Indonesia akan mengklarifikasi Amerika Serikat yang secara sepihak mengubah status Indonesia dari negara berkembang menjadi negara maju. Jangan sampai pengubahan status itu merembet ke fasilitas perdagangan GSP AS.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah Indonesia akan mengklarifikasi Amerika Serikat yang secara sepihak mengubah status Indonesia dari negara berkembang menjadi negara maju. Langkah itu akan dilakukan secara bilateral dalam waktu dekat ini.
Direktur Pengamanan Perdagangan Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Pradnyawati, Senin (24/2/2020), mengatakan, Indonesia akan mengadakan konsultasi bilateral dengan AS sebagai sesama anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Konsultasi itu dalam rangka memperjuangkan hak-hak perdagangan yang tak berlaku lagi akibat pengubahan status.
"Dalam Perjanjian WTO tentang Subsidi dan Tindakan Imbalan (pungutan bea masuk anti-dumping), WTO tidak menetapkan definisi atau klasifikasi mengenai negara berkembang," ujarnya kepada Kompas.
Indonesia akan mengadakan konsultasi bilateral dengan AS sebagai sesama anggota WTO.
Menurut Pradnyawati, konsultasi itu akan membahas dua hal. Pertama, menyangkut belum memadainya Indonesia sebagai negara maju berdasarkan kategori dari Bank Dunia.
Kedua, keikutsertaan Indonesia dalam G20 tidak serta-merta membuat Indonesia tergolong sebagai negara maju. "Standar yang digunakan untuk menjadi anggota G20 bersifat fundamental, yakni pertumbuhan domestik bruto (PDB), daya beli, dan inflasi," kata dia.
Sebelumnya, Perwakilan Perdagangan AS (USTR) mengubah status Indonesia menjadi negara maju per 10 Februari 2020. USTR menyebutkan tiga kriteria sebuah negara masuk kategori negara maju. Pertama, PDB per kapita negara itu di atas 12.000 dollar AS Kedua, memiliki pangsa pasar perdagangan dunia lebih dari 0,5 persen. Ketiga, menjadi anggota organisasi ekonomi internasional, salah satunya G20.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), PDB per kapita Indonesia pada 2019 sebesar 4.174,9 dollar AS atau setara Rp 59,1 juta. Pada 2018, PDB per kapita Indonesia sebesar 3.927,2 dollar AS.
Dengan status baru sebagai negara maju versi AS itu, Indonesia tidak akan lagi mendapatkan perlakuan deferensial khusus (Special Differential Treatment/SDT) yang tersedia dalam Perjanjian WTO tentang Subsidi dan Tindakan Imbalan atau Pengamanan Perdagangan.
Dua fasilitas kemudahan Indonesia dari AS dalam konteks penyelidikan dumping, yaitu de minimis thresholds (ambang batas minimal) margin subsidi dan negligible import volumes (volume impor yang diabaikan) tidak akan lagi didapat. Dalam investigasi anti-dumping, penyelidikan itu bisa berakhir jika margin dumping kurang dari 2 persen.
Penyelidikan antidumping itu juga dapat dihentikan jika volume impor produk yang diduga disubsidi itu kurang dari 3 persen dari total ekspor. Dengan hilangnya kedua fasilitas itu, AS akan lebih mudah menginvestigasi produk-produk impor yang diduga dumping dan mengenakan bea masuk anti dumping terhadap produk-produk itu.
Menurut Pradnyawati, ambang batas de minimis merupakan margin subsidi yang menjadi acuan penghentian penyelidikan anti-dumping. Batas untuk negara berkembang kurang dari dan sama dengan 2 persen sedangkan batas untuk negara maju ialah kurang dari dan sama dengan 1 persen.
"Jika AS mengkategorikan Indonesia sebagai negara maju, artinya, batas yang berlaku untuk Indonesia ialah 1 persen," ujarnya.
Potensi dumping
Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjadja Kamdani berpendapat, perubahan status itu berpotensi membuat AS berasumsi bahwa Indonesia tidak menerapkan praktik persaingan dagang yang sehat. Setiap produk Indonesia di AS yang memperoleh pangsa pasar yang besar dapat memunculkan keluhan dari pelaku usaha AS.
Mereka dapat mengajukan penyelidikan anti-subsidi terhadap Indonesia. "Semua industri yang mengekspor ke AS berpotensi terkena dampak tuduhan subsidi tersebut," kata Shinta.
Semua industri yang mengekspor ke AS berpotensi terkena dampak tuduhan subsidi tersebut.
Menanggapi potensi tuduhan subsidi dari AS, Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi Internasional Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Rizal Affandi Lukman menyatakan, pemerintah akan menerapkan prinsip kehati-hatian dalam membuat kebijakan. Selama ini, pemerintah sudah menerapkan prinsip itu dalam mengeluarkan kebijakan yang berpotensi dinilai sebagai bentuk subsidi.
Sementara, pengubahan status baru itu dikhawatirkan merambat ke fasilitas kemudahan dan keringanan bea masuk dalam Sistem Tarif Preferensial Umum (GSP). Jika hal itu terjadi, produk-produk Indonesia yang terdaftar dalam GSP akan dikenai bea masuk normal yang lebih tinggi dari bea masuk sebelumnya.
Jaminan USTR
Rizal menyatakan, USTR menjamin, pengubahan status itu tidak berkaitan dengan kebijakan GSP AS. "Tidak perlu dicemaskan (dampaknya terhadap GSP). Saya lihat, pembicaraan terkait GSP masih berjalan dan dalam tahap finalisasi. Mudah-mudahan hasilnya positif," ujarnya.
Perubahan status itu hanya berlaku di ranah perlindungan industri domestik (trade remedy), khususnya aturan main dalam pengajuan tuduhan dan investigasi subsidi.
Sementara, Pradnyawati menegaskan, perubahan status itu hanya berlaku di ranah perlindungan industri domestik (trade remedy), khususnya aturan main dalam pengajuan tuduhan dan investigasi subsidi. Itu pun berdasarkan aturan multilateral. Adapun GSP merupakan program unilateral yang berbeda ranahnya dengan kebijakan tersebut.
Shinta juga mengaku telah mendapatkan klarifikasi dari USTR terkait pengubahan status itu. Pengubahan status itu terkiat dengan kebijakan pengenaan bea masuk anti-dumping.
"Ini hanya berlaku untuk status Indonesia di WTO dan tidak ada pengaruhnya ke GSP," ujarnya.