Pertumbuhan Kredit Nasional 2020 Diperkirakan Stagnan 5-7 Persen
Pertumbuhan kredit nasional sepanjang 2020 diperkirakan stagnan di rentang 5-7 persen. Ini merupakan dampak penyebaran virus Covid-19 yang berasal dari China dan memengaruhi perekonomian dunia, termasuk Indonesia.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — PT Bank Central Asia Tbk memperkirakan pertumbuhan kredit nasional sepanjang 2020 stagnan di rentang 5-7 persen. Ini merupakan dampak penyebaran virus Covid-19 yang berasal dari China dan memengaruhi perekonomian dunia, termasuk Indonesia.
Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk Jahja Setiaatmadja, Kamis (20/2/2020), mengatakan, penyebaran virus Covid-19 terjadi di tengah ketergantungan perekonomian dunia yang besar terhadap China. Pasalnya, bahan baku sejumlah industri di dunia, termasuk Indonesia, bergantung kepada China.
Penurunan pasokan ini berpotensi berdampak pada kenaikan harga yang membuat ongkos produksi industri naik dan dapat menekan profitabilitas. Kendati begitu, dampaknya tak merambat di semua sektor industri.
”Kami akan tinjau kualitas nasabah (korporasi) kami dari segi ketersediaan cadangan suplai (bahan baku) dan alternatif sumber pasokan,” katanya dalam konferensi pers paparan kinerja BCA di Jakarta.
Kami akan tinjau kualitas nasabah (korporasi) kami dari segi ketersediaan cadangan suplai (bahan baku) dan alternatif sumber pasokan.
BCA mencatat, sepanjang 2019 pertumbuhan kredit BCA mencapai 9,5 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya menjadi Rp 603,7 triliun. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan kredit nasional hingga November 2019 yang berkisar 7,1 persen secara tahunan.
Sementara rasio kredit macet atau bermasalah (NPL) gross dan netto BCA pada 2019 masing-masing sebesar 1,3 persen dan 0,5 persen. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan NPL gross dan netto pada 2018 yang masing-masing sebesar 1,4 persen dan 0,4 persen.
Menurut Jahja, dampak penyebaran virus Covid-19 itu tak serta-merta membuat BCA menarik layanan keuangannya dari nasabah korporasi. Meski begitu, kajian terhadap kualitas nasabah akan menjadi fokus BCA di tengah perlambatan ekonomi.
Ke depan, BCA akan fokus menjaga NPL tanpa menekan usaha meraih profit dengan prinsip kehati-hatian. ”Kami menghargai keberjalanan bisnis, tetapi juga mengambil risiko,” ujarnya.
Direktur PT Bank Central Asia Tbk Rudy Susanto menambahkan, prinsip kehati-hatian itu diterapkan dalam uji tuntas (due diligence) terhadap nasabah. Sepanjang 2020, NPL BCA akan dijaga di rentang 1,3-1,4 persen.
Laba bersih
Pada 2019, BCA membukukan laba bersih Rp 28,6 triliun atau tumbuh 10,5 persen dibandingkan dengan tahun 2018. Pendapatan operasional BCA pada 2019 tumbuh 13,6 persen menjadi Rp 71,62 triliun.
Adapun pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) BCA sepanjang 2019 sebesar 11 persen secara tahunan menjadi Rp 704,7 triliun. Dana murah (CASA) yang tumbuh 9,9 persen menjadi Rp 532,01 triliun merupakan penopang kenaikan DPK BCA.
Managing Director Chief Financial Officer BCA Vera Eve Lim menyatakan, pertumbuhan DPK BCA sepanjang 2020 berkisar 5-7 persen. Pertumbuhan DPK itu tak akan jauh berbeda dengan pertumbuhan kredit.
Terkait dengan aturan PSAK 71 yang diminta Otoritas Jasa Keuangan, Vera menyebutkan, BCA menyiapkan cadangan kerugian atas penurunan nilai (CKPN) sebesar Rp 6 triliun. ”Setengah dari alokasi tersebut belum digunakan,” katanya.
Pada 2019, BCA telah menyelesaikan akuisisi Bank Royal. Hal itu sejalan dengan program konsolidasi perbankan nasional. ”Kami sedang mengembangkan kelanjutan akuisisi ini. Pergantian pengurus masih dalam proses,” kata Vera.
Belanja modal BCA pada 2020 diperkirakan Rp 5,2 triliun. Mayoritas belanja itu dialokasikan untuk investasi teknologi digital.
Menurut Vera, model bisnis Bank Royal akan bergerak di ranah layanan keuangan digital atau mobile banking sesuai dengan minat pasar milenial pada umumnya. Peluncuran layanan tersebut diperkirakan dilakukan pertengahan tahun ini.
Untuk menguatkan layanan digital, Jahja menyebutkan, belanja modal BCA pada 2020 diperkirakan Rp 5,2 triliun. Mayoritas belanja itu dialokasikan untuk investasi teknologi digital beserta perangkat kerasnya, seperti penambahan mesin pembaca data elektronik (EDC).