Pengaruh media sosial menjadi referensi masyarakat untuk berwisata. Tidak sedikit pengalaman warga mengunjungi suatu lokasi menarik menjadi viral dan diikuti, seperti fenomena ”feeling good” di Ranu Manduro.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
Baru-baru ini, sebuah lokasi area bekas lahan pertambangan di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, diserbu ribuan warga. Lokasi itu disebut Ranu Manduro.
Ranu Manduro, yang berlatar Gunung Penanggungan, adalah lahan seluas puluhan hektar dengan tebing-tebing rendah, kini ditumbuhi rerumputan hijau. Tak pelak, lokasi itu dianggap mirip padang rumput di Selandia Baru. Sayangnya, tempat itu tidak disiapkan sebagai lokasi wisata.
Lokasi itu didatangi banyak warga yang mengetahuinya dari media sosial (Kompas.com, 2/3/2020). Akhir pekan awal Maret lalu, pemilik akun Instagram _chalisa.ham merekam warga yang menyerbu masuk ke lokasi tersebut. Dalam video terlihat lokasi tersebut dipadati pemotor hingga terjadi kemacetan yang lama terurai.
”Wisata yang lagi viral akhir-akhir ini. Kalau mau filling gutan mending dateng pas hari biasa. Keadaan tempatnya minggu ini rame banget. Sekedar info, kalau mau ke sini mending hari biasa, agak sepi”, tulisnya.
Dari penelusuran Kompas, lokasi itu viral setelah pemilik akun Instagram @hafidzbasory dan @elhakim_14 mem-posting video lokasi tersebut. Video berdurasi satu menit yang direkam di atas sepeda motor itu dibumbui musik Surfaces berjudul ”Sunday Best”, yang familiar dengan baris lirik ”feeling good, like I should”.
”Tempat ini lebih 10x lebih indah ketika musim hujan datang”, tulis @elhakim_14. Video yang di-posting akhir Februari lalu, lantas di-posting ulang oleh puluhan akun konten pejalan dan pencinta alam yang memiliki banyak pengikut.
Posting-an itu pun dikomentari ratusan netizen. Sebagian besar yang berkomentar menunjukkan keinginan untuk pergi ke sana. Namun, ada juga yang berpesan agar keasrian lokasi tersebut tetap dijaga.
”Sebaiknya tempat seperti ini dijaga keasriannya, bukan asal diviralkan. Masih banyak edukasi yang harus dijelaskan untuk menjaga lingkungan, contohnya masalah buang sampah sembarangan. Harusnya dibuat peraturan yang ketat, baru dibuka untuk wisata”, tulis zakaria_rafd.
Inspirasi
Pengaruh promosi lewat media sosial nyatanya masih cukup kuat menarik orang untuk berwisata. Seperti Raffi yang tengah merencanakan perjalanan ke Bromo di Jawa Timur dari Wonosobo di Jawa Tengah menggunakan sepeda motor.
Dengan tiga teman kuliahnya, ia berencana melakukan perjalanan nekat dengan membawa uang Rp 1 juta, yang disisihkan dari uang bulanan mereka. Ide perjalanan itu bukan murni dicetuskan pemuda 21 tahun tersebut dan teman-temannya, melainkan terinspirasi dari pengalaman orang lain yang dibagikan di media sosial.
”Setelah baca dan lihat, jadi ingin. Apalagi pengalamannya sesuai ekspektasi, budget terbatas dan cuma modal motor,” ujarnya.
Empat tahun terakhir ini, Raffi mengikuti akun grup komunitas Backpacker Indonesia di media sosial Facebook. Hampir setiap hari, di grup tersebut, ada saja orang yang membagikan pengalaman berwisata dan bertualang lewat caption dan foto atau video yang diunggah. Ada juga individu atau grup yang menawarkan agenda dan paket perjalanan.
Konten-konten tersebut pun membuat Raffi, yang mengaku memiliki jiwa petualang, terinspirasi untuk mengeksplorasi tempat-tempat baru untuk berlibur. ”Sebagian besar perjalanan jauh yang aku pernah lakukan terinspirasi dari sana,” katanya kepada Kompas.
Pernyataan Raffi ternyata tergambar dalam survei terbaru DirectCBD yang dilakukan pada Januari 2020. Survei terhadap 879 responden di Amerika Serikat dan Eropa itu menunjukkan, media sosial berperan dalam menggerakkan masyarakat untuk pergi ke lokasi spesifik (38,2 persen) selain menggairahkan orang untuk mencoba makanan baru (68,1 persen).
Pengaruh media sosial terhadap keinginan pergi ke suatu tempat dirasakan 26,2 persen generasi baby boomer atau yang saat ini berusia 55-73 tahun. Demikian pula dengan masing-masing sekitar 40 persen generasi X (40-54 tahun) dan generasi milenial (24-39 tahun).
Selektif
Ulasan warga pengguna internet atau netizen di media sosial juga kerap menjadi acuan Noor (30) untuk berlibur. ”Media sosial itu buat lihat review dan pastiin benar enggak seperti itu, sesuai foto atau enggak,” katanya.
Tidak hanya untuk mencari tempat berlibur, media sosial juga selalu ia buka untuk mencari referensi tempat hiburan, seperti restoran atau penginapan. Setelah mendengar pendapat dari mulut ke mulut, ulasan di media arus utama, atau blog, ia biasanya akan mengecek media sosial.
Selain melihat konten yang dipublikasikan pengelola resmi suatu destinasi, pengalaman jujur netizen yang disampaikan lewat caption atau komentar adalah yang paling ia cari. Pendapat netizen yang apa adanya, menurut dia, paling bisa dipercaya.
Sementara konten yang dibagikan pengelola resmi destinasi atau influencer dinilai kadang dilebih-lebihkan, dengan foto yang telah diedit sedemikian rupa dan kalimat-kalimat promosi yang menggoda.
Kepala Biro Komunikasi Sekretariat Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Sekretariat Utama Badan Ekonomi Kreatif Agustini Rahayu berpendapat, publikasi media dalam konteks penyebaran informasi pariwisata penting. Tak terkecuali melalui media sosial yang tidak terbatas.
”Promosi di media sosial menjadi bagian dari customer journey di pariwisata. Mulai dari dreaming (bermimpi), inspired (terinspirasi), searching (mencari), booking (memesan), experiencing (mengalami), dan sharing (berbagi),” ujarnya kepada Kompas.
Namun, dengan kemajuan teknologi digital yang tak terbendung, ia mengingatkan masyarakat pengguna media sosial agar pintar dalam menerima dan mengolah informasi. Hal ini termasuk bijak dalam membagikan informasi pariwisata agar bisa sekaligus menjaga keberlanjutannya (sustainability).
”Destinasi pariwisata itu harus ada empat unsur, aksesibilitas, amenitas, akomodasi, dan atraksi. Pariwisata lekat dengan itu. Jadi, kalau enggak lengkap semua, artinya belum siap dan enggak akan sustain. Kalau begitu, baiknya jangan dipromosikan,” tutur Agustini.