Andalkan Impor dari China, Industri Mainan Terguncang akibat Covid-19
Wabah coronavirus disease atau Covid-19 juga turut menghantam pedagang mainan. Kurangnya stok mainan impor China membuat omzet pun berkurang. Momen ini seharusnya dimanfaatkan industri mainan lokal untuk eksis.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
Aneka mainan, mulai dari boneka, robot, figur karakter, lego, bola, hingga mobil-mobilan, memenuhi rak-rak setiap toko mainan di Pasar Gembrong, Jakarta Timur. Pada hampir semua kemasan mainan terdapat karakter huruf Mandarin yang menandakan mainan tersebut merupakan produk impor dari China.
Iget (28), karyawan toko mainan di Pasar Gembrong, saat ditemui pada Kamis (12/3/2020), mengeluhkan ketiadaan stok mainan impor dari China. Menurut dia, stok mainan impor China sudah menipis sejak awal Februari 2020.
Sebelum adanya penyebaran Covid-19, dalam sebulan, Iget bisa menyetok mainan hingga 5 koli atau dus mainan. Namun, sudah sekitar dua bulan terakhir, stok mainan sebulan hanya 1 koli, bahkan untuk Maret tokonya tidak menyetok sama sekali.
”Sampai sekarang barang yang dipesan itu enggak datang-datang juga. Omzet jelas jadi berkurang. Kalau biasanya bisa dapat hingga 20 persen dari modal, sekarang paling besar 7 persen dari modal,” ujar Iget.
Begitupun yang dialami pemilik toko mainan Ratna (39). Menurut dia, penyebaran Covid-19 jelas berdampak pada stok mainan, terlebih hampir semua mainan yang ia jual merupakan produk impor China.
”Hampir semua mainan impor dari China sekarang tinggal stok lama, sudah hampir dua bulan enggak ada mainan baru. Kata distributornya, pasokan mainan impor dari China memang lagi berkurang karena virus korona. Jadi, ya, saya jual seadanya saja,” tutur Ratna.
Menurut Ratna, salah satu mainan yang sedang digandrungi anak-anak, yaitu robot Kyuranger, buatan China. Namun, karena barang belum datang lagi, stok saat ini tinggal dua robot.
”Kalau mainan, impornya memang cuma dari China. Kalau dari negara-negara lain, apalagi misalnya Jepang, harganya bisa sampai empat kali lipat. Jadi, saya nunggu saja sampai nanti datang lagi (mainan impor China),” katanya.
Lain halnya dengan Tio (30), karyawan toko mainan. Ia mengatakan, distribusi stok mainan masih normal. Setiap dua minggu, ia bisa mengambil hingga 36 koli mainan untuk dijual dengan omzet sekitar Rp 4 juta per hari.
”Masih normal-normal saja (stok mainan). Namun, memang belum ada jenis mainan baru lagi. Mungkin karena distributornya juga berbeda-beda. Kalau bos saya, memang punya kenalan langsung dengan distributor di Tanjung Priok, jadi bisa tetap dapat barang,” ujarnya.
Berdaya saing
Tio menuturkan, produk mainan lokal pun sebenarnya tidak kalah bersaing dengan produk impor. Salah satunya, mainan lego warna-warni produksi lokal lebih digandrungi oleh masyarakat.
Dengan harga sama, yaitu Rp 235.000 per bungkus, lego produksi lokal berisi 458 potongan, sementara produksi impor China hanya terdapat 336 potongan. Lagi pula, lanjut Tio, lego impor China sudah kosong sekitar dua bulan.
Adapun produk mainan lokal lainnya berupa puzzle atau balok yang terbuat dari kayu. Menurut Iget, produk mainan lokal umumnya dijual untuk tujuan edukasi bagi anak usia hingga 5 tahun.
”Mainan lokal berupa balok-balok kayu sebenarnya tidak mengikuti tren figur karakter yang sedang diidolakan anak-anak. Jadi, kalau mau cari substitusi figur karakter yang diimpor dari China, memang agak sulit,” kata Iget.
Berdasarkan data yang dihimpun Litbang Kompas, industri mainan memang merupakan sektor penting bagi China, khususnya dalam hal investasi dengan perusahaan multinasional. The Wall Street Journal memperkirakan, 85 persen mainan anak yang dijual di pasar global diproduksi di China.
Stimulus
Tenaga Ahli Utama Kepresidenan Dany Amrul Ichdan mengatakan, setelah merebaknya Covid-19 secara global, tantangan berikutnya memang pada sektor ekonomi. Pemerintah pun terus berupaya untuk meningkatkan daya beli masyarakat, salah satunya dengan memangkas suku bunga guna memacu pertumbuhan ekonomi.
Data Badan Pusat Statistik, konsumsi rumah tangga berkontribusi hingga 54 persen dalam struktur pertumbuhan ekonomi. Namun, pertumbuhan konsumsi rumah tangga cenderung melambat.
Secara tahunan, pertumbuhan konsumsi melambat dari 5,05 persen (2018) menjadi 5,04 persen (2019). Pelambatan pun tecermin hampir di semua subsektor, termasuk makanan dan minuman; pakaian, alas kaki, dan jasa perawatannya; serta transportasi dan komunikasi.
Terlebih, China merupakan negara tujuan utama dengan kontribusi terbesar baik impor maupun ekspor nonmigas. Pada Januari 2020, China masih menjadi negara asal impor terbesar dengan peran 32,11 persen atau 3,95 miliar dollar AS, juga menjadi negara tujuan utama ekspor dengan peran 16,69 persen atau sekitar 2,1 miliar dollar AS.
”Memang barang-barang impor dari China itu lebih murah, tapi sekarang saatnya usaha kecil, mikro, dan menengah untuk berkembang. Salah satunya bisa masuk ke e-commerce (perdagangan elektronik),” ujar Dany.
Peneliti Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, pun menilai, untuk memacu pertumbuhan ekonomi, peningkatan daya beli masyarakat memang menjadi syarat utama. Pemerintah dapat memberikan fasilitas-fasilitas untuk membantu pengembangan UMKM.
”Apa yang terjadi di Pasar Gembrong seharusnya dapat menjadi momentum bagi pemerintah membantu memberdayakan UMKM agar lebih eksis dan menjadi substitusi dari mainan impor China. Dengan begitu, akan menjadi stimulus peningkatan daya beli masyarakat,” kata Enny.