Pemerintah menargetkan produksi minyak mentah 1 juta barel per hari di 2030. Tanpa perbaikan regulasi, kemudahan perizinan, dan insentif, niat mewujudkan produksi 1 juta barel per hari bakal berat.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
Pemerintah, PT Pertamina (Persero), serta Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi bertekad mewujudkan produksi siap jual (lifting) minyak 1 juta barel per hari pada 2030. Angka tersebut masih di bawah perkiraan konsumsi bahan bakar minyak nasional yang pada 2026 sekitar 2 juta barel per hari. Target lifting minyak 1 juta barel terbilang ambisius di tengah kondisi lifting minyak yang terus merosot dalam beberapa tahun terakhir.
Pada 2014, lifting minyak mentah Indonesia 794.000 barel per hari. Pada 2015 turun menjadi 779.000 barel per hari, lalu naik menjadi 829.000 barel per hari tahun 2016. Sejak saat itu, lifting minyak mentah terus merosot menjadi 804.000 barel per hari (2017), 778.000 barel per hari (2018), dan 746.000 barel per hari (2019).
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral per 12 Maret 2020, produksi minyak mentah Indonesia 726.855 barel. Capaian itu di bawah target APBN 2020, yakni 755.000 barel per hari. Maka, apakah target 1 juta barel per hari pada 2030 cukup realistis?
cita-cita mulia tersebut sebaiknya dibarengi dengan perbaikan di segala sektor yang berpotensi sebagai penghalang atau yang kontraproduktif.
Pada 2012, ada Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2012 tentang Peningkatan Produksi Minyak Bumi Nasional. Presiden menginstruksikan pejabat di bawahnya, disebutkan 15 jabatan, mendorong pencapaian produksi minyak 1,01 juta barel per hari pada 2014. Target itu tak pernah tercapai.
Sebagian berpendapat, hulu migas Indonesia memasuki masa senja. Sebagian besar usia sumur minyak di Indonesia sudah puluhan tahun. Sumur-sumur itu, secara alamiah, berkurang produksinya dan telah melewati masa puncak produksi. Cadangan menipis lantaran setiap hari dikuras tanpa henti.
Di satu sisi, kegiatan pencarian sumber cadangan baru sangat terbatas. Potensi tak lagi ada di daratan, tetapi banyak tersebar di laut lepas dengan perairan dalam. Ongkos eksplorasi menjadi mahal dengan tingkat keberhasilan rendah. Beberapa tahun lalu, eksplorasi sejumlah perusahaan migas gagal menemukan sumber minyak baru setelah mengebor sekian banyak sumur dengan biaya belasan triliun rupiah.
Eksplorasi yang minim sejalan dengan urusan birokrasi kita yang rumit dan berbelit. Ilustrasi yang disampaikan salah satu pelaku usaha hulu migas di Indonesia, sejak penemuan cadangan migas hingga produksi, perlu waktu 10-15 tahun. Ada ratusan izin yang harus diurus di tingkat pemerintah pusat hingga daerah dengan berbagai instansi dan kementerian tanpa kejelasan waktu penyelesaiannya.
Cita-cita mewujudkan 1 juta barel per hari memang mulia. Namun, cita-cita mulia itu sebaiknya dibarengi dengan perbaikan di segala sektor yang berpotensi menjadi penghalang atau kontraproduktif. Faktor nonteknis pada bisnis hulu migas, ataupun jenis bisnis lainnya, kerap menguras energi dan membuang-buang waktu.
Sebenarnya, niat baik itu sudah dimulai dengan membereskan faktor-faktor non-teknis. Hingga tahun lalu, Kementerian ESDM memangkas sejumlah perizinan dan aturan yang tumpang tindih. Setidaknya, 186 perizinan dicabut atau dibatalkan, yang 56 izin di antaranya di sektor migas.
SKK Migas meluncurkan layanan one door service policy pada Januari 2020 untuk memangkas mata rantai perizinan hulu migas Indonesia. Dari 373 jenis izin akan diringkas menjadi 176 jenis izin. Perizinan yang perlu waktu 14 hari bakal dipangkas menjadi tiga hari saja.
Namun, saat ini bisnis hulu migas di dunia sedang terpukul kejatuhan harga minyak, sebagai dampak perang harga minyak. Beberapa waktu lalu harga minyak merosot ke level 30 dollar AS per barel. Diperkirakan, kejatuhan harga itu akan berdampak pada kelesuan bisnis hulu migas global.
Hal ini ada benarnya. Untuk apa repot-repot mencari sumber cadangan baru kalau harga jualnya jauh di bawah biaya produksi? Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia harus menyiapkan resep tambahan yang membuat investor hulu migas tak angkat kaki dari Indonesia. Tidak mudah, tetapi tak ada hal yang tak mungkin.