Regulasi di sektor energi dan sumber daya mineral dinilai sudah baik. Namun, pelaksanaan dan pengawasannya lemah, antara lain akibat keterbatasan sumber daya manusia.
Oleh
ARIS PRASETYO / AGNES THEODORA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perubahan sejumlah ketentuan di sektor energi dan sumber daya mineral atau ESDM dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja menuai pro kontra. Diskursus terjadi antara lain soal pengalihan kewenangan perizinan dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat di pertambangan, minyak dan gas bumi, panas bumi, dan ketenagalistrikan.
Kepala Bidang Geologi dan Air Tanah Dinas ESDM Provinsi Banten, Deri Dariawan dalam diskusi bertajuk "Polemik RUU Cipta Kerja di Sektor Pertambangan" di Jakarta, Senin (24/2/2020) berpendapat, undang-undang yang ada sebensarnya sudah bagus. Namun, pelaksanaan di lapangan lemah, terutama karena keterbatasan sumber daya manusia, baik dalam hal jumlah maupun keahlian.
Kelemahan itu tercermin dari pengawasan praktik penambangan, kebocoran penerimaan negara bukan pajak, kerusakan lingkungan, dan konflik sosial.
Menurut Deri, ketika semua perizinan tambang dilimpahkan dari pemerintah kabupaten/kota ke pemerintah provinsi, pihaknya keteteran. Ketidaksiapan provinsi menyangkut keterbatasan petugas, sarana dan prasarana, serta data.
Oleh karena itu, pengambilalihan kewenangan oleh pemerintah pusat diharapkan tidak justru menghambat investasi karena ketidaksiapan dalam pelaksanaannya.
Peneliti Auriga Nusantara, Iqbal Damanik, mengingatkan pemerintah terkait perpanjangan operasi perusahaan tambang. Dalam RUU Cipta Kerja pemberian izin perpanjangan operasi dimungkinkan tanpa mekanisme lelang. Apalagi, masih banyak perusahaan belum menunaikan kewajiban dalam hal reklamasi dan pascatambang.
“Soal peran daerah yang hilang, sabar, RUU Cipta Kerja ini masih berbentuk draf. Kita lihat saja nanti aturan turunannya seperti apa,” kata Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara, Irwandy Arif.
Pemerintah menjamin pelaksanaan RUU Cipta Kerja memperhatikan tata kelola yang baik. Perpanjangan operasi, kendati tanpa mekanisme lelang, memerhatikan syarat-syarat tata kelola tambang yang baik, kewajiban fiskal, maupun kewajiban pascatambang. Jika salah satu syarat tak dipenuhi, perpanjangan operasi tidak akan diberikan.
Supervisi
Menurut Ketua Dewan Penasihat Indonesian Energy and Environmental Institute, Satya Widya Yudha, pengambilalihan kewenangan daerah oleh pemerintah pusat barangkali tak bisa sempurna hasilnya. Namun, tata kelola dan prosesnya diawasi oleh penegak hukum yang bersinggungan langsung, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK sudah lama terlibat dalam supervisi tata kelola sektor tambang mineral dan batubara.
“Pengembalian wewenang ke pusat ditengarai karena tersedianya sumber daya yang bagus dan bisa memangkas birokrasi. Penerbitan sertifikat bersih tanpa masalah (clear and clean/CNC) untuk izin usaha pertambangan oleh pusat sebenarnya adalah salah satu cara pusat untuk bisa masuk ke ranah daerah,” ujar Satya.
Sementara itu, Koordinator Nasional Publish What You Pay Indonesia, Maryati Abdullah, mengingatkan agar tidak terjadi tumpang tindih aturan di sektor tambang mineral dan batubara. Pasalnya, di saat yang sama sedang berlangsung revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Isi revisi dengan isi RUU Cipta Karya di sektor tambang nyaris memiliki semangat yang sama.
“Mana yang akan didahulukan? RUU Cipta Karya atau revisi UU Nomor 4/2009? Apakah nanti dijamin tidak ada tumpah tindih? Yang tak kalah penting adalah prosesnya harus berlangsung secara transparan,” kata Maryati.
Tetap berlaku
Pemerintah menampik anggapan bahwa RUU Cipta Kerja memangkas peran pemerintah daerah. Beberapa kewenangan dan hak pemerintah daerah akan tetap berlaku agar tidak memengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah, terutama daerah yang pemasukannya sangat bergantung pada sektor pertambangan.
Staf Ahli Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Elen Setiadi menyatakan, kewenangan pemerintah pusat, dalam hal ini Presiden, hanya mengatur norma standar prosedur dan kriteria (NPSK) investasi yang wajib diikuti tiap kementerian/lembaga dan pemerintah daerah.
Kewenangan pemerintah pusat hanya mengatur norma standar prosedur dan kriteria investasi.
Jika Presiden mengambil alih penuh perizinan dan pengelolaan sumber daya alam di daerah, hal itu justru bertentangan dengan norma Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintah Daerah. Draf RUU Cipta Kerja, kata Elen, belum detil mencantumkan penjelasan mengenai kewenangan perizinan investasi sehingga memunculkan kesalahan interpretasi.
Menurut Elen, perubahan ketentuan itu tidak akan sampai memengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah. Apalagi, untuk daerah yang pendapatan aslinya sangat bergantung pada sektor pertambangan, seperti di Timika, Papua.
Aka n tetapi, pemerintah akan mengevaluasi lebih lanjut berdasarkan kondisi ekonomi dan kebutuhan tiap daerah. Menurutnya, kalaupun kewenangan memungut royalti di sebagian daerah itu hilang, pemerintah pusat wajib menutup kekurangan itu melalui dana transfer daerah dari APBN.
“Kita tidak ingin sebenarnya menghilangkan hak-hak pemda, yang diatur hanya proses bisnis yang transparan, akuntabel, mudah dan standar,” katanya.