Pelemahan nilai tukar rupiah makin membebani gerak industri di tengah lesunya perdagangan global. Indeks harga saham gabungan pun melemah lagi.
Oleh
C Anto Saptowalyono / Dimas Waraditya Nugraha / Aris Prasetyo
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Nilai tukar rupiah, berdasarkan kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, Selasa (17/3/2020), mencapai Rp 15.083 per dollar AS. Selain pasar ekspor yang makin lesu seiring meluasnya dampak Covid-19, industri makin terbebani oleh pelemahan rupiah.
"Bahan baku masih banyak yang harus diimpor, sementara tantangan ekspor makin besar seiring pandemi Covid-19," kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia, Adhi S Lukman, di Jakarta.
Menurut Adhi, stabilitas merupakan faktor yang diharapkan oleh para pelaku industri. "Tentu (perusahaan) yang besar berupaya hedging (melakukan lindung nilai), tetapi (perusahaan) yang kecil kesulitan," ujarnya.
Ketua Umum Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman, Yustinus Gunawan menyatakan, pelemahan nilai tukar rupiah berpotensi memacu ekspor. "Namun, permintaan dari luar negeri belum meningkat karena dunia sedang fokus memerangi Covid-19," katanya.
Situasi yang kini diharapkan para pelaku usaha adalah pulihnya perekonomian China seiring meredanya Covid-19 di Negeri Tirai Bambu itu. Situasi itu diharapkan menggerakkan perekonomian di negara mitra dan kawasan.
Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas), Fajar Budiyono, harga bahan baku industri plastik di pasaran internasional saat ini turun karena permintaan dari China turun. Harga minyak dunia pun turun. Namun, nilai tukar rupiah melemah dan dinilai sudah masuk ke level kritis. "Jangan sampai Rp 15.500 (per dollar AS)," ujarnya.
Pasar modal
Sentimen pandemi Covid-19 dianggap masih mengganggu persepsi investor untuk kembali masuk ke pasar modal domestik. Bila pandemi tak segera ditangani dengan baik, pelemahan bursa saham domestik dan nilai tukar rupiah diyakini bakal berlanjut.
Pada perdagangan Selasa, indeks harga saham gabungan (IHSG) kembali terkena pembekuan perdagangan sementara (trading halt) pukul 15.02 usai anjlok 5 persen. Saat perdagangan dibuka lagi 30 menit kemudian, IHSG tak bisa berbuat banyak hingga ditutup melemah 4,99 persen atau 233,9 poin ke level 4.456,74. Penutupan IHSG diiringi aksi jual saham investor asing Rp 1,01 triliun di seluruh pasar.
Analis Panin Sekuritas William Hartanto menilai, anjloknya IHSG pada perdagangan kemarin masih dipengaruhi oleh sentimen dampak Covid-19 terhadap perekonomian dunia. “Namun, ada angin segar bagi IHSG, yakni pembagian dividen serta rilis kinerja emiten triwulan I-2020,” ujarnya.
Selain menanti laporan kinerja emiten, pelaku pasar tengah menanti stimulus lanjutan yang diberikan pemerintah untuk mendorong perekonomian domestik. Investor cenderung menunggu untuk kembali masuk ke pasar modal dalam negeri.
Adapun sentimen global, keputusan Bank Sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (The Fed), memangkas suku bunga ke kisaran 0–0,25 persen gagal membendung pelemahan bursa saham AS yang pada penutupan perdagangan Senin waktu setempat terkoreksi hingga dua digit.
Indeks saham Dow Jones pada perdagangan awal pekan ini ditutup melemah 12,93 persen ke level 20.188,52. Hal serupa dialami indeks komposit Nasdaq yang merosot 12,32 persen ke level 6.904,59. “Ada kepanikan dari pelaku pasar yang melihat pemangkasan suku bunga (The Fed) hingga level terendah mengindikasikan akan terjadinya pelemahan ekonomi,” kata Wiliam.
Harga minyak
Pada perdagangan kemarin, harga minyak dunia masih melemah menyusul pasokan yang melimpah dan permintaan yang anjlok. Menurut Bloomberg, harga minyak mentah jenis Brent diperdagangkan 30,56 dollar AS per barel.
Menurut Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, pemerintah sebaiknya mengkaji ulang harga jual bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri. Penurunan harga minyak dunia sebaiknya diikuti penurunan harga jual BBM. Namun, penurunan itu perlu dihitung dengan cermat, sebab pada saat yang sama nilai tukar rupiah terhadap dollar AS melemah.
”Penentu utama harga jual BBM dalam negeri adalah harga minyak mentah dunia dan posisi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Saat ini, harga minyak dunia rendah dan bertepatan dengan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Oleh karena itu, perlu dihitung ulang secara cermat oleh pemerintah dan pilihan apa yang paling tepat untuk diambil,” kata Komaidi saat dihubungi, Selasa (17/3/2020), di Jakarta.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ego Syahrial mengatakan, berdasarkan aturan yang ada, harga jual BBM untuk jenis premium dan solar bersubsidi dapat dievaluasi setiap tiga bulan. Pemerintah belum sampai pada keputusan apakah akan menurunkan harga jual atau tidak. Pemerintah akan mencermati perkembangan lebih lanjut.