Pendapatan dalam jumlah besar dan waktu seketika membuat pembudidaya goyah dan ancang-ancang beralih menjadi pengekspor benih lobster. Jika hal ini terjadi, budidaya lobster di Indonesia semakin kalah dari Vietnam.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·5 menit baca
KOMPAS/VINA OKTAVIA
Benih lobster yang diselundupkan melalui wilayah Lampung pada 23 Agustus 2019.
Sinyal pemerintah agar segera menerbitkan kebijakan ekspor benih lobster (Panulirus spp) secara terbatas menuai reaksi. Sejumlah kalangan mulai melirik peluang meraup untung dari bisnis penjualan benih yang bening itu.
Minat masuk ke bisnis ekspor benih lobster tidak hanya datang dari pelaku usaha perikanan, tetapi juga pengusaha non-perikanan. Sejumlah pembudidaya pembesaran lobster juga berancang-ancang beralih menjadi penjual benih.
Sahman, Kepala Desa Paremas, di Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, menyambut pembukaan keran ekspor benih lobster sebagai peluang untuk kembali menekuni usaha penjualan benih. Ia pernah menjadi pengepul dan membesarkan benih lobster hingga 2010. Usaha itu tidak diteruskan sejak ia menjadi kepala desa.
”Kami akan bikin kelompok nelayan penangkap (benih lobster) dan kami bina. Hasilnya akan kami jual untuk ekspor,” katanya, akhir pekan lalu.
Peluang ekspor benih lobster diyakini akan mendorong penangkapan benih dalam jumlah besar. Nelayan tak hanya menangkap benih di perairan sekitar tempat tinggal mereka, tetapi bisa juga ke wilayah lain.
”Persoalan muncul jika nelayan sudah telanjur dapat banyak (benih), sedangkan kuota ekspor dibatasi. Tidak mungkin nelayan melepas lagi benih yang sudah ditangkap itu ke laut,” kata Sahman.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Petugas memasukkan kembali barang bukti benih lobster ke dalam koper saat rilis pengagalan penyelundupan di Kantor Bea dan Cukai Juanda, Sidoarjo, Senin (24/6/2019). Benih lobster sebanyak 113.300 ekor dengan perkiraan nilai Rp 17,3 miliar yang dimasukkan ke dalam koper itu digagalkan saat akan menuju Singapura melalui Bandara Juanda.
Pembukaan ekspor benih lobster secara terbatas merupakan bagian dari revisi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp) dari Wilayah Negara RI. Aturan itu melarang penangkapan dan ekspor benih lobster berbobot kurang dari 200 gram atau berukuran panjang karapas kurang dari 8 sentimeter (cm).
Saat ekspor benih dilarang, penyelundupan benih ke Vietnam dilaporkan marak. Data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menunjukkan, aliran dana penyelundupan benih lobster ke luar negeri Rp 300 miliar-Rp 900 miliar per tahun.
Pekan lalu, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menyambangi Universitas Tasmania di Australia yang berhasil mengembangbiakkan lobster. Budidaya lobster dinilai menjanjikan karena memiliki nilai ekonomi tinggi. Indonesia berpotensi besar karena memiliki benih dan indukan.
”Revisi permen muncul atas aspirasi masyarakat. Mayoritas setuju budidaya. Intinya, ada pemanfaatan dan diawasi dengan baik,” kata Edhy dalam siaran pers (28/2/2020).
ARSIP PRIBADI
Rokhmin Dahuri
Koordinator Penasihat Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri menjelaskan, pembukaan keran ekspor benih lobster direncanakan maksimum 2-3 tahun. Pintu ekspor dibatasi di 3 bandara, yakni Bandara Soekarno-Hatta, Bandara Ngurah Rai, dan Juanda.
Jumlah benih yang diekspor akan dibatasi, maksimum 30 persen dari potensi benih lobster jenis pasir dan mutiara yang berjumlah 4 miliar ekor per tahun. Selama keran ekspor benih lobster dibuka, Indonesia mesti berpacu mengembangkan budidaya lobster di dalam negeri dan bersaing dengan Vietnam yang jauh lebih unggul.
Dedy Sopian, pembudidaya lobster di Desa Ketapang Raya, Lombok Timur, mengemukakan, sejumlah pembudidaya kini ancang-ancang beralih menjadi penjual benih. Alasannya, penjualan benih menjanjikan pendapatan instan.
Ia mempertanyakan mekanisme pengawasan kuota ekspor benih. Tanpa instrumen pengawasan yang ketat, penyelundupan benih lobster berpotensi terus berlangsung. ”Jangan sampai di kemudian hari ada penyesalan karena ekspor benih ini,” kata Dedy.
Kalah saing
Kendati demikian, lobster hasil budidaya Indonesia masih belum banyak diminati pasar ekspor. Eksportir lebih memilih lobster hasil tangkapan alam (wild catch). Kualitas lobster hasil budidaya Indonesia masih kalah daripada Vietnam.
Kelemahan hasil lobster budidaya Indonesia, antara lain ukuran kepala lebih besar, sedangkan badan kecil. Selain itu, warnanya juga belum menyerupai tangkapan alam.
”Lobster (dari) Vietnam sudah sempurna, hanya warna agak terang. Akan tetapi, bagian kepala dan badan (lobster) sudah seperti (hasil) tangkapan alam. Kualitas daging pun baik. Jadi, bisa tembus pasaran sana (China dan Hong Kong),” kata Siva, eksportir perikanan.
Di sisi lain, usaha budidaya lobster di Vietnam dikuasai investor asal China dan Taiwan. Jalur perdagangan dari Vietnam ke China lebih mudah dan murah karena melalui darat. Sementara, pengiriman lobster dari Indonesia ke China hanya bisa menggunakan jalur penerbangan. China menetapkan tarif bea masuk cukup tinggi serta kewajiban melengkapi dokumen izin impor untuk produk perikanan laut.
Siva menilai lobster hasil budidaya sebetulnya memiliki potensi pasar besar ke Uni Eropa dan Amerika Serikat. Sebab, konsumen sanggup membayar lebih tinggi untuk perikanan budidaya berkelanjutan. ”Jika kita dapat keluarkan (lobster) hasil budidaya setara kualitas tangkapan alam, saya rasa tak ada masalah untuk tembus pasaran internasional,” katanya.
Teknik budidaya lobster di Indonesia perlu diperbaiki agar efisien dan kualitas yang dihasilkan setara hasil tangkapan alam. Dengan demikian, budidaya lobster Indonesia bisa mengejar Vietnam.
Teknik budidaya lobster di Indonesia perlu diperbaiki agar efisien dan kualitas yang dihasilkan setara hasil tangkapan alam.
Pembudidaya lobster di Sibolga (Sumatera Utara), Effendy Wong, menilai pemerintah seharusnya fokus pada strategi berkelanjutan dengan mendorong budidaya lobster. Langkah lain, mendorong investor China atau Vietnam mengembangkan budidaya di Indonesia.
Kebijakan ekspor benih hanya akan membuat industri pembesaran lobster di Vietnam semakin besar. Apalagi, Vietnam sudah menguasai jejaring pemasaran lobster ke negara tujuan utama, yakni China. ”(Kebijakan) ini konyol. Budidaya lobster Indonesia pasti kalah bersaing dengan Vietnam, kecuali ekspor benih lobster dihentikan dan budidaya dalam negeri didorong,” katanya.
Dengan dibukanya ekspor benih lobster, Effendy mengaku hanya akan mengembangkan budidaya lobster sebatas untuk kepentingan restoran miliknya.
”Daripada pasar (ekspor) sulit, lebih baik tidak usah mengembangkan budidaya. Ke depan, saya pertimbangkan ikut jualan benih lobster,” katanya. (BM Lukita Grahadyarini)