru) karena kita justru sekarang sudah kelebihan pekerja dan kondisi arus kas juga macet.
Dalam kondisi normal, tidak ada yang salah dengan program kartu prakerja dan cita-cita mulia untuk meningkatkan kualitas angkatan kerja. Namun, kartu prakerja tidak akan efektif dalam kondisi darurat (force majeur) seperti saat pandemi Covid-19 mewabah.
Hal yang bisa diupayakan perusahaan, ujar Johnny, adalah menghindari terjadinya pemutasan hubungan kerja (PHK) sesuai instruksi Presiden Joko Widodo. ”Kami sudah mengimbau perusahaan agar tetap mempertahankan para pekerja, jangan ada PHK, bayar penuh gaji 1-2 bulan ini, setelah itu kita asumsikan produksi naik lagi kalau wabah sudah berakhir, kita kejar lagi. Tetapi, kalau untuk menyerap tenaga kerja baru, tidak bisa,” ujarnya.
Pemerintah meluncurkan kartu prakerja pada Jumat (20/3/2020) lalu atau 10 hari lebih cepat dari target awal. Alasan program itu dipercepat adalah untuk menyikapi kondisi ekonomi yang terpukul Covid-19 dan mengantisipasi angka pengangguran yang bisa bertambah. Pemerintah menganggarkan Rp 10 triliun untuk 2 juta peserta program kartu prakerja. Setiap pekan ada alokasi pendaftaran dengan kuota tertentu.
Kartu ini ditujukan untuk calon pekerja yang mencari kerja, korban PHK, dan pekerja yang butuh meningkatkan atau memperluas kompetensi. Untuk tahap awal, pemerintah mengadakan program ini di Kepulauan Riau, Bali, Sulawesi Utara, dan Surabaya, Jawa Timur.
Peserta program mengikuti pelatihan yang dibiayai pemerintah sesuai pilihan dengan dana pelatihan senilai Rp 3 juta- Rp 7 juta. Mereka juga mendapat insentif uang saku sebesar Rp 650.000 yang diberikan satu kali secara bertahap untuk mengganti biaya transportasi selama pelatihan.
Di tengah kondisi daruat Covid-19 ini, setiap orang yang mendapatkan kartu prakerja akan mendapatkan uang saku Rp 1 juta per bulan selama 3 bulan pelatihan. Apabila pandemi ini sudah normal, uang saku yang diberikan akan kembali seperti semula, yaitu Rp 650.000 per bulan.
Baca juga: Insentif Korban PHK Akan Ditingkatkan melalui Kartu Prakerja
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko sendiri mengatakan, program kartu prakerja tidak menjamin para pekerja mendapatkan pekerjaan baru. Program itu juga bukan untuk memberi pemasukan atau gaji bagi para pekerja yang kehilangan pekerjaan.
”Saya tegaskan, program ini bukan menggaji pengangguran, tetapi bantuan biaya pelatihan,” katanya (Kompas, 20/3/2020).
Program itu juga bukan untuk memberi pemasukan atau gaji bagi para pekerja yang kehilangan pekerjaan. Program ini bukan menggaji pengangguran, tetapi bantuan biaya pelatihan.
Berwirausaha
Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Pariwisata Reformasi Sofyan Abdul Latief mempertanyakan fungsi program kartu itu untuk membantu para pekerja sektor pariwisata yang saat ini paling terdampak Covid-19. Di beberapa daerah, pekerja pariwisata yang mayoritas dikontrak dan dibayar harian sudah dirumahkan tanpa digaji, ada pula yang sudah dikenai PHK.
”Dalam suasana seperti ini, kartu prakerja untuk apa? Apakah ada jaminan industri bisa menyerap tenaga kerja? Lantas, setelah dilatih, lalu bagaimana? Apakah ada perusahaan yang sekarang ini mau merekrut orang baru?” kritik Sofyan.
Kelas-kelas pelatihan juga akan bertentangan dengan imbauan menjaga jarak atau social distancing untuk menekan laju penularan virus korona baru. Pelatihan bisa jadi tidak akan berlangsung efektif. ”Kalau pelatihannya mau dibuat secara daring pun, tidak semua punya akses berinternet,” katanya.
Ia mengakui, situasi saat ini memang tidak mudah. Namun, seharusnya pemerintah memetakan dan mengadakan studi kelayakan terlebih dahulu untuk menganalisis apa yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat. ”Sehingga kebijakan dan anggarannya betul-betul tepat sasaran, dan program ini tidak hanya proyek yang asal jalan dan tidak signifikan membantu masyarakat di tengah wabah,” ujar Sofyan.
Namun, nasi sudah menjadi bubur. Kartu prakerja telanjur diluncurkan, kerja sama dengan platform digital sudah diteken, dan anggaran telanjur dikucurkan. Oleh karena itu, menurut dia, pemerintah perlu memaksimalkan program tersebut agar tetap relevan di tengah pandemi. Salah satu contohnya mengarahkan program pelatihan untuk kemampuan berwirausaha.
”Misalnya, sekarang ini, yang permintaannya paling tinggi itu berjualan buah-buahan, sayuran, dan rempah-rempah. Ajarkan saja pencari kerja untuk berdagang komoditas-komoditas itu, atau ajarkan mereka cara bertani kecil-kecilan. Dalam 2-3 bulan, jika rajin, kemungkinan mereka sudah bisa panen dan menjual hasil panennya,” ujar Sofyan.
Koordinator Kartu Prakerja dari Kementerian Tenaga Kerja Mukhtar Aziz mengakui kompleksitas kondisi saat ini belum tentu bisa terjawab dengan kartu prakerja. Oleh karena itu, hal pertama yang harus diupayakan adalah tidak ada industri yang mem-PHK karyawan. Namun, jika PHK terpaksa dilakukan karena kondisi perusahaan yang terpukul parah, kartu prakerja bisa jadi jaring pengaman.
Program pelatihan di kartu prakerja akan disesuaikan supaya relevan dengan kebutuhan permintaan pasar saat ini. Oleh karena itu, Mukhtar mengatakan, pelatihan akan lebih difokuskan pada keterampilan berwirausaha. ”Karena kalau kita lihat kondisi ekonomi kita yang mengalami perlambatan luar biasa, saya kira di industri juga tantangannya sangat besar, jadi kita arahkan mereka berwirausaha saja,” katanya.
Baca juga: Perusahaan Mulai ”Sekarat” di Tengah Pandemi
Ia mengatakan, skema program kartu prakerja saat ini masih dimatangkan. Namun, ada rencana untuk menyinergikan proyek-proyek tersebut dengan program-program lain dari pemerintah daerah. Misalnya, program bantuan usaha atau kredit usaha rakyat (KUR) untuk memudahkan tenaga kerja merintis unit usaha mikro dan kecil.
”Karena tetap saja, tujuan utama pemerintah adalah meningkatkan daya beli pekerja. Bagaimana caranya, kami memang tidak memberi bantuan tunai langsung, tetapi harus kreatif mencari program yang bisa menjaga daya beli masyarakat di tengah wabah seperti ini,” kata Mukhtar.
Subsidi pekerja
Pemerintah daerah mengambil pendekatan sendiri untuk perlindungan sosial masyarakat yang berpotensi kehilangan penghasilan. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, misalnya, mendata angka pekerja informal yang terdampak serta menyiapkan subsidi untuk para pekerja yang menggantungkan nasib dari pemasukan harian itu.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan lewat Seruan Gubernur Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penghentian Sementara Kegiatan Perkantoran dalam Rangka Mencegah Penyebaran Wabah COvid-19 mengeluarkan imbauan agar seluruh perusahaan di Jakarta menghentikan seluruh kegiatan perkantoran, menutup fasilitas operasional, dan melakukan kegiatan berusaha dari rumah.
Perusahaan yang tidak dapat menghentikan total kegiatan perkantorannya diminta mengurangi kegiatan tersebut sampai batas minimal dan mendorong sebanyak mungkin karyawan bekerja dari rumah. Seruan itu berlaku dari 20 Maret 2020 sampai 5 April 2020.
Sebagai dampak dari kebijakan itu, Pemprov DKI Jakarta saat ini mendata para penerima bantuan subsidi di Jakarta yang mencapai 1,1 juta orang. Mereka akan diberikan bantuan secara bertahap. Rumusan besaran serta metode pemberian subsidi sedang dikaji.
Baca juga: Data Pekerja Informal Sulit Dihimpun
Ekonom Indef Bhima Yudhistira mengatakan, di tengah kondisi krisis pandemi, pemerintah harus memodifikasi programnya agar lebih tepat sasaran menjawab kebutuhan utama masyarakat. Pemerintah perlu memikirkan cara lain untuk bisa memberi jaring pengaman sosial bagi pekerja.
Pemerintah bisa mentransfer uang secara langsung bagi pekerja yang rentan terkena PHK atau yang upahnya berada di bawah upah minimum regional. Cara lain, membuat program asuransi pengangguran untuk mencegah mereka jatuh di bawah garis kemiskinan.
Contohnya, pemerintah bisa mentransfer uang secara langsung bagi pekerja yang rentan terkena PHK atau yang upahnya berada di bawah upah minimum regional. Cara lain, membuat program asuransi pengangguran atau jaring pengaman sosial bagi para pencari kerja untuk mencegah mereka jatuh di bawah garis kemiskinan.
”Di luar negeri, misalnya, ada program universal basic income atau asuransi pengangguran. Yang dibutuhkan pencari kerja sekarang itu bukan pelatihan karena setelah dikenai PHK, mereka perlu mencukupi kebutuhan hidup. Apalagi, kondisi wabah seperti ini, kebutuhan hidup bertambah untuk urusan kesehatan,” katanya.