Hari-hari ini, sebagian buruh mulai menganggur karena mendapat pemutusan hubungan kerja, sisanya diliputi ketidakpastian. Adapun para pekerja informal kelimpungan karena permintaan lesu seiring pembatasan sosial.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·3 menit baca
Pandemi Covid-19 makin menekan ekonomi melalui banyak saluran. Selain perjalanan bisnis dan wisata, penyakit yang dipicu oleh virus SARS-CoV-2 dan muncul pertama di Wuhan, China, Desember 2019, ini menekan permintaan domestik, menghambat lalu lintas perdagangan, dan membuat aktivitas produksi di hulu lesu.
Seberapa besar dampaknya terhadap perekonomian akan sangat bergantung pada bagaimana wabah berkembang dan penanganannya. Namun, sampai kini situasinya masih diliputi ketidakpastian. Jumlah korban terus bertambah, sampai Senin (23/3/2020) pukul 17.00 WIB, 579 orang di Indonesia dinyatakan positif Covid-19 dan 49 orang meninggal dunia. Sementara secara global, Covid-19 telah menjangkau 192 negara, 343.394 kasus, dan korban meninggal 14.770 orang.
Bank Pembangunan Asia (ADB) memperkirakan dampak global wabah ini mencapai 77-347 miliar dollar AS atau 0,1-0,4 persen produk domestik (PDB) global. Estimasi moderatnya 156 miliar dollar AS atau 0,2 persen PDB global dengan dua per tiga dampak menimpa China sebagai episentrum meski kini bergeser ke Eropa dan Amerika.
China merupakan ekonomi terbesar kedua di dunia dan menyumbang sepertiga pertumbuhan global. China juga pasar ekspor utama bagi banyak negara Asia, termasuk Indonesia, sehingga penurunan permintaan barang dan jasa dari China kemungkinan dirasakan secara luas di banyak negara.
David Wallace-Wells dalam The Uninhabitable Earth mengutip riset Zhang Zhengtao dan kawan-kawan memberi gambaran soal dampak pemanasan global terhadap perekonomian dalam dunia yang saling terhubung. Riset itu menyebutkan, kenaikan satu derajat celsius yang menurunkan 0,88 persen PDB Amerika Serikat, bakal berdampak pada penurunan 0,12 persen PDB global.
Kerugian di satu negara merembet ke penjuru dunia dengan efek berbeda-beda. Situasi ini diistilahkan dengan efek riak ekonomi (economic ripple effect).
Gelombang kejut datang dari hampir semua negara, seperti sinyal radio yang dipancarkan oleh banyak antena, masing-masing menyampaikan kesengsaraan ekonomi. Efek riak akan berlipat lebih besar jika suhu naik lebih tinggi.
Ilustrasi itu kiranya pas menggambarkan dampak Covid-19 terhadap perekonomian dunia. Kerugian akan merembet ke banyak negara dengan efek berbeda. Situasinya kini penuh tantangan dan kita tidak tahu kapan pandemi ini akan berakhir.
Laporan Risiko Global 2020 oleh Forum Ekonomi Dunia menyebutkan, sistem kesehatan di seluruh dunia masih kurang siap untuk menghadapi ledakan wabah penyakit menular, seperti SARS, zika, dan MERS.
Penilaian mengenai keamanan dan kemampuan kesehatan 195 negara menemukan kelemahan mendasar, yakni tak ada negara yang sepenuhnya siap menangani epidemi dan pandemi. Sementara kerentanan kolektif terhadap dampak sosial dan ekonomi akibat krisis penyakit menular cenderung meningkat.
Dalam situasi ini, masyarakat menengah bawah menjadi kelompok yang paling rentan terdampak. Hari-hari ini, sebagian buruh mulai menganggur karena mendapat pemutusan hubungan kerja (PHK), sisanya diliputi ketidakpastian. Adapun para pekerja informal mulai kelimpungan karena permintaan makin lesu seiring imbauan pemerintah untuk bekerja dari rumah dan menjaga jarak sosial.