Penurunan impor bahan baku dan penolong pada awal tahun patut diwaspadai karena berpotensi mengerem aktivitas perindustrian. Produktivitas perlu didorong imbangi pasar.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kendati mencatat pertumbuhan 3,16 persen dibandingkan dengan Januari 2019, ekspor nonmigas hasil industri pengolahan belum mampu menutup defisit perdagangan Januari 2020. Pemerintah dinilai perlu mewaspadai dampak penurunan impor bahan baku dan barang modal pada awal tahun ini.
Badan Pusat Statistik (BPS) dalam laporan yang dipublikasikan hari Senin (17/2/2020) mencatat, defisit neraca perdagangan Indonesia selama bulan lalu mencapai 864,2 juta dollar AS. Kinerja perdagangan itu terbentuk dari ekspor senilai 13,41 miliar dollar AS dan impor 14,27 miliar dollar AS.
Ekspor industri pengolahan mencapai 10,52 miliar dollar AS selama bulan lalu atau tumbuh 3,16 persen dibandingkan dengan Januari 2019. Secara keseluruhan, ekspor sektor industri menyumbang 78,46 persen terhadap kinerja ekspor.
Terkait dengan data perdagangan Januari 2020, Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjadja Kamdani berpendapat, pertumbuhan ekspor menandakan peningkatan produktivitas ekspor di sektor pengolahan. Namun, peningkatan produktivitas ekspor mesti lebih signifikan dibandingkan dengan perbaikan permintaan pasar dunia.
Produktivitas bisa dipacu dengan mengefisienkan produksi dan meningkatkan diversifikasi produk. Menurut Shinta, kedua cara itu butuh stimulus domestik yang konsisten, terutama dari segi kebijakan, birokrasi, serta teknis perdagangan dan investasi.
Akan tetapi, impor bahan baku/penolong selama Januari 2020 tercatat 10,58 miliar dollar AS atau turun 7,35 persen daripada Januari 2019. Sementara impor barang modal turun 5,26 persen menjadi 2,23 miliar dollar AS dan impor barang konsumsi justru naik 20,26 persen.
Oleh karena itu, peneliti dari Center of Investment, Trade, and Industry Institute for Development of Economics and Finance, Andry Satrio Nugroho, berpendapat, pertumbuhan ekspor manufaktur pada Januari 2020 berpotensi bersifat sementara. Sebab, impor bahan baku dan barang modal turun, sementara impor barang konsumsi melonjak pada awal tahun.
Menurut Kepala BPS Suhariyanto, penurunan impor bahan baku/penolong patut diwaspadai karena berpotensi memengaruhi perjalanan industri. ”Apalagi, pertumbuhan industri dalam produk domestik bruto (pada triwulan IV-2019) melambat hingga di bawah 4 persen,” ujarnya.
Suhariyanto juga menyoroti penurunan impor barang modal pada Januari 2020. Barang modal umumnya berupa permesinan yang menjadi indikator pembentukan modal tetap bruto sehingga dapat berdampak pada pertumbuhan ekonomi.
Ekonom Bahana Sekuritas, Satria Sambijantoro, menyoroti lonjakan impor gas dalam kinerja neraca perdagangan Januari 2020. ”Impor ini merefleksikan bahwa pelaku usaha lebih memilih gas dari luar negeri dibandingkan dengan memanfaatkan utilitas domestik,” ujarnya.
BPS mencatat, impor gas sepanjang bulan lalu mencapai 369,1 juta dollar AS atau melonjak hingga 107,86 persen daripada periode yang sama tahun sebelumnya. Secara keseluruhan, neraca perdagangan migas defisit 1,18 miliar dollar AS.
Dampak korona
Sepanjang Januari 2020, perekonomian global terdampak penyebaran virus korona tipe baru. Menurut Suhariyanto, dampak virus korona belum terlalu tampak pada kinerja neraca perdagangan Indonesia, Januari 2020. ”Pengaruh signifikan dapat dilihat pada kinerja (perdagangan) Februari,” katanya.
Ekspor Indonesia ke China pada Januari 2020 tumbuh 17,23 persen dengan nilai mencapai 2,24 miliar dollar AS. Adapun impor dari China mencapai 3,94 miliar dollar AS atau turun 4,6 persen dibandingkan dengan Januari 2019. Sepanjang bulan lalu, Indonesia masih mencatatkan defisit 1,84 miliar dollar AS dalam perdagangan dengan China.