Harga Bijih Nikel Pasar Domestik Timbulkan Masalah
Petambang keberatan dengan rendahnya harga bijih di dalam negeri untuk dijual ke smelter nikel, apalagi mereka tidak diperbolehkan lagi mengekspor bijih nikel per Januari 2020.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Belum adanya kepastian harga patokan mineral untuk jenis bijih nikel kadar rendah di dalam negeri menimbulkan masalah. Petambang merasa keberatan dengan rendahnya harga bijih di dalam negeri untuk dijual ke smelter nikel, apalagi mereka tidak diperbolehkan lagi mengekspor bijih nikel per Januari 2020.
Perbandingan harga bijih nikel kadar yang diekspor dengan harga jual di pasar domestik cukup lebar. Data dari Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), harga bijih nikel kadar 1,8 persen di pasar internasional sebesar 59 dollar AS per ton sampai 61 dollar AS per ton. Sementara untuk kadar yang sama, harga di dalam negeri berkisar 38 dollar AS per ton sampai 40 dollar AS per ton.
Sementara untuk bijih nikel kadar rendah 1,7 persen, harga di dalam negeri jauh lebih rendah, yaitu 15 dollar AS per ton sampai 18 dollar AS per ton, sedangkan harga ekspornya 40 dollar AS per ton.
”Bagaimana kami mau hidup dengan harga murah itu? Ongkos produksinya saja 20 dollar AS per ton,” ujar Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey dalam diskusi bertema ”Prospek Industri Nikel Dalam Negeri” yang diselenggarakan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia, Jumat (28/2/2020), di Jakarta.
Bagaimana kami mau hidup dengan harga murah itu? Ongkos produksinya saja 20 dollar AS per ton.
Harga nikel kadar rendah tersebut, lanjut Meidy, kerap menjadi sengketa antara petambang dan pemilik smelter nikel dalam negeri. Dasar persoalannya dalam hal penetapan kadar nikel.
Surveyor smelter kerap menilai terlalu rendah kadar bijih nikel yang dijual petambang. Hasilnya selalu berbeda dengan surveyor resmi yang ditunjuk pemerintah.
”Lantaran kadar dinilai rendah oleh pihak mereka (smelter), harga ditawar murah sekali atau jauh di bawah ongkos produksi. Akibatnya, sampai sekarang ada 3,8 juta ton bijih nikel yang menganggur tak terjual di dalam negeri dan tak bisa diekspor (setelah terbitnya larangan ekspor bijih nikel),” tutur Meidy.
Sejak 2014, terbit larangan ekspor bijih mineral mentah dan mendorong petambang mengolah dan memurnikan di dalam negeri. Kebijakan itu untuk mendorong peningkatan nilai tambah mineral.
Pada 2017, pemerintah menerbitkan aturan yang membolehkan ekspor nikel kadar rendah kurang dari 1,7 persen. Pemberian ekspor tersebut berlaku selama lima tahun atau sampai Januari 2022. Namun, pemerintah kemudian menerbitkan aturan baru yang membolehkan ekspor hanya sampai Desember 2019.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia Prihadi Santoso mengakui pengusaha smelter memiliki formula harga tersendiri untuk bijih nikel kadar rendah. Mengenai formula harga, sampai saat ini belum ada titik temu untuk harga yang bisa disepakati oleh para pihak.
”Saya berharap penetapan formula harga oleh pemerintah bisa diterima para pihak tersebut,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Yunus Saefulhak mengatakan, pemerintah sudah berusaha mencarikan jalan keluar atas keluhan yang disampaikan petambang nikel. Pemerintah tengah menyusun harga patokan mineral bijih nikel untuk pasar dalam negeri yang ideal bagi petambang maupun bagi pengusaha smelter.
Kedua pihak dilibatkan dalam penyusunan formula harga tersebut.
”Semoga selambatnya akhir Maret 2020 sudah terbit formula harga yang bisa diterima kedua pihak, baik oleh petambang maupun pengusaha smelter,” ujarnya.
Pemerintah tengah menyusun harga patokan mineral bijih nikel untuk pasar dalam negeri yang ideal bagi petambang maupun pengusaha smelter.
Berdasarkan keterangan resmi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dasar terbitnya pelarangan ekspor bijih nikel mulai Januari 2020 adalah untuk melindungi ketahanan cadangan nikel di dalam negeri. Saat ini, cadangan terbukti bijih nikel di Indonesia sebanyak 698 juta ton.
Cadangan itu diperkirakan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan smelter dalam negeri selama tujuh tahun apabila tidak ditemukan cadangan baru. Pelarangan ekspor bijih nikel juga ditujukan untuk mendorong tumbuhnya industri hilirisasi dalam negeri.