Penambahan hari libur nasional dan cuti bersama dinilai tidak signifikan mendongkrak konsumsi dan pertumbuhan ekonomi nasional. Indonesia justru tengah bergulat memacu produktivitas. Perbaikan daya beli jadi kunci.
Oleh
·3 menit baca
Pemerintah merevisi ketentuan tentang hari libur dan cuti bersama tahun 2020. Lewat Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Ketenagakerjaan, serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi itu, jumlah hari libur dan cuti bersama ditambah dari 20 hari menjadi 24 hari tahun ini.
Tambahan empat hari libur itu adalah 28 dan 29 Mei, 21 Agustus, dan 30 Oktober 2020. Dalam surat keputusan yang ditandatangani 9 Maret 2020 tersebut, penambahan hari libur nasional dan cuti bersama dimaksudkan untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi dan pengaturan lalu lintas setelah hari raya Idul Fitri 1441 Hijriah.
Barangkali pemerintah berharap masyarakat punya waktu lebih panjang untuk berlibur, jalan-jalan, dan berbelanja dengan tambahan hari libur. Dengan demikian, industri pariwisata bergerak, konsumsi rumah tangga bertambah, dan pada akhirnya perekonomian nasional ikut tumbuh lebih tinggi.
Wajar saja, sampai sekarang konsumsi rumah tangga masih menjadi motor utama penggerak roda ekonomi Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, meski pertumbuhannya melambat dari 5,05 persen tahun 2018 menjadi 5,04 persen tahun 2019, konsumsi rumah tangga masih berkontribusi 56,62 persen terhadap perekonomian nasional.
Akan tetapi, konsumsi sejatinya amat bergantung pada pendapatan yang bisa dibelanjakan, antara lain ditentukan besar kecil upah. Sayangnya, menurut Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2019, buruh yang bekerja pada 8 dari 17 lapangan kerja menerima upah lebih rendah dari rata-rata upah buruh nasional yang Rp 2,91 juta per bulan. Delapan lapangan kerja itu antara lain konstruksi (Rp 2,79 juta), perdagangan besar dan eceran (Rp 2,46 juta), serta pertanian, kehutanan, dan perikanan (Rp 2,03 juta).
Selain itu, tinggi rendah jenjang pendidikan menentukan besar kecil upah buruh. Menurut data Sakernas 2019, 72,8 juta pekerja atau 57,54 persen dari total 126,51 juta penduduk bekerja memiliki jenjang pendidikan sekolah menengah pertama atau lebih rendah.
Jangankan berlibur, upah sebesar Rp 1,8 juta per bulan itu lebih rendah dari standar kebutuhan hidup layak.
Sebanyak 50,18 juta orang (29,66 persen) pekerja bahkan berpendidikan sekolah dasar ke bawah dan menerima upah rata-rata Rp 1,8 juta per bulan. Bisa jadi, penambahan hari libur tak berarti buat mereka sebab pendapatan dan porsi belanjanya teramat kecil. Jangankan berlibur, upah sebesar Rp 1,8 juta per bulan itu lebih rendah dari standar kebutuhan hidup layak di beberapa provinsi.
Keputusan menambah hari libur juga menuai pro dan kontra di kalangan pelaku usaha. Para pengusaha khawatir produktivitas industri bakal turun karena jumlah hari kerja berkurang. Apalagi Indonesia masih punya pekerjaan rumah yang tak kunjung tuntas, yakni mendorong produktivitas dan daya saing nasional. Salah satu variabel yang digunakan untuk menilai tingkat produktivitas adalah jam kerja efektif.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), per Agustus 2019, ada 28,8 persen penduduk yang bekerja di bawah 35 jam per pekan (jam kerja normal), terdiri dari pekerja paruh waktu 22,45 persen dan pekerja setengah penganggur 6,43 persen. Selain itu, menurut Laporan Daya Saing Global 2019, Indonesia berada di peringkat ke-50 dari 141 negara atau turun lima peringkat dari posisi ke-45 pada 2018. Menurut laporan ini, jika dilihat dari sisi adopsi teknologi, belum ada ekosistem memadai sehingga teknologi tidak bisa berperan maksimal mendorong produktivitas domestik.
Sejumlah pengamat mengingatkan bahwa agenda penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi adalah menggerakkan sektor riil lebih kencang. Keberhasilan di sektor riil bisa dilihat dari peningkatan produktivitas. Oleh karena itu, upaya mendorong pertumbuhan ekonomi dengan menambah jumlah hari libur bisa jadi tidak berkelanjutan tanpa memperbaiki produktivitas dan daya saing nasional.
Pandemi Covid-19 memang menekan pertumbuhan ekonomi global. Sejumlah lembaga, seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional, Bank Pembangunan Asia, dan Bank Indonesia, merevisi pertumbuhan ekonomi jadi lebih rendah tahun ini. Perdagangan, pariwisata, dan industri terganggu sehingga ekonomi makin lesu.
Akan tetapi, kelesuan ini butuh ”obat” yang tepat. Jangan-jangan, bukan libur, melainkan tambahan upah yang diharap. Mendorong konsumsi, idealnya bukan dengan menambah libur, melainkan dengan mendongkrak daya beli.