Kementerian Kelautan dan Perikanan memberikan sinyal bakal ada 18 regulasi yang akan diterbitkan Maret 2020. Namun, sejumlah pihak mengingatkan pemerintah untuk memastikan regulasi menjamin keberlanjutan sektor ini.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
Pemerintah tengah menerapkan segala jurus untuk mendorong investasi guna menggerakkan perekonomian. Di tingkat undang-undang, Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang merupakan regulasi sapu jagat (omnibus law) diarahkan untuk mendorong ketahanan dan daya saing ekonomi.
Di sektor kelautan dan perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan memberikan sinyal, ada 18 regulasi yang akan diterbitkan pada Maret 2020. Regulasi baru ini merupakan hasil revisi terhadap 29 aturan yang dinilai menghambat investasi perikanan.
Perumusan 18 regulasi kelautan dan perikanan yang sudah dinyatakan final mencakup subsektor perikanan tangkap dan budidaya. Di perikanan budidaya, salah satu regulasi yang akan digulirkan adalah pembukaan keran ekspor benih lobster secara terbatas dan terkendali, bersamaan dengan pembenihan, pembesaran, dan menambah stok benih lobster di alam.
Dengan ekspor benih, selain mendatangkan penerimaan negara, nelayan juga diharapkan memperoleh pendapatan. Bukan penyelundupan. Penyelundupan benih lobster dilaporkan marak saat berlaku larangan ekspor benih lobster, yakni Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp) dari Wilayah Negara RI.
Pemerintah mengakui, revisi aturan memberi kelonggaran. Tujuannya, ekonomi berputar lebih cepat dengan nilai tambah lebih tinggi. Pengawasan dijanjikan bakal ditingkatkan. Namun, pemerintah justru merevisi alokasi anggaran untuk program pengawasan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan tahun 2020, yakni dari Rp 1,062 triliun menjadi Rp 1,005 triliun.
Kebijakan ekspor benih lobster disambut dingin oleh sejumlah pelaku budidaya lobster di dalam negeri. Pembukaan keran ekspor dikhawatirkan semakin menggencarkan pengiriman benih ke luar negeri. Pembudidaya juga terancam berbenturan dengan pengepul benih untuk ekspor.
Di sisi lain, Indonesia jauh tertinggal dibandingkan dengan Vietnam dalam hal budidaya pembesaran hingga jejaring pasar di China. Padahal, Vietnam mengandalkan hampir 80 persen pasokan benih dari Indonesia. Ekspor benih dikhawatirkan justru memperkokoh industri budidaya lobster di Vietnam, dan sebaliknya, memukul pengembangan budidaya dalam negeri.
Tata niaga ekspor benih secara terbatas juga dikhawatirkan oleh sejumlah kalangan bakal memicu praktik kartel, di mana hanya segelintir pengusaha yang memegang kendali ekspor. Pantauan Kompas, kendati kebijakan ekspor benih belum disahkan, penawaran benih lobster mulai marak (Kompas 25/2/2020). Benih lobster ditawarkan kepada calon pembeli, baik di dalam maupun luar negeri, antara lain melalui media sosial.
Keuntungan instan ekspor benih, tanpa diimbangi mekanisme pengawasan yang ketat, akan mendorong penjualan benih semakin masif. Sulit memastikan aparat pengawasan memiliki kemampuan untuk menghitung jumlah benih lobster yang diekspor.
Di lain pihak, kebijakan ekspor itu bisa jadi bumerang dalam upaya peningkatan nilai tambah. Padahal, agar bisa jadi ikon lobster dunia, Indonesia semestinya fokus ke budidaya dan pembesaran lobster yang nilai jualnya jauh lebih tinggi.
Sebagai ilustrasi, harga jual benih lobster pasir saat ini pada kisaran Rp 3.000 per ekor. Jika benih bisa dibesarkan hingga ukuran 400 gram dalam kurun 10-12 bulan, harganya bisa menembus Rp 1 juta per ekor. Di sinilah teknologi dan pendampingan diperlukan agar budidaya lebih efisien, berdaya saing, dan berjaya di negeri sendiri.
Presiden Soekarno, proklamator Kemerdekaan RI, dalam sejumlah pidato kebangsaan kerap mengingatkan agar bangsa Indonesia jangan mau menjadi bangsa kuli dan menjadi kuli dari bangsa-bangsa lain (a nation of coolies and a coolie amongst nations).
Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan integrasi tiga aspek, yaitu sosial, ekonomi, dan lingkungan. Inilah momentum pemerintah untuk menciptakan strategi mendorong pembangunan, tidak hanya demi keuntungan sesaat, tetapi untuk masa depan kelautan dan perikanan yang berkelanjutan.