Jalan Lintas Selatan Malah Jadi Lama Selesai
Jalan lintas selatan yang diharapkan dapat segera terwujud sejak dicanangkan pada 2002 untuk membuka keterisolasian dan menyejajarkan kawasan selatan dengan kawasan utara ternyata belum juga selesai.
Sudah 18 tahun berlalu sejak pemerintahan Megawati Soekarnoputri mencanangkan pembangunan jalan lintas selatan atau jalur pantai selatan untuk membuka dan menghubungkan pesisir kidul Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur.
Jalan lintas selatan (JLS) dari Serang, Banten, sampai Banyuwangi, Jawa Timur, ditargetkan selesai maksimal sedasawarsa kemudian atau 2012. Namun, tembakan melambung tinggi dari sasaran. Di Jatim, sampai dengan Maret 2020, dari 685 kilometer (km) jalur pantai selatan (pansela) yang harus dibangun ternyata baru terwujud 404 km atau 59 persen. Rezim telah berganti dari Megawati ke Susilo Bambang Yudhoyono dan kini Joko Widodo, tetapi prasarana arteri nasional ini belum juga selesai.
Teringat kembali pengalaman liputan di pesisir selatan Jatim pada 2005 dari Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Malang, Lumajang, Jember, dan Banyuwangi. Waktu itu, proyek JLS disambut meriah dalam sanubari kalangan warga pesisir kidul. Namun, keyakinan terhadap megainfrastuktur baru tadi juga berdampingan dengan keraguan pada ketepatan penyelesaian pembangunannya.
Baca juga : Lika-liku Jalan Lintas Selatan
Teringat kembali adagium nyeleneh JLS seharusnya jangan lama selesai. Akan tetapi, fakta memperlihatkan kebalikannya. Dalam laporan ”Lika-liku Jalan Lintas Selatan” yang terbit pada 19 Desember 2005 di harian Kompas, ada tertulis ”Proyeksi masa pembangunan selama 10 tahun mengambil asumsi anggaran per tahun sekitar Rp 300 miliar. Namun, kenyataannya, pemerintah hanya bisa merealisasikan Rp 50 miliar per tahun. Dengan asumsi itu, JLS terwujud 60 tahun lagi atau pada tahun 2060-an”, demikian catatan penulis.
Perpres No 80/2019 dalam pendapat saya adalah regulasi ganti baju khusus untuk Jatim yang belum dimuat dalam tiga perpres sebelumnya.
Ketika itu, pemerintahan di Jatim dipimpin oleh Imam Oetomo. Rezim sudah berganti ke Soekarwo dan kini dipegang oleh Khofifah Indar Parawansa, perempuan pertama yang menjabat Gubernur Jatim. Sejak menjabat kepala daerah pada Februari 2019, mantan Menteri Sosial ini menegaskan komitmennya terhadap penyelesaian pembangunan JLS.
”Bahkan penyelesaiannya masuk dalam Perpres No 80/2019,” katanya seusai Bincang Kompas ”Pengembangan Kawasan Selatan Jawa Timur” di Grha Kadin Jatim, Surabaya, Jatim, Selasa (10/3/2020).
Jika ditanya tentang JLS, berkali-kali Khofifah menegaskan bertekad menyelesaikan pada 2022 atau sebelum masa pemerintahannya bersama Emil Elestianto Dardak berakhir pada 13 Februari 2024. Jika target tercapai dua tahun mendatang, berarti pembangunan jalur pansela seksi Jatim selesai dalam dua dasawarsa. Semoga target ini meruntuhkan asumsi catatan penulis 15 tahun silam.
Ganti baju
Sudah diutarakan tadi, senjata utama penyelesaian JLS adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 80 Tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan Ekonomi di Kawasan Gresik-Bangkalan-Mojokerto-Surabaya-Sidoarjo, Kawasan Bromo-Tengger-Semeru, serta Kawasan Selingkar Wilis dan Lintas Selatan. Dua kata terakhir judul regulasi yang ditandatangani Presiden pada November 2019 itu perlu ditegaskan adalah lintas selatan alias jalur pansela.
Baca juga : Kesempatan Kembangkan Kawasan Selatan Jatim
Presiden Jokowi pernah menerbitkan Perpres No 3/2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN). Aturan ini diperbaiki dengan Perpres No 58/2017 sebagai perubahan pertama dan Perpres No 56/2018 sebagai perubahan kedua.
Ketiganya memang tidak mencantumkan JLS sebagai proyek strategis nasional, tetapi semangatnya sama tentang percepatan PSN. Perpres No 80/2019 secara gamblang menyatakan, percepatan PSN yang secara khusus berlaku di Jatim dan salah satunya terkait dengan JLS.
”Perpres No 80/2019 dalam pendapat saya adalah regulasi ganti baju khusus untuk Jatim yang belum dimuat dalam tiga perpres sebelumnya,” ujar pengamat kawasan ekonomi dan mantan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Jatim, Hadi Prasetyo.
Hadi berbagi pengalaman mengapa jalur pansela tak cepat selesai seperti target ketika dicanangkan. Di era otonomi daerah, percepatan pembangunan bergantung pada karakter dan jiwa kepemimpinan kepala daerah (gubernur dan bupati/wali kota).
Gubernur Jatim tak bisa cepat menyelesaikan JLS tanpa dukungan para bupati pesisir selatan. Delapan adipati harus punya visi pembangunan JLS, keberanian membuat terobosan untuk percepatan, dan jaminan kebijakan sebagai kepastian hukum.
Perpres No 80/2019 mengamanatkan pelaksanaan 218 proyek dengan nilai investasi Rp 295 triliun. Pemerintah pusat dan daerah melalui anggaran hanya akan menyumbang maksimal Rp 43 triliun atau 14,6 persen. Swasta termasuk usaha pemerintah nasional dan daerah lebih banyak berperan dengan harapan mendapatkan tanam modal Rp 252 triliun atau 85,4 persen. Khusus untuk JLS menjadi satu paket dengan Selingkar Wilis yang akan diwujudkan dalam 44 proyek senilai hampir Rp 42 triliun.
Rencana
Khofifah mengatakan, JLS yang belum terbangun sepanjang 281 km. Dari aspek pembiayaan, pembangunan ruas tersisa dengan pendanaan pemerintah dan Bank Pembangunan Islam (IDB). Menurut rencana tahun anggaran 2021, pemerintah berupaya menyelesaikan 210 km meliputi, antara lain, ruas Craken-Munjungan (Trenggalek), Ringinrejo-Jokosutro-Kedungsalam (Blitar-Malang), Sumberejo-Sidodadi-Sanenrejo (Jember).
IDB, lanjut Khofifah, akan membantu pendanaan 71 km lainnya meliputi ruas Lot 6 Prigi-Brumbun (Trenggalek-Tulungagung), Lot 7 Batas Tulungagung-Batas Malang, Lot 8 Jarit-Puger (Lumajang-Jember), dan Lot 9 Balekambang-Kedungsalam (Malang). Untuk Lot 8 sepanjang 32,2 km, kemajuan pembangunan fisik baru 14 persen. Untuk Lot 9 sepanjang 17,9 km, kemajuannya 11 persen. ”Pembangunan di Lot 6 sampai Lot 9 menjadi perhatian saya untuk bisa lebih dipercepat,” ujarnya.
Kepala Bappeda Jatim Rudy Ermawan Yulianto menambahkan, pengembangan pesisir selatan melalui PSN juga mencakup pembangunan jalan sirip atau jalan akses serta jalan tol yang terhubung dengan jalur pansela. Misalnya, rencana pembangunan jalan akses dari JLS ke Pelabuhan Gelon di Pacitan senilai Rp 80 miliar, pengembangan Pelabuhan Gelon senilai Rp 50 miliar, pengembangan angkutan laut perintis Pelabuhan Prigi di Trenggalek senilai Rp 45,8 miliar, Tol Kertosono-Kediri-Tulungagung senilai Rp 7,4 triliun, dan Tol Probolinggo-Lumajang senilai Rp 4,7 triliun.
Tantangan
Kepala Grup Advisory dan Pengembangan Ekonomi Bank Indonesia Kantor Perwakilan Jatim Harmanta mengatakan, delapan kabupaten pesisir selatan memiliki pertumbuhan ekonomi menengah-tinggi, tetapi di bawah rerata provinsi yang 5,56 persen. Ekonomi selatan ditunjang oleh kinerja pertanian, pengolahan, perdagangan, dan pariwisata.
Namun, kontribusi selatan terhadap provinsi, menurut Harmanta, terjadi tren menurun. Sejak 2012, kontribusi ekonomi selatan bagi provinsi sempat 2,13 persen dan kini 2,07 persen. Meski begitu, dari aspek penyaluran kredit, ada kesempatan naik. Pada 2012, kontribusi penyaluran kredit terhadap ekonomi provinsi sempat 12,64 persen dan anjlok ke 11 persen tiga tahun kemudian dan kini naik ke 11,63 persen.
Harmanta mengatakan, ada karakter unik dari kawasan selatan Jatim yang tak dimiliki kawasan tengah dan utara. Kalangan warga selatan banyak yang mencari nafkah sebagai pekerja migran di mancanegara. Dalam dua tahun terakhir, transfer uang ke selatan dari mancanegara senilai Rp 8,8 triliun dan Rp 8,6 triliun. Jumlah uang yang dikirim dari luar negeri ke selatan dalam setahun setara dengan 25 persen kekuatan APBD Jatim.
Namun, di sisi lain, patut menjadi perhatian ialah indeks pembangunan manusia atau IPM. Secara regional, IPM Jatim yang 71,5 ialah yang terendah dibandingkan dengan Jawa Tengah (71,73), Jawa Barat (72,03), Banten (72,44), Yogyakarta (79,99), dan Jakarta (80,76). Yang mencemaskan, IPM di tujuh kabupaten selatan kecuali Tulungagung (72,62) lebih rendah daripada provinsi. IPM terendah di kabupaten selatan ada di Lumajang (65,33) lalu Jember (66,69).
Selain itu, jumlah penduduk miskin Jatim mencapai 4,11 juta jiwa atau 10,3 persen dari populasi. Dua kabupaten dengan jumlah tertinggi warga tak sejahtera justru berada di selatan, yakni Malang (246.600 jiwa) dan Jember (226.570 jiwa). Tingkat pengangguran terbuka di selatan yang tertinggi di Tulungagung (4,4 persen) dan terendah di Lumajang (2,8 persen). Pengangguran justru banyak di daerah dengan IPM tinggi.
Harapan
Ketua Umum Kadin Jatim Adik Dwi Putranto mengatakan, kawasan selatan ibarat intan yang terkubur dalam perut bumi yang sedang menunggu untuk ditemukan, ditatah, dan digosok agar kilaunya berpendar. Luas delapan kabupaten selatan 19.126 km2 atau 40 persen dari luas Jatim.
Populasi di selatan 11,17 juta jiwa atau 28,1 persen populasi Jatim. Kontribusi produk domestik regional bruto (PDRB) selatan terhadap provinsi mencapai 16,8 persen. Sumbangan PDRB sektoral terhadap provinsi dari selatan ialah pertanian 38,9 persen, pendidikan 24 persen, dan administrasi 21,8 persen.
Menurut Adik, pengusaha punya cara pikir atau opsi dalam berbisnis. Pembangunan prasarana tidak melulu cespleng secara otomatis menumbuhkan investasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi atau pembangunan. Pengusaha lebih berpikir tentang pilihan bisnis yang cocok dan menguntungkan. ”Selatan punya potensi, tetapi mau dikemas untuk bisnis apa?” ujarnya.
Apalagi, di Pacitan, Trenggalek, Blitar, Malang, Jember, dan Banyuwangi, pemerintahan akan berganti melalui pemungutan suara dalam Pemilihan Bupati 2020. Sambil melihat perkembangan penyelesaian JLS dan pergantian rezim, para pemilik kapital tetap mengawasi dan mencoba menerka peluang iklim usaha di selatan. Yang terang, bupati yang bervisi maju, berani, dan memberi kepastian jelas akan didekati dan menjadi tujuan untuk pengembangan usaha sehingga diharapkan sebagai salah satu motor percepatan ekonomi di selatan.